Hari 'H' Senisono UMAR KAYAM MESKI ada rentetan unjuk rasa solider dari para seniman, cendekiawan, para pakar sejarah dan arsitektur, yang telah berjalan sehari-hari dengan penuh semangat, gelegak emosi, romantisme, nostalgia, naga-naganya Senisono, gedung serbaguna kesenian yang kusam itu, akan dirobohkan juga. Pemerintah -- DIY dan Pusat -- rupanya tidak gigrik, tegar, menghadapi unjuk rasa tersebut. Sekali keputusan itu dibuat, pelaksanaannya pun tinggal menunggu hari "H". Para seniman berpendapat bahwa Senisono adalah gedung kesenian yang telah berjasa mengantar begitu banyak ekspresi kesenian, (teater, pembacaan puisi, pameran lukisan) baik di masa lampau maupun di masa kini. Gedung itu, meski sudah kusam, kurang terawat karena tak cukup tersedia dana, dianggap oleh dunia seni Yogyakarta sebagai gedung yang tetap penting. Ia memiliki gengsi kesenian tersendiri dan selalu bersedia menampung berbagai pernyataan seni dengan anggaran yang minim. Maka, begitulah menurut para seniman, bila Senisono dibongkar, ke mana dan di mana para seniman itu mesti menggelar kesenian mereka. Meruntuhkan gedung itu akhirnya juga mereka anggap sebagai menghapus jejak-jejak penting para seniman besar Indonesia yang pernah berkiprah di situ. Para sejarawan berpendapat bahwa merobohkan gedung Senisono berarti pula menghapus satu tonggak sejarah yang amat penting. Gedung itu bukan saja bekas soos, societeit Balai Mataram, pada zaman sebelum Perang Dunia II, tempat para elite Yogya bercengkerama. Ia juga gedung yang menjadi saksi berbagai peristiwa penting, seperti sarasehan-sarasehan pergerakan nasional, bahkan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama pada zaman permulaan Republik. Para arsitek menganggap gedung Senisono sebagai satu landmark arsitektur yang unik di tengah poros Keraton-Malioboro-Tugu. Maka, menghapus gedung beserta kompleks tersebut berarti pula menghapus satu landmark arsitektur yang penting dan khas bagi Kota Yogya. Sementara itu, pemerintah -- DIY dan Pusat -- berpendapat bahwa gedung Senisono dan seluruh kompleks di belakangnya justru tidak punya makna landmark atau tonggak sejarah ataupun gedung kesenian yang penting. Menurut para priyagung, priayi agung, daerah dan pusat kompleks tersebut kumal, kumuh, tua, dan mulai mengganggu rencana peremajaan dan pemugaran kota. Suatu taman indah yang akan mengganti pojok gedung Senisono, suatu kompleks gedung baru yang akan muncul di belakang gedung Senisono, akan jauh lebih berarti bagi kota budaya dan perjuangan Yogyakarta ketimbang mempertahankan kekusaman dan kerentaan gedung-gedung tersebut. "Wong, gedung sudah kumuh begitu kok mau dipertahankan," gerundel seorang priyagung PU Pusat. Untuk menyenangkan dan menenteramkan para seniman, pemerintah menjanjikan bekas gedung Societeit Militair sebagai: pengganti gedung kesenian Senisono. Bangunan itu adalah sebuah gedung bersejarah, terletak di belakang benteng Vredenburg. Kini ia menjadi tempat penampungan para embok bakul yang tergusur dari Pasar Beringharjo. Dalam pertumbuhan suatu kota (di mana saja), gedung-gedung tua memang berguguran dan gedung-gedung baru bersembulan. Kota-kota lama yang punya latar belakang jarah dan infrastruktur budaya tradisi dengan susah payah ingin mempertahankan kesinambungannya. Pusat-pusat pertokoan, supermarket, jalan-jalan layang, jalan super-raya, pusat-pusat hiburan, entertainment, dibangun dengan cepat, nyaris tergesa-gesa, untuk menyambut dinamika perdagangan dan berputarnya modal-modal raksasa. Kota-kota dunia yang ingin bersamaan mempertahankan kesinambungan kebudayaannya sembari merangkul tuntutan dahsyat itu terpaksa menjalankan strategi tambal sulam. Mempertahankan monumen-monumen bersejarah, landmark, sejarah dan budaya pun tetap saja mengorbankan banyak sekali gedung bernilai sejarah itu. Brasil, negara Amerika Latin yang tinggi semangat nasionalismenya itu, nampaknya ingin membangun suatu kota yang bebas dari pembenahan dan perkembangan tambal sulam. Maka, dibangunlah satu ibu kota baru dari awal. Yaitu dengan melakukan satu Babad Alas Wanamarta, membabat satu kawasan hutan belantara, dan menjadikannya satu ibu kota baru yang supermodern, Brasilia. Akan halnya kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, New Delhi, Calcutta, Bombay, Singapura, Bangkok, Jakarta. Mereka terengah-engah menghadapi tuntutan baru itu. Kita bisa membayangkan bagaimana repot dan tertatihnya kota tua seperti New Delhi, Calcutta, dan Bangkok, dengan beratus kuil dan infrastrutur budayanya, menghadapi tentangan itu. Mereka berjuang dengan gagah berani, sehingga wisatawan yang datang masih dapat melihat kota-kota dunia yang masih punya satu "roh" asli mereka. Perkampungan kumuh dan renta serta miskin di New Delhi dan Calcutta kok masih saja dengan bandelnya hadir di tengah kota. Yogyakarta, dengan skalanya sendiri, adalah kota yang sarat dengan tanda zaman dan cagar budaya. Ia juga bergulat mengantisipasi datangnya tekanan dinamika perdagangan yang akan lebih dahsyat lagi. Kentucky Fried Chicken, California Fried Chicken, Gelael Supermarket, Hero Supermarket, sudah hadir di tengah kota ini. Hotel dan bank bermunculan. Desas-desus mulai beredar di kota itu bahwa kompleks gedung Indra di depan Pasar Beringharjo serta bekas pabrik alat-alat besi Walson sudah pula dibeli oleh investor-investor raksasa dari Jakarta. Penggusuran dan perubahan gedung kesenian Senisono agaknya tak terlepas dari dinamika global perdagangan dan ekonomi pasar. Namun, janganlah dilupakan bahwa Senisono, meski sebagai gedung kesenian hanya kecil, kusam, dan renta, ia tak sendirian dalam ikut membentuk sosok budaya Yogyakarta. Ia seperti juga pendapa dalem Purwadiningratan yang kusam dan renta, tetapi masih terus mampu memelihara dinamika dan kreativitas Siswa Among Beksa, perkumpulan seni tari klasik gaya Yogyakarta yang tersohor itu. Begitu juga dengan pendapa dalem Pujokusuman, yang beruntung pernah mendapat bantuan Ford Foundation untuk memugar pendapanya, yang hingga sekarang memungkinkan Rama Sasminta Mardawa, seorang empu seni tari klasik Yogyakarta, masih terus sanggup mengajar muridnya. Dan padepokan Bagong Kussudiardjo, dan sanggar-sanggar seni rupa, seni batik, seni kriya, bersama Senisono adalah "noktah-noktah" yang membangun sosok infrastruktur budaya Yogyakarta. Semoga penggantian Senisono memperhitungkan fungsi gedung kesenian ini sebagai unsur yang tak terpisahkan dari pembentuk sosok budaya Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini