Bila pengobatan secara medis tak mempan, akupungtur sering menggantikannya. Pemerintah membakukan kurikulum dan ujian akupungtur. Banyak dokter mulai belajar tusuk jarum. UJIAN untuk menjadi dokter, baik swasta maupun negeri, memang harus baku. Maksudnya, agar para dokter punya ilmu yang standar dalam mendiagnose dan mengobati masyarakat. Demikian pula dengan akupungtur. Sebelum seseorang diizinkan buka praktek, para akupunturis itu harus memiliki pengetahuan tusuk jarum dan menempuh ujian yang baku. Seperti dikatakan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Prof. Dr. W.P. Napitupulu pekan lalu, Departemen P dan K serta Departemen Kesehatan merasa perlu membakukan kurikulum dan ujian bagi kursus akupungtur itu. Tujuannya, katanya, tak lain untuk dapat menopang sistem kesehatan nasional. Memang, ujian nasional akupungtur tak meriah seperti ujian dokter swasta. Pekan lalu, misalnya, ujian tersebut hanya diikuti enam orang -- kebetulan semuanya dokter -- di Jalan Salemba, Jakarta. Kecuali lulus ujian tertulis, peserta juga harus lulus ujian praktek. Calon akupungturis itu harus mampu mendiagnose pasien secara tepat dan menusukkan jarum akupungtur pada titik-titik yang tepat pula. Ujian akupungtur baru bisa ditempuh setelah siswa belajar enam bulan. Peserta kursus -- sesuai dengan kurikulum yang dibakukan -- harus belajar selama 300 jam, teori 132 jam dan praktek sedikitnya 127 jam. Ini, dalam ketentuan Departemen P dan K, merupakan kurikulum minimal yang harus dikuasai seorang calon akupungturis. Di Tseng Kai, kursus akupungtur milik Yuliana Chandra, setiap peserta dipungut bayaran Rp 500 ribu. Tempat itu ternyata cuma salah satu dari 13 kursus akupungtur yang terdaftar di Departemen P dan K. Namun, kata Yuliana, yang juga Ketua II Persatuan Akupungturis Seluruh Indonesia (Paksi), tak semuanya punya murid atau mengirim siswanya mengikuti ujian negara yang diselenggarakan tiap bulan April dan Oktober. Diperkirakan, yang benar-benar aktif, punya murid, cuma enam tempat kursus. Mata pelajaran pokok yang harus dipahami siswa kursus antara lain meridian dan titik akupungtur, di samping fisiologi, anatomi tubuh manusia, dan ilmu gizi. Lewat pelajaran pokok ini, siswa diajar untuk menentukan titik-titik akupungtur dan hubungannya dengan organ-organ tubuh. Bayangkan, siswa harus menghafalkan 360 lebih titik yang tersebar di sekujur tubuh manusia. Untuk pengobatannya, tiap penyakit punya titik-titik tertentu yang harus ditusuk jarum. Hafal titik akupungtur ternyata belum cukup. Si siswa harus tahu bagaimana menancapkan jarum secara tepat pada titik-titik itu tanpa membuat pasien mengerang kesakitan. Ia juga harus mengerti kedalaman tusukan dan berapa lama jarum dibiarkan menancap. Yang tak kalah penting adalah si akupungturis harus bisa mendiagnose penyakit secara persis. Salah mengenali penyakit bisa-bisa justru mendatangkan bencana bagi si pasien. Misalnya saja untuk mengobati darah tinggi. Seorang calon akupungturis harus tahu betul posisi titik He Ku di antara jari jempol dan telunjuk. Kecuali tahu tempat menusukkan jarum, ia juga mesti memahami berapa lama jarum ditancapkan. Dengan ujian nasional yang sudah diselenggarakan sejak 1986 itu, menurut seorang pejabat Departemen P dan K, akupungturis Indonesia tak perlu mengikuti ujian internasional di Hong Kong atau tempat lain. "Apalagi, untuk praktek yang disyaratkan justru ijazah nasional, bukan yang internasional itu," katanya. Metode pengobatan tradisional Cina yang dikembangkan sejak tahun 3000 SM itu kini mulai mendapat tempat di samping pengobatan secara medis. Di Indonesia sendiri, dalam catatan Paksi, ada sekitar 600 ahli akupungtur. "Itu yang tercatat sebagai anggota. Di luar itu malah banyak sekali," kata Soetjipto, ketua umumnya. Sebagai sistem pengobatan alternatif, akupungtur mulai nampak banyak didatangi pasien. Lihat saja tempat praktek Yuliana Chandra, yang juga tempat kursus Tseng Kai tadi. Dengan 4 tempat tidur untuk pengobatan, ia hanya mampu melayani 20 pasien tiap hari. Padahal, pasien yang antre lebih banyak. Setelah menguasai ilmu dan punya sertifikat, seorang siswa tak serta-merta bisa memasang papan "praktek akupungtur". Mereka harus membuktikan kemampuannya mengobati pasien -- yang dibawa sendiri -- lewat ujian sekitar dua jam. Biaya ujian untuk mendapatkan izin buka praktek yang dikeluarkan Kanwil Departemen Kesehatan setempat sekitar Rp 50 ribu seorang. Peminat kursus akupungtur nampaknya cenderung meningkat. Dari tempat Yuliana saja, setidaknya sudah 100 orang mendapat sertifikat lulus ujian. Mereka bukan semata lulusan SMA, ibu rumah tangga, atau pensiunan. Seperti disebut di atas, banyak dokter yang melengkapi diri dengan ilmu akupungtur. Sepintas memang terdengar aneh. Ilmu pengobatan tradisional disandingkan dengan ilmu kedokteran, walau keduanya punya tujuan serupa, yakni menyembuhkan orang sakit. "Di Indonesia akupungtur sudah diterima sebagai salah satu alternatif pengobatan," kata dr. Tomi Hardjatmo, yang juga lulusan kursus akupungtur. Ia terjun ke dunia akupungtur karena merasa bahwa ilmu dalam pengobatan tradisional itu tak beda jauh dengan fisiologi yang dipelajarinya di FKUI. Dia pun setuju, akupungtur dipilih sebagai alternatif terakhir, setelah metode pengobatan modern tak mempan. Liston P. Siregar dan G. Sugrahetty (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini