Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sabtu Gemuruh Campur Debu

24 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kesamaan antara letusan Gunung Kelud pada Kamis malam dua pekan lalu dan yang terjadi 24 tahun silam. Keduanya sama-sama terjadi pada Februari. Bedanya, yang dulu pada 11 Februari, yang terbaru tanggal 13. Tapi hanya itukah perbedaan dan kesamaannya? Berikut ini kutipan artikel majalah ini ketika mengisahkan letusan Kelud pada 1990.

Dua-tiga hari pasca-letusan digambarkan masih banyak rumah penduduk dan toko-toko yang tertutup rapat. Tapi suasana Kota Blitar, Jawa Timur, sudah berangsur pulih. Anak-anak berseragam sekolah menyandang tas belajar, misalnya, sudah terlihat di jalan-jalan.

"Kalau dalam lima hari ini tak ada lagi tanda-tanda letusan, penduduk yang sempat mengungsi sudah boleh pulang ke rumah masing-masing," kata Diro Supangat, pemimpin Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung Kelud, pada saat itu.

Debu tebal masih menyelimuti kota itu. Tapi cuaca sudah kembali cerah. Padahal, dua hari sebelumnya, matahari tak kelihatan di Blitar karena terlindung debu tebal yang disemburkan Gunung Kelud, yang terpaut cuma 30-an kilometer dari kota itu.

Menurut catatan Direktorat Vulkanologi di Bandung, letusan awal gunung itu-berupa letusan preatik (uap air)-terjadi pada Sabtu pukul 11.41. Letusan semakin lama semakin besar, disertai suara gemuruh, hujan lumpur, dan kilat. Pada pukul 12.32, awan panas mulai kelihatan meluncur ke berbagai arah sampai sejauh 4 km dari puncak gunung.

Syukur, sampai Seninnya, ketika letusan gunung itu sudah mereda, awan panas belum merenggut korban. Memang ada 17 penduduk Blitar tewas dan puluhan lainnya luka-luka serta ratusan rumah, sekolah, dan bangunan lainnya porak-poranda, tapi itu karena amukan debu gunung. "Justru hujan abu dan kerikil yang paling banyak. Ini rekor tertinggi," ucap Bupati Blitar Siswanto Adi pada masa itu. Dia membandingkan dengan letusan Kelud sebelumnya.

Diduga gunung itu memuntahkan 22 juta meter kubik debu, yang menyelimuti Blitar serta kota-kota di sekitarnya, seperti Kediri, Tulungagung, Trenggalek, dan Malang. Korban yang tewas di Blitar, misalnya, 15 di antaranya tertimpa rumah atau bangunan tempat mereka berlindung. Soalnya rumah itu ambruk, tak mampu menahan beban debu yang menyelimutinya. Sedangkan dua korban lainnya mati disambar petir.

Pada waktu gunung itu meletus, April 1966, sebanyak 21,6 juta meter kubik air-dalam bentuk lahar panas-terlontar dari kawahnya. Korban yang meninggal mencapai 210 orang. Soalnya, gunung api ini memiliki danau di kawahnya, yang biasanya menampung air sampai 38 juta meter kubik.

Untuk mengatasi bencana seperti pada 1966, seperti dikatakan Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Mineral Departemen Pertambangan Adjat Sudradjat kepada Diah Purnomowati dari Tempo, "Dilakukan berbagai upaya, misalnya dengan membuat terowongan untuk mengalirkan air danau itu."

Hasilnya, saat Kelud meletus, danau kawah itu cuma menyimpan air 2,25 juta meter kubik-jumlah yang cukup ditampung sungai-sungai di sekitarnya. Tapi tak berarti seluruh bahaya sirna. Debu serta material lain yang menempel di tubuh dan lereng gunung yang tingginya 1.650 meter itu akan menjadi bahaya lahar dingin yang mengerikan bila hujan lebat turun di sekitar gunung.

Tambahan pula, debu yang mengandung silikat dan belerang itu akan menimbulkan musibah lain: penyakit kulit, gangguan pernapasan, pusing-pusing, dan semacamnya. "Dan muntaber mungkin menyerang karena air bersih sulit didapat," ujar Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Jawa Timur, yang saat itu dijabat dr E. Sutarto.

Debu itu juga bisa menimbulkan pelumpuran pada waduk yang ada di sana, Karangkates, misalnya. Sejak itu, berbagai persiapan dilakukan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (semacam panitia penanggulangan bencana alam) yang berintikan aparat pemerintah daerah dengan berbagai instansi lain. Misalnya menetapkan daerah terlarang yang rawan terhadap bahaya awan panas, yang tak boleh dihuni penduduk, daerah bahaya I (diduga akan jadi sasaran lahar panas dan jatuhan material gunung api lainnya), serta daerah bahaya II (daerah sasaran lahar dingin). Ternyata, sampai Kelud meletus, desa-desa di sekitar gunung itu-entah di Kabupaten Blitar entah di Kediri-masih dihuni penduduk. "Kami terpaksa bersembunyi di rumah, takut kena batu," kata Sipan, 25 tahun, penduduk Desa Sugihwaras, Kediri, yang cuma 15 km dari puncak gunung.

Maka, ketika hujan abu dan batuk gunung itu mereda, bak air bah penduduk mengungsi ke desa-desa tetangga yang dianggap aman. Di kalangan para ahli gunung api, Kelud dikenal sebagai gunung yang sulit diduga. Ketika ia meletus pada 1951, tiga petugas vulkanologi tewas karena bertugas di danau kawah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus