Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Praktek Haram untuk Label Halal

24 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI tampaknya telah jadi lakon yang tak kenal tempat dan tak kenal musim. Bahkan, untuk urusan yang menyangkut keyakinan beragama, ada saja orang yang tega mengambil keuntungan pribadi. Perihal label halal-sesuatu yang dipakai untuk memastikan suatu produk makanan tak mengandung bahan yang diharamkan agama-sempat-sempatnya juga dikerjai.

Adalah Majelis Ulama Indonesia yang ditengarai "bermain-main" dengan wewenangnya mengeluarkan label halal. Organisasi yang menghimpun ulama dari pelbagai organisasi Islam ini memang diberi wewenang mengeluarkan label itu. Sedianya, sertifikat itu gratis diperoleh agar tak membebani perusahaan dan tak menyusahkan konsumen. Namun, dalam prakteknya, produsen dikenai biaya pengujian produk makanan dan minuman tanpa ketentuan tarif yang transparan. Walhasil, yang ironis pun terjadi: secarik kertas halal justru diterbitkan dengan proses yang "haram".

Sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan pasar makanan halal yang tak bisa diabaikan. Saat ini pelbagai perusahaan multinasional-pemasok makanan dan minuman dari berbagai penjuru dunia-membutuhkan sertifikasi halal agar produk mereka bisa dijajakan di pasar lokal. Jejaring pasokan dan permintaan pun tercipta. Jasa penyedia sertifikasi tumbuh menjadi bisnis yang gurih.

Ambil contoh daging sapi impor dari Australia dan sejumlah negara lain. Karena ongkosnya yang kelewat mahal, MUI tak mungkin mengawasi proses pengolahan daging di berbagai penjuru tersebut. Apalagi rantai yang diawasi cukup panjang-dari penyembelihan hewan, pengolahan daging, penyimpanan, hingga pengepakan. Dalam seluruh rantai itu, produk tak boleh terkontaminasi bahan yang tak halal.

MUI kemudian bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa sertifikasi di berbagai negara. Nah, di sinilah celah permainan terbuka. Sebagai satu-satunya lembaga yang diberi wewenang merilis label halal, MUI memegang monopoli perizinan bagi perusahaan yang hendak bermitra. Demi mengantongi izin, perusahaan sertifikasi di Australia, menurut laporan The Sunday Mail, Brisbane, Oktober tahun lalu, memberi "hadiah" kepada MUI yang nilainya mencapai Aus$ 78 juta atau sekitar Rp 820 miliar. Padahal resminya tak boleh ada ongkos seperak pun dipungut dari perusahaan pemberi sertifikat.

Memberi suap, kinerja perusahaan pemberi label halal itu tak pernah diaudit. Di Melbourne, daging halal dan nonhalal dikemas pada tempat yang sama. Pemisahan hanya dilakukan berdasarkan waktu kerja karyawan.

Kondisi ini diperburuk oleh tak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yang drafnya telah dibuat pada 2009. Semestinya aturan itu bisa menjadi pedoman tentang apa dan bagaimana sertifikasi halal dilakukan. Salah satu pemicu perdebatan adalah status sertifikasi: sukarela atau kewajiban. Kalangan industri berkeberatan jika hal ini diwajibkan. Dalam sebuah kesempatan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia menyebutkan pengurusan label halal ini memberatkan pengusaha. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia memang menetapkan tarif administrasi Rp 6 juta per produk. Tapi prakteknya ada biaya lain-lain, yang tak jelas, yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah. Akibatnya, tidak hanya konsumen mesti menanggung ongkos, nilai kompetitif produk lokal pun kian tergerus.

Usut tuntas berbagai indikasi penyimpangan tak bisa lagi ditawar. Ke mana saja duit sertifikasi label halal mengalir wajib dipertanggungjawabkan MUI. Transparansi majelis ini, lembaga nonpemerintah yang mendapat hibah APBN dan mengelola dana publik dari sertifikasi halal, mutlak harus diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.

Dobrakan besar harus diambil. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pernah mengusulkan label halal diganti dengan sertifikat nonhalal. Maksudnya, bukan tanda halal yang mesti diterakan pada makanan yang tak haram, melainkan makanan haramlah yang harus dipisahkan dari makanan halal. Asumsinya sederhana, sebagian besar makanan di Indonesia sudah diproses secara halal dan menggunakan bahan-bahan yang tak diharamkan. Produk yang tidak halal-lah-misalnya yang mengandung minyak babi atau alkohol-yang harus diberi tanda. Cara ini dinilai lebih praktis dan tak ribet.

Dengan demikian, tak dibutuhkan lembaga semacam MUI untuk memberi label halal. Pemerintah cukup mewajibkan produsen makanan dan minuman menyebutkan kandungan zat dalam produknya. Lalu, secara random, Badan Pengawas Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan dapat mengecek ke lapangan. Label nonhalal dengan sendirinya akan membantu produsen mencapai pasarnya. Pembeli yang ingin mengkonsumsi makanan halal-atau yang haram-akan terbantu dalam mengidentifikasi produk yang mereka butuhkan.

berita terkait di halaman 32

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus