Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSEUM Nasional di Jakarta kembali disatroni maling, Rabu dua pekan lalu. Empat artefak berlapis emas peninggalan Kerajaan Mataram Kuno abad ke-10 dan ke-11 dibawa kabur. Meski koleksinya bernilai tinggi, pengamanan museum yang biasa disebut Museum Gajah ini sangat lemah. Bahkan kamera closed-circuit television (CCTV) yang rusak sejak Juli lalu tak kunjung diperbaiki.
Bukan baru kali ini Museum Nasional dibobol maling. Majalah Tempo edisi 17 Oktober 1987 pernah memuat laporan utama tentang pencurian di Museum Nasional. Tidak tanggung-tanggung, dalam waktu kurang dari satu bulan museum itu dua kali dijarah maling. Puluhan koleksi bernilai miliaran rupiah lenyap.
Karyawan yang tengah memÂbersihkan koleksi Museum pada Senin pagi, 7 SeptemÂber 1987, kaget bukan kepalang. Sebelas keramik Cina jenis celadon yang terdiri atas vas, piring, dan buli-buli buatan abad ke-11 sampai ke-15 hilang dari lemari nomor 34 dan 35. Pintu kedua lemari itu dicongkel. Entah kenapa Direktur Museum Nasional Teguh Asmar tidak melaporkannya ke polisi.
Tiga pekan kemudian, juga pada Senin, museum kembali dibobol. Kali ini sembilan koleksi keramik Cina kuno dari Dinasti Ming warna biru-putih, dari abad ke-15, lenyap dari lemari 40B dan 43A. Lagi- lagi nilai barang yang dicuri itu mencapai miliaran rupiah. Setelah pencurian yang kedua ini, baru Teguh Asmar melapor ke Kepolisian Sektor Gambir.
Diduga si maling menyusup ke museum pada siang hari, bersembunyi di dalam dan tidak keluar ketika museum ditutup pada pukul 14.00. Setelah sepi, baru dia beraksi dan keluar lewat jendela Ruang Prasejarah. Modus ini persis sama dengan pencurian museum yang sama pada 1971. Kala itu, lima koleksi mata uang Cina kuno lenyap. Maling diduga "menginap" lantaran ditemukan bungkus dan bekas makanan khas Eropa.
Museum Gajah memang lemah. Pagar gedung mudah dilompati. Ruang koleksinya, seperti di ruangan keramik yang dibobol itu, tidak memiliki sensor alarm, apalagi kamera pengamat. Tiap malam hanya tiga anggota satpam yang berjaga. Tapi mereka hanya berjaga-jaga di depan. Alasannya, "Takut hantu."
Museum Nasional juga ternyata tidak mendokumentasikan koleksinya dengan teknologi fotografi yang baik. Padahal dokumentasi itu penting untuk memberi informasi kepada pengunjung sekaligus sebagai alat bantu melacak barang yang hilang tersebut. "Tanpa ada foto komplet dari berbagai sudut, mana mungkin kita bisa menemukannya?" kata seorang ahli museum dari mancanegara yang tak mau disebutkan namanya. Dulu sebuah lembaga di Eropa menawarkan jasa pendokumentasian itu secara gratis. Ganjilnya, pihak museum menolak.
Tapi pengurus museum tak mau disalahkan. Teguh, misalnya, menyalahkan dana keamanan yang sangat kecil. Anggaran keamanan kala itu hanya 15-20 persen dari biaya operasional museum yang jumlahnya Rp 76 juta per tahun. "Mana mungkin kami bisa membangun sistem keamanan yang baik?" katanya. Ia meminta anggaran keamanan dinaikkan 30 persen, dan menjamin tidak akan ada lagi pencurian bila sistem pengamanan canggih sudah terpasang. "Saya siap digantung," ujarnya.
Pensiunan kurator Museum Nasional, Abu Ridho, mengusulkan supaya barang koleksi tidak dipajang. "Yang dipajang hanya fotonya." Ia juga mengkritik sikap pemerintah yang seolah-olah tidak peduli terhadap pengamanan harta budaya itu.
Mundardjito, arkeolog dan dosen Universitas Indonesia, mendesak supaya museum segera mendata koleksinya dengan baik. Dia juga menyarankan pemerintah menerbitkan selebaran khusus mengenai benda yang dicuri. Di beberapa negara hal itu sudah dilakukan, seperti majalah bulanan Stolen Arts Alert di Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo