Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Kepala Labora Sitorus membetot perhatian kita karena dia muncul bak tokoh tiban nan ajaib dalam kisah sinetron. Bagaimana mungkin anggota Kepolisian Resor Raja Ampat, Papua, yang berpangkat kroco dengan gaji Rp 3 juta sebulan memiliki pundi-pundi triliunan rupiah. Kejanggalan ini pun sengaja dibenamkan para koleganya dengan alasan dibikin-bikin: Labora punya bakat entrepreneur.
Bakat Labora ternyata berbau kriminal. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan ada transaksi mencurigakan yang dia lakukan dengan "rekan bisnis" dan keluarganya sejak 2007 sampai 2012 sebesar Rp 1,5 triliun. Belakangan ternyata dia menimbun bahan bakar minyak serta melakukan pembalakan liar, yang diwarnai beking dan setor-menyetor fulus alias sogok kepada para polisi, baik di Papua maupun Jakarta.
Sudah sepatutnya dia disidik polisi lantaran menimbun bahan bakar minyak dan melakukan illegal logging. Dua berkas hasil pemeriksaan yang sudah lengkap ini harus diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Papua untuk segera disidangkan, agar biang keladinya terkuak. Rasanya mustahil perbuatan pidana ini dilakukan Labora seorang diri. Labora sedikit membuka mata rantainya: ada 33 polisi yang ikut kecipratan duit haram alias suap yang di kalangan mereka lazim disebut setoran itu.
Dari sinilah Labora juga dijerat perkara pencucian uang. Hanya, terasa janggal jika berkas perkaranya ditangani polisi. Semestinya korps Bhayangkara melimpahkan saja kasus yang diduga melibatkan para anggota, perwira, dan pejabat kepolisian ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada KPK, Labora mengaku telah menyetor duit sejak Juni 2012 hingga April lalu, sebanyak Rp 10,9 miliar, kepada sejumlah koleganya dari berbagai unsur.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Labora mengaku kerap diperlakukan para atasannya sebagai mesin pengeruk uang atau "ATM". Ia mengisahkan, suatu hari Kepala Polres Raja Ampat Ajun Komisaris Besar Taufik Irfan datang ke Sorong meminta sumbangan untuk diberikan kepada Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Tito Karnavian di Jayapura. Tanpa banyak cincong, ia memberikan Rp 600 juta di dalam tas. Labora juga mengaku ada perwira, bukan jenderal, di Markas Besar Kepolisian di Jakarta yang membantu menyelesaikan perkaranya.
Pengakuan sepihak Labora ini perlu didalami KPK. Jangan susut, kendati pihak kepolisian terkesan menutup-nutupi kasus ini agar tak dirunut sampai ke para jenderal di Jakarta. Komisi antirasuah harus mendorong Labora agar di persidangan tak takut mengungkap siapa saja jenderal dan perwira polisi lain yang diduga menikmati duit haram itu. Meski belum mengambil oper kasus ini, KPK bisa bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk mendorong Labora menjadi whistler-blower.
Aliran dana siapa pun yang namanya disebut Labora harus diikuti, betapapun berkelok-kelok. Bisa jadi ia bermain dalam sindikat yang terorganisasi rapi di tubuh kepolisian. Bukan mustahil Labora hanyalah orang lapangan yang melakukan pekerjaan kasar, sedangkan para perwira, baik di Papua maupun Jakarta, boleh jadi yang mengegolkan proyek-proyek lintas daerah. Apalagi duit yang mereka terima bukan sekadar cipratan sekali-sekali, melainkan duit jumbo yang diterima secara rutin.
Pembalakan liar di Papua juga belum banyak disorot. Selama ini, pencurian gelondongan kayu Kalimantan yang lebih mengemuka. Padahal sangat mungkin transaksi yang berangkat dari perusakan lingkungan di Papua jumlahnya lebih menggiurkan. Bisnis kayu memiliki mata rantai yang panjang dan mahal. Kapal-kapal tongkang perusahaan Labora yang sehari-harinya wira-wiri mengangkut kayu ke Surabaya tentu membutuhkan aneka ragam "izin" sana-sini—yang hanya bisa dikeluarkan aparat keamanan.
Belum lagi pariwisata. Harap diingat, daerah tempat Labora bekerja sehari-hari, kawasan Raja Ampat, menjadi permata baru dunia turisme Indonesia. Laut, terumbu karang, dan ikan purbanya kini ramai dilirik pencinta diving seluruh dunia. Investor asing mulai berlomba memburu tanah-tanah, membangun resor dan vila. Dalam pelacakan Tempo, di Sorong, Labora tengah mempersiapkan sebuah resor kelas dunia tempat turis-turis singgah sebelum pelesir ke Raja Ampat.
Di Pengadilan Negeri Sorong nanti, Labora haruslah didorong mau "bernyanyi" merdu. Agar "cengkok"-nya lancar, dan menghasilkan suara maut, ia mesti diberi jaminan keamanan yang maksimal. Bukan tak mungkin dari mulut sang terdakwa kelak mengalun pengakuan mengejutkan ihwal poros bisnis ilegal aparat kepolisian yang tersebar dari Sorong, Jayapura, hingga Jakarta.
berita terkait di halaman 102
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo