Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sedekah dari teri dan kakap

Upacara "sedekah laut" dilakukan oleh nelayan pantai cilacap untuk minta berkah dari penguasa laut selatan: nyai loro kidul. dalam upacara tak ada beda nelayan trawl dan tradisional. (ils)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANTAI Karang Tengah di Pulau Nusakambangan berhadapan dengan Cilacap. Penuh orang pagi 11 Desember, bersamaan dengan Selasa Kliwon Bulan Sura. Tapi keramaian itu tidak ada hubungan dengan urusan Lembaga Pemasyarakatan di pulau narapidana itu. Lebih dari 1000 orang terdiri dari nelayan, pejabat daerah, para simpatisan atau pun hanya sekedar mau tahu saja. Mereka merayakan apa yang disebut "sedekah laut". Upacara ini diadakan di Buian Sura setiap tahun kalau jatuh hari Jumat atau Selasa Kliwon. Upacara berjalan cukup tertib, karena seperti pasukan yang akan maju perang, para nelayan "kakap" dan "teri" berbaris rapi. Tak ada perbedaan antara nelayan trawl dan tradisional. Paling depan, ada empat orang yang mengenakan pakaian serba hitam menggotong nampan dibungkus kain merah putih. Pimpinan upacaranya sendiri, -- Atas Munandar (44 tahun) -- mengenakan pakaian lurik hijau, sarung yang disampirkan dan destar (ikan kepala) gaya Cilacapan. Ngruwat Sementara itu, sekitar 125 perahu berhias rapat memenuhi pantai Karang Tengah. Hampir tiap perahu sarat membawa komaran yaitu sesajen yang berbentuk rumah-rumahan kertas berwarna dengan ukuran sekitar 1 meter. Isi sesaji yang ada di dalam komaran tergantung pada kemampuan si nelayan. Kalau tahun sebelumnya seorang nelayan banyak menangkap ikan, sesajennya pun sesuai dengan rezekinya. Biasanya, dalam komaran ada sebuah kepala kambing hitam, seperangkat alat kosmetik, kain baju berwarna hijau -- yang dipercaya semua itu berupa upeti untuk Nyai Roro Kidul, ratu laut selatan. Selain ketiga benda pokok tadi tidak luput pula sesajen yang berupa kapur sirih, jajan pasar, ayam panggang, cerutu atau rokok kretek dan alat-alat pertanian dalam ukuran mini. Di antara selingan suara ombak, beberapa perahu motor membawa transistor. Yang keluar bukan suara gamelan atau lagu-lagu daerah, tapi nyanyian Boney M. Setelah di tengah laut iring-iringan perahu berpencar. Mereka membuang sesajen di tempat mana biasanya mereka menangkap ikan. Pelayaran Cilacap-Karang Tengah selesai, selanjutnya tahap kedua yang lebih berat. Yaitu perjalanan ke Batu Bale. Tempat ini terletak di paling selatan Pulau Nusakambangan. Di tempat itu ada sebuah batu yang berbentuk kerucut terbalik. Di Batu Bale itulah konon terletak markas para pengawal Nyai Roro Kidul dan sekaligus juga tempat musyawarah mereka. Di atas batu itulah, nampan yang dibawa tadi diletakkan. Sesajen kolektif ini terdiri dari alat kosmetik (untuk berdandan Nyai Roro yang berupa bedak, sisir, kaca, cemara dan gincu), kelapa muda hijau, pisang tiga macam, pepaya, gula batu, kopi, gula merah, kembang tiga rupa, kapur sirih, kemenyan dan ampo (tanah). Setelah upacara di Batu Bale selesai, para nelayan pergi ke Kali Lanang. Dinamakan demikian karena bentuk batu karang ini menyerupai kelamin lakilaki dan pada ujungnya keluar air. Segala botol, jeriken atau tempat air model apa saja mereka isi penuh-penuh. Air ini dianggap berkhasiat, untuk diminum dan memandikan perahu atau jala, agar sang ikan atau udang mudah ditangkap. Konon upacara ini telah mentradisi sejak 1932, ketika Sunan Sala ke-XI memerintahkan agar Bupati Cilacap mengadakan sedekah laut semacam ini. Ada manfaat merayakan sedekah laut ini. Yaitu -- biarpun cuma satu hari atau dua -- para nelayan yang "kakap" dan "teri" bisa berkumpul. Di Cilacap, ada 6.400 nelayan yang kalau dijumlah dengan keluarganya menjadi 25.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 95% terdiri dari nelayan melarat yang cuma mengandalkan perahu kecil dan jalanya saja -- biasa disebut nelayan tradisional. Sisanya, apa yang disebut nelayan maju pemilik pukat harimau. Upacara sedekah laut tidak cukup sehari saja. Sebab setelah kembali dari upacara di Batu Bale, malam harinya di tempat pelelangan ikan ada pertunjukan wayang kulit. Pagelaran yang berbentuk ngruwat (untuk menolak mara bahaya) ini biasanya membawakan lakon Babad Segara Kidul. Keesokan harinya, masih ada lagi pesta lanjutan. Yaitu khitanan anak-anak nelayan dan penguburan kembali para nelayan yang telah "gugur" di medan ikan. Mereka yang telah tewas di laut dan dikuburkan terpencar, siang itu ditanam kembali di pekuburan Karang Suci, Cilacap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus