LEBIH 1000 pengunjung memenuhi halaman Pengadilan Negeri Jember
11 Desember lalu. Seorang pemuda, dengan rambut gondrong dan
jaket biru memasuki ruang sidang. Di punggungna terbaca tulisan
"MERDEKA?" dengan huruf-huruf besar.
Dia adalah M. Munir, seorang dari 7 terdakwa yang diajukan jaksa
Siahaan SH dalam kasus Jenggawah yang terkenal itu. Enam
terdakwa lainnya: Imam Chudori, M. Mashuri, Juli, Rusdiono,
Sulin dan Supar. Sidang hari itu hanya berlangsung beberapa
menit. Hakim ketua Ny. Endang Pratiwi SH menunda sampai 20
Desember lantaran pembela mereka, Pamudji SH, tidak datang.
Tapi sudah pasti, kasus Jenggawah yang meledak akhir Juli lalu
itu bakal diselesaikan lewat pengadilan. Ini berbeda dengan
kasus Siria-ria di Sumatera Utara yang berakhir dengan upacara
adat.
Kasus ini bermula 1977 ketika PTP XXVII (tembakau) Jember
"menertibkan" tanah HGUnya seluas 3.274 ha. Sejak zaman
penjajahan Belanda, tanah itu digarap penduduk Jenggawah dengan
sistem glebakan. Maksudnya di luar musim tanam tembakau, 1 kali
dalam 2 tahun, petani berhak menggarap tanah itu.
Terakhir ada 5.537 petani yang mempunyai hak garap. Bahkan
banyak di antara mereka yang menguasai lebih 1 ha. PTP XXVI I,
dalam "penertiban" itu, hanya mengizinkan seorang penggarap
menguasai 0,3 ha. Maka tanah itu pun dikapling, masing-masing
0,3 ha, setiap pemegang kapling mendapat kartu biru yang
menentukan letak tanah garapan.
Para penggarap tidak bisa menerima keputusan PTP itu dan
timbullah berbagai gejolak di masyarakat Jenggawah, hingga DPR
pun membicarakannya. Gubernur Jawa Timur Soenandar Priyosudarmo
kemudian mengambil jalan tengah. Penggarap yang semula menguasai
lebih 0,3 ha, bisa diberi tambahan sesuai jumlah anak yang sudah
dewasa.
Para petani semula bisa menerima kebijaksanaan gubernur ini.
Tapi lantaran pelaksanaannya tidak seperti yang dijanjikan --
banyak penggarap yang tidak diberi tambahan -- timbul keresahan
baru. Maka meledaklah kemarahan rakyat yang berakhir dengan
terbakarnya 2 gudang PTP.
Sebanyak 36 orang ditahan akibat peristiwa itu, tapi menjelang
hari raya Idul Fitri lalu semua dibebaskan. Sejak itu tidak
pernah lagi terdengar lanjutan peristiwa ini. Bahkan beredar
kabar bahwa perkara mereka dianggap selesai. Karena itu banyak
penduduk Jenggawah yang kaget ketika tiba-tiba 7 di antara
petani yang pernah ditahan dipanggil ke persidangan.
Bagaimana tanah garapannya sendiri? Usaha memaksakan pelaksanaan
keputusan PTP ternyata tidak pernah terdengar lagi, sampai 3
bulan setelah peristiwa. Diam-diam, banyak petani yang mulai
mencangkuli lagi tanahnya semula, seakan-akan tidak pernah
terjadi pengkaplingan. Anehnya kerawat (pamong) desa tidak
mengambil tindakan apa-apa. Dan ketika musim hujan mulai turun
awal November lalu, "hampir semua penggarap lama sudah mulai
siapsiap mengerjakan tanahnya menanam padi," ujar H. Mahfud,
salah seorang penggarap. Dengan demikian pelaksanaan
pengkaplingan yang semula sudah mulai jalan, jadi mentah lagi.
Bunuh Dulu Saya
Bupati Jember Soepono, kaget juga mendengar laporan bahwa para
petani kembali menggarap tanah mereka seperti sebelum terjadi
"penertiban". Maka 4 Desember lalu disebarkan pengumuman dalam
dua bahasa (Indonesia dan Madura). Isinya: petani hanya boleh
menggarap tanah sesuai dengan ketentuan dalam kartu biru. "Yang
tidak mematuhi akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku,"
tulis selebaran itu.
Para petani yang sudah mulai asyik berlumur lumpur di sawahnya
masingmasing tersentak. Apalagi selebaran itu tidak
menyebut-nyebut kebijaksanaan gubernur bahwa mereka berhak atas
tambahan kapling di luar kartu biru. Tidak hanya pengumuman itu
yang disebarkan, tapi bupati juga mengirim 4 petugas berpakaian
preman yang dikenal sebagai petugas Polri. Mereka sejak 7
Desember lalu mendatangi rumah-rumah penduduk di Cangkring,
Kaliwining, Ajung dan Lengkong, minta cap jempol sebagai tanda
mematuhi keputusan PTP. "Tapi baru sekitar 20 petani yang
memberikan cap jempol. Itu pun karena takut ancaman," ujar
Basuki Arief, wakil penggarap di Kaliwining. Seorang petani,
Mardilem, misalnya, seperti dituturkan istrinya pada TEMPO,
begitu membubuhkan cap jempol, malamnya tidak bisa tidur dan
keesokan harinya meninggal dunia.
Ada juga yang terang-terangan menolak dan tetap berkeras
rneskipun diancam. "Swah saya itu juga istri saya. Kalau bapak
memaksa menyerahkan sawah itu sama saja dengan menyutuh
menyerahkan istri saya. Lebih baik bunuh dulu saya," ujar
Mashuri kepada TEMPO menirukan ucapannya ketika didatangl
petugas.
Pelaksanaan pengkaplingan kembali tampaknya masih memerlukan
waktu yang cukup panjang. Setidaknya belum bisa tuntas dalam
musim tanam tahun ini, lantaran para penggarap sudah mulai turun
ke sawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini