Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mereka mengancam petani

Penyelesaian sengketa tanah jenggawah menyimpang dari perjanjian. akibatnya timbul kerusuhan lagi yang berakhir dengan terbakarnya 2 gedung milik ptp xxvii. (ds)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH 1000 pengunjung memenuhi halaman Pengadilan Negeri Jember 11 Desember lalu. Seorang pemuda, dengan rambut gondrong dan jaket biru memasuki ruang sidang. Di punggungna terbaca tulisan "MERDEKA?" dengan huruf-huruf besar. Dia adalah M. Munir, seorang dari 7 terdakwa yang diajukan jaksa Siahaan SH dalam kasus Jenggawah yang terkenal itu. Enam terdakwa lainnya: Imam Chudori, M. Mashuri, Juli, Rusdiono, Sulin dan Supar. Sidang hari itu hanya berlangsung beberapa menit. Hakim ketua Ny. Endang Pratiwi SH menunda sampai 20 Desember lantaran pembela mereka, Pamudji SH, tidak datang. Tapi sudah pasti, kasus Jenggawah yang meledak akhir Juli lalu itu bakal diselesaikan lewat pengadilan. Ini berbeda dengan kasus Siria-ria di Sumatera Utara yang berakhir dengan upacara adat. Kasus ini bermula 1977 ketika PTP XXVII (tembakau) Jember "menertibkan" tanah HGUnya seluas 3.274 ha. Sejak zaman penjajahan Belanda, tanah itu digarap penduduk Jenggawah dengan sistem glebakan. Maksudnya di luar musim tanam tembakau, 1 kali dalam 2 tahun, petani berhak menggarap tanah itu. Terakhir ada 5.537 petani yang mempunyai hak garap. Bahkan banyak di antara mereka yang menguasai lebih 1 ha. PTP XXVI I, dalam "penertiban" itu, hanya mengizinkan seorang penggarap menguasai 0,3 ha. Maka tanah itu pun dikapling, masing-masing 0,3 ha, setiap pemegang kapling mendapat kartu biru yang menentukan letak tanah garapan. Para penggarap tidak bisa menerima keputusan PTP itu dan timbullah berbagai gejolak di masyarakat Jenggawah, hingga DPR pun membicarakannya. Gubernur Jawa Timur Soenandar Priyosudarmo kemudian mengambil jalan tengah. Penggarap yang semula menguasai lebih 0,3 ha, bisa diberi tambahan sesuai jumlah anak yang sudah dewasa. Para petani semula bisa menerima kebijaksanaan gubernur ini. Tapi lantaran pelaksanaannya tidak seperti yang dijanjikan -- banyak penggarap yang tidak diberi tambahan -- timbul keresahan baru. Maka meledaklah kemarahan rakyat yang berakhir dengan terbakarnya 2 gudang PTP. Sebanyak 36 orang ditahan akibat peristiwa itu, tapi menjelang hari raya Idul Fitri lalu semua dibebaskan. Sejak itu tidak pernah lagi terdengar lanjutan peristiwa ini. Bahkan beredar kabar bahwa perkara mereka dianggap selesai. Karena itu banyak penduduk Jenggawah yang kaget ketika tiba-tiba 7 di antara petani yang pernah ditahan dipanggil ke persidangan. Bagaimana tanah garapannya sendiri? Usaha memaksakan pelaksanaan keputusan PTP ternyata tidak pernah terdengar lagi, sampai 3 bulan setelah peristiwa. Diam-diam, banyak petani yang mulai mencangkuli lagi tanahnya semula, seakan-akan tidak pernah terjadi pengkaplingan. Anehnya kerawat (pamong) desa tidak mengambil tindakan apa-apa. Dan ketika musim hujan mulai turun awal November lalu, "hampir semua penggarap lama sudah mulai siapsiap mengerjakan tanahnya menanam padi," ujar H. Mahfud, salah seorang penggarap. Dengan demikian pelaksanaan pengkaplingan yang semula sudah mulai jalan, jadi mentah lagi. Bunuh Dulu Saya Bupati Jember Soepono, kaget juga mendengar laporan bahwa para petani kembali menggarap tanah mereka seperti sebelum terjadi "penertiban". Maka 4 Desember lalu disebarkan pengumuman dalam dua bahasa (Indonesia dan Madura). Isinya: petani hanya boleh menggarap tanah sesuai dengan ketentuan dalam kartu biru. "Yang tidak mematuhi akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku," tulis selebaran itu. Para petani yang sudah mulai asyik berlumur lumpur di sawahnya masingmasing tersentak. Apalagi selebaran itu tidak menyebut-nyebut kebijaksanaan gubernur bahwa mereka berhak atas tambahan kapling di luar kartu biru. Tidak hanya pengumuman itu yang disebarkan, tapi bupati juga mengirim 4 petugas berpakaian preman yang dikenal sebagai petugas Polri. Mereka sejak 7 Desember lalu mendatangi rumah-rumah penduduk di Cangkring, Kaliwining, Ajung dan Lengkong, minta cap jempol sebagai tanda mematuhi keputusan PTP. "Tapi baru sekitar 20 petani yang memberikan cap jempol. Itu pun karena takut ancaman," ujar Basuki Arief, wakil penggarap di Kaliwining. Seorang petani, Mardilem, misalnya, seperti dituturkan istrinya pada TEMPO, begitu membubuhkan cap jempol, malamnya tidak bisa tidur dan keesokan harinya meninggal dunia. Ada juga yang terang-terangan menolak dan tetap berkeras rneskipun diancam. "Swah saya itu juga istri saya. Kalau bapak memaksa menyerahkan sawah itu sama saja dengan menyutuh menyerahkan istri saya. Lebih baik bunuh dulu saya," ujar Mashuri kepada TEMPO menirukan ucapannya ketika didatangl petugas. Pelaksanaan pengkaplingan kembali tampaknya masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Setidaknya belum bisa tuntas dalam musim tanam tahun ini, lantaran para penggarap sudah mulai turun ke sawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus