PADA batu nisannya, oleh Pastor Schwartzkopf, sahabat setianya,
ditorehkan satu kutipan dari sebuah karya dramanya: "Sungguh
malu membicarakan perihal Tuhan. Menyebut namaNya pun aku tak
bisa." Itulah nisan Ernst Barlach (1870-1938), pematung,
grafikus dan juga penulis drama Jerman yang sejumlah karya
grafisnya sejak awal Desember sampai Rabu lalu dipamerkan di
Balai Senirupa Jakarta.
Pastor agaknya tak keliru. Dari 70-an karya grafis yang
dipamerkan memang tercium nafas religius bukan lewat gambar
orang berdoa atau yang berhubungan dengan keagamaan, tapi lewat
potret penderitaan manusia. Ada tukilan kayu melukiskan seorang
ibu berlutut di depan pembaringan anaknya yang mati. Ada yang
menggambarkan seorang lelaki dan perempuan sedang menari,
sementara di sudut kanan bawah, dalam keremangan, seorang
perempuan muda terbaring sakit -- judul karya litografi ini
Tarian Putus Asa. Sebuah cukilan kayu yang lain, menggambarkan
seorang perempuan kurus sedang menangkap anjing di belakangnya
perempuan yang lebih muda mengikutinya -- mungkin anaknya. Yang
lantas tertangkap dari karya ini ialah, betapa kelaparan mampu
mengubah citra kemanusiaan.
Semua itu digambarkan dalam karya grafis hitam-putih, dengan
figur-figur yang anatomis tepat tapi dalam bentuk yang
berlawanan dari ideal. Boleh disebut kombinasi simbolisme dan
realisme dengan nada dasar pesimistis: semuanya saja melukiskan
betapa sia-sianya hidup, karena ternyata penuh kesengsaraan.
Toh, Barlach menerima semua itu dengan dada lapang -- apa boleh
buat, hidup dan mati tak pernah direncanakan oleh yang
bersangkutan. Ini terasakan dari wajah-wajah yang ditampilkannya
mereka tak menghujat Tuhan. Wajah-wajah itu wajah keras orang
religius: betapapun dunia menghantamnya, masih ada satu pegangan
yang membuatnya tegak. Dan tak sia-sialah 7 serial cukilan
kayunya yang melukiskan 7 hari penciptaan. Mungkin hanya karya
ini yang menampilkan figur berwajah teduh. Dan dalam
serialnya ke-7, Hari Istirahat, Tuhan duduk dengan tenang
membiarkan segala ciptaanNya berkembang sendirinya, tapi tak
dibiarkannya mereka sendirian. Yang Maha Pencipta itu seperti
juga siap turun tangan.
Perang Dunia II
Zaman di akhir abad XIX dan di awal abad XX, senirupa Barat
memang sedang gandrung individualisme. Yang penting adalah suara
hati nurani senimannya sendiri dan bukan obyek yang digambarkan
-- begitulah kira-kira para pelopor ekspresionisme berujar. Dan
entah kebetulan atau bagaimana, paling tidak 9 pelopor
ekspresionisme hidupnya selalu dirundung malang -- termasuk
Barlach. Kalau tidak penyakitan dan miskin, mereka dikucilkan --
karena tingkah atau kepercayaan yang berbeda.
Perkembangan artistik Barlach bisa dianggap menyebal dari
lazimnya zaman itu. Ketika hampir semua pelukis Eropa
menganggap Paris sebagai Mekahnya, dia menemukan gayanya justru
dalam dua bulan perlawatan ke Rusia. Wajah-wajah yang keras dan
patriotik para petani Rusia agaknya dilihatnya sebagai wajah
yang tepat untuk mengekspresikan ide-idenya.
Barlach jadi kesohor tahun-tahun 20-an. Tapi ketika Nazi
berkuasa, dia mengalami tekanan luar biasa. Di waktu Hitler
ingin menggugah semangat anak muda dan meyakinkan semua orang
Jerman bahwa mereka dilahirkan dengan kasta lebih tinggi dari
ras manapun, karya-karya Barlach tentulah tak kena. Yang
dibutuhkan tak lain karya "optimistis" -- betapapun palsu dan
bohongnya. Hitler, yang pernah belajar melukis itu, sempat
membentuk satu grup pelukis Nazi yang menciptakan karya
propaganda: hanya kebesaran dan ke agungan boleh digambarkan --
penderitaan manusia disingkirkan jauh-jauh. Dan karya Barlach
pun dicabut dari museum-museum di Jerman. Sebagian sempat
dihancurkan. Sesudah Perang Dunia II, kembali Jerman (Barat)
mengakui Barlach sebagai seniman besar di kota Luneburg
didirikan museum khusus bagi orang sengsara ini.
Terakhir yang perlu dicatat: tema dan bentuk benar-benar
menyatu. Pilihan Barlach untuk bicara lewat karya grafis hitam
putih memang tepat. Itulah satu hal yang barangkali kini agak
susah dicari -- ketika karya-kalya senirupa berbicara tentang
nasib yang hitam dengan warna cerah ketika sampah berwarna
indah dan -- apa boleh buat -- kehilangan bau busuknya pada
kanvas dua dimensi itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini