Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hitam putih kesengsaraan

Sejumlah karya pematung, grafikus & penulis drama dari jerman, ernst barlach dipamerkan di balai seni rupa jakarta. gaya lukisannya banyak diilhami wajah petani rusia. (sr)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA batu nisannya, oleh Pastor Schwartzkopf, sahabat setianya, ditorehkan satu kutipan dari sebuah karya dramanya: "Sungguh malu membicarakan perihal Tuhan. Menyebut namaNya pun aku tak bisa." Itulah nisan Ernst Barlach (1870-1938), pematung, grafikus dan juga penulis drama Jerman yang sejumlah karya grafisnya sejak awal Desember sampai Rabu lalu dipamerkan di Balai Senirupa Jakarta. Pastor agaknya tak keliru. Dari 70-an karya grafis yang dipamerkan memang tercium nafas religius bukan lewat gambar orang berdoa atau yang berhubungan dengan keagamaan, tapi lewat potret penderitaan manusia. Ada tukilan kayu melukiskan seorang ibu berlutut di depan pembaringan anaknya yang mati. Ada yang menggambarkan seorang lelaki dan perempuan sedang menari, sementara di sudut kanan bawah, dalam keremangan, seorang perempuan muda terbaring sakit -- judul karya litografi ini Tarian Putus Asa. Sebuah cukilan kayu yang lain, menggambarkan seorang perempuan kurus sedang menangkap anjing di belakangnya perempuan yang lebih muda mengikutinya -- mungkin anaknya. Yang lantas tertangkap dari karya ini ialah, betapa kelaparan mampu mengubah citra kemanusiaan. Semua itu digambarkan dalam karya grafis hitam-putih, dengan figur-figur yang anatomis tepat tapi dalam bentuk yang berlawanan dari ideal. Boleh disebut kombinasi simbolisme dan realisme dengan nada dasar pesimistis: semuanya saja melukiskan betapa sia-sianya hidup, karena ternyata penuh kesengsaraan. Toh, Barlach menerima semua itu dengan dada lapang -- apa boleh buat, hidup dan mati tak pernah direncanakan oleh yang bersangkutan. Ini terasakan dari wajah-wajah yang ditampilkannya mereka tak menghujat Tuhan. Wajah-wajah itu wajah keras orang religius: betapapun dunia menghantamnya, masih ada satu pegangan yang membuatnya tegak. Dan tak sia-sialah 7 serial cukilan kayunya yang melukiskan 7 hari penciptaan. Mungkin hanya karya ini yang menampilkan figur berwajah teduh. Dan dalam serialnya ke-7, Hari Istirahat, Tuhan duduk dengan tenang membiarkan segala ciptaanNya berkembang sendirinya, tapi tak dibiarkannya mereka sendirian. Yang Maha Pencipta itu seperti juga siap turun tangan. Perang Dunia II Zaman di akhir abad XIX dan di awal abad XX, senirupa Barat memang sedang gandrung individualisme. Yang penting adalah suara hati nurani senimannya sendiri dan bukan obyek yang digambarkan -- begitulah kira-kira para pelopor ekspresionisme berujar. Dan entah kebetulan atau bagaimana, paling tidak 9 pelopor ekspresionisme hidupnya selalu dirundung malang -- termasuk Barlach. Kalau tidak penyakitan dan miskin, mereka dikucilkan -- karena tingkah atau kepercayaan yang berbeda. Perkembangan artistik Barlach bisa dianggap menyebal dari lazimnya zaman itu. Ketika hampir semua pelukis Eropa menganggap Paris sebagai Mekahnya, dia menemukan gayanya justru dalam dua bulan perlawatan ke Rusia. Wajah-wajah yang keras dan patriotik para petani Rusia agaknya dilihatnya sebagai wajah yang tepat untuk mengekspresikan ide-idenya. Barlach jadi kesohor tahun-tahun 20-an. Tapi ketika Nazi berkuasa, dia mengalami tekanan luar biasa. Di waktu Hitler ingin menggugah semangat anak muda dan meyakinkan semua orang Jerman bahwa mereka dilahirkan dengan kasta lebih tinggi dari ras manapun, karya-karya Barlach tentulah tak kena. Yang dibutuhkan tak lain karya "optimistis" -- betapapun palsu dan bohongnya. Hitler, yang pernah belajar melukis itu, sempat membentuk satu grup pelukis Nazi yang menciptakan karya propaganda: hanya kebesaran dan ke agungan boleh digambarkan -- penderitaan manusia disingkirkan jauh-jauh. Dan karya Barlach pun dicabut dari museum-museum di Jerman. Sebagian sempat dihancurkan. Sesudah Perang Dunia II, kembali Jerman (Barat) mengakui Barlach sebagai seniman besar di kota Luneburg didirikan museum khusus bagi orang sengsara ini. Terakhir yang perlu dicatat: tema dan bentuk benar-benar menyatu. Pilihan Barlach untuk bicara lewat karya grafis hitam putih memang tepat. Itulah satu hal yang barangkali kini agak susah dicari -- ketika karya-kalya senirupa berbicara tentang nasib yang hitam dengan warna cerah ketika sampah berwarna indah dan -- apa boleh buat -- kehilangan bau busuknya pada kanvas dua dimensi itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus