Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Soal Aceh (II)

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO, edisi 12-18 Juni 2000, rubrik Selingan, dengan judul ”Aceh Merdeka, HasanTiro, dan Satu Tafsir Sejarah”, halaman 48, pada kolom 2 terdapat kalimat antara lain:
  1. ”Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang terakhir, pada 1874, karena berperang melawan Belanda”.
  2. ”Setelah berpuluh tahun tak mampu menguasai Aceh, pada 25 Desember 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Sweiten berhasil mencaplok Aceh dan menjadikannya koloni”.
  3. ”Di dalam kesultanan sendiri terjadi masalah karena anak sultan yang seharusnya menggantikan Muhammad Daud Shah baru berumur 12 tahun. Suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan lalu diserahkan ke Tengku Muhammad Saman di Tiro sebagai wali negara sekaligus panglima perang”.

Hal di atas perlu dipertanyakan karena:

  1. Ketika pernyataan perang pemerintah Hindia Belanda terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, Sultan Aceh saat itu adalah Alaiddin Mahmud Syah yang masih muda. Sultan tersebut mulai bertakhta tahun 1870, menggantikan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah, yang mangkat pada tahun yang sama. Sultan Alaiddin Mahmud Syah mangkat dalam suasana ekspedisi militer Belanda kedua, yaitu pada 28 Januari 1874, karena penyakit kolera.
  2. Lambang pencaplokan kerajaan Aceh dimulai dari perebutan ”Dalam (Istana)” Sultan Aceh di daerah Aceh Besar oleh pasukan Belanda pada 24 Januari 1874. Beberapa hari sebelum tanggal tersebut, Sultan (Alaiddin Mahmud Syah) sudah menyingkir dari ”Dalam”. Pendudukan tanah Aceh terjadi pada masa ekspedisi militer Belanda kedua, pimpinan Letnan Jenderal J. van Swieten, yang dimulai 9 Desember 1873. Pada 31 Januari 1874, Van Swieten memproklamasikan bahwa kerajaan Aceh sudah ditaklukkan dan pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan Sultan dan menempatkan daerah Aceh Besar menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan pihak Aceh bertambah meningkat, walaupun Belanda sudah menduduki ”Dalam Sultan”.
  3. Sultan Alaiddin Mahmud Syah ”tidak memiliki putra-putra”, hal itu tercantum dalam kalimat: ”Daar de laatste Soeltan Ala ad-Din Mahmoed Sjah geen zoons naliet kwam Moehamad Dawot als opvolger in aanmerking,... (Karena Sultan terakhir, Alaiddin Mahmud Sjah, tidak meninggalkan putra-putra, muncullah Muhamad Daud sebagai pengganti, .…).

RIDWAN AZWAD
Dinas Pendapatan Daerah DI Aceh
Jalan T. Nyak Arif 120
Banda-aceh 23125

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus