Kaget berat saya ketika membaca artikel "Jingle Dulu, Baru Lagu" (TEMPO, 27 April 1991, Media). Pasalnya, jika disimak baik-baik, artikel itu bisa merupakan tamparan bagi pembuat jingle-nya (pencipta melodi dan musik). Di situ disebutkan, dengan menyanyi satu menit (untuk iklan sebuah bank), seorang Vina Panduwinata bisa memperoleh Rp 15 juta. Atau Henny Poerwonegoro bisa mengantungi Rp 15 juta untuk produk susu kaleng yang dibawakannya dalam tempo tiga menit. Sementara itu, honor penggarap jingle-nya antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta untuk Chandra Darusman, dan Rp 8 juta sampai Rp 10 juta buat Elfa Secioria. Setahu saya, honor sebesar itu sudah termasuk untuk penyanyi jingle-nya, juga untuk narator yang menyebutkan motto dari produk yang dijajakan. Alangkah tidak adilnya jika benar Vina, Henny, atau vokalis lainnya mendapat bagian sekian kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan pembuat jingle-nya yang harus membayar sewa studio, penulis lirik, dan pemain musik. Padahal, para pencipta jingle ini akan melepaskan "karya" dan sekaligus hak ciptanya. Di samping itu, nama mereka tak pernah tercantum, atau diucapkan oleh penyiar radio dan televisi. Maka, seharusnyalah para pencipta jingle ini yang mendapatkan honorarium tertinggi. Apalagi kalau dikaitkan: belum tentu ada perjanjian tertulis antara produsen dan pembuat jingle tentang berapa lama jingle itu mengudara. Nah, perihal honor Vina Panduwinata, Koes Hendratmo, dan Henny Purwonegoro, jangan-jangan TEMPO salah kutip. Bisa jadi, mereka itu dikontrak secara khusus oleh bank atau produk susu itu untuk tayangan televisi. Hemat saya, jingle yang ideal durasinya antara 45 detik dan 90 detik. Lebih dari itu, pasti namanya "lagu yang utuh", yang lebih pas untuk diedarkan di pasaran. Jadi, bukan jingle namanya. Saya harap, TEMPO kembali kepada kekuatan akurasi beritanya, jangan kalah dengan media lain. BENS LEO Majalah Anita Cemerlang Jalan Wolter Monginsidi 19 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini