Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Stop Kekerasan di Televisi

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Anda, apakah media, khususnya stasiun televisi, harus lebih membatasi diri dalam menayangkan adegan kerusuhan seperti yang terjadi di Priok?
15-21 April 2010
Ya
71,30%631
Tidak
28,25%250
Tidak Tahu
0,45%4
Total100%631

Media televisi mendapat sorotan tajam publik gara-gara menayangkan kekerasan fisik yang terjadi antara Satuan Polisi Pamong Praja dan penduduk sipil di sekitar kompleks makam Mbah Priok, Jakarta Utara. Banyak pihak menilai tayangan yang disiarkan berulang-ulang itu terlalu vulgar. Menurut pakar komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando, gambar kekerasan brutal seharusnya tidak ditayangkan ke publik. "Tidak etis. Cukup gambar dari jauh," ujarnya.

Jajak pendapat Tempo Interaktif selama pekan lalu menunjukkan mayoritas responden menginginkan media, khususnya stasiun televisi, lebih selektif dan mempertimbangkan dampak sosial psikologis ketika menayangkan berita kerusuhan. Sebanyak 71,30 persen, dari 885 responden, menyatakan stasiun televisi harus membatasi diri dalam menayangkan kerusuhan seperti peristiwa Priok itu.

"Memang seharusnya penayangan oleh stasiun televisi diatur undang-undang yang lebih jelas dan konkret. Sudah terlalu banyak unsur kekerasan, baik dalam penayangan film maupun berita, sekalipun itu untuk memberitakan kebenaran," papar Ferry N.F., pembaca dari Bandung.

Kesantunan tetap harus dikedepankan. Di Amerika Serikat pun, korban mati tidak pernah diperlihatkan seperti yang dilakukan oleh media televisi kita yang jorok ini.

(Kenyo Wandu, Jakarta)

Penayangan kekerasan di televisi sering kali lebih karena alasan ego media agar beritanya sangat berkesan.

(Lies Afroniyati, Yogyakarta)

Gambar itu kebenaran, bukan rekayasa. Biarkan saja, buat shock therapy untuk semua pihak. Kalau tidak begitu, tidak menjadi perhatian.

(Kemaki, Jakarta)

Indikator Pekan Depan

Dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kembali berstatus tersangka. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nugroho Setyadi memutuskan menerima permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo, Senin pekan lalu. Anggodo mempraperadilankan surat keputusan penghentian penuntutan dari kejaksaan terhadap Bibit dan Chandra, yang sebelumnya diduga menerima suap dan pemerasan.

Putusan itu kontan memicu kecurigaan sejumlah kalangan. Menurut mantan kuasa hukum Bibit-Chandra, Bambang Widjojanto, putusan hakim tunggal itu mengabaikan fakta hukum yang didapat di Mahkamah Konstitusi. Fakta yang terungkap dari rekaman penyadapan telepon menunjukkan adanya keterlibatan Anggodo dalam mengkriminalkan Bibit dan Chandra.

Menurut Anda, apakah putusan pengadilan yang memenangkan gugatan praperadilan Anggodo mencurigakan? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus