Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
— untuk Hari Buku, 2010
Buku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam pengalaman saya.
Ketika saya berumur hampir enam, tentara pendudukan Belanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas truk, kami sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya ingat: dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur.
Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang penting bagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.
Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa puluh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah (saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun tidak.
Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya sebuah kamus Webster terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman pertama ada tanda tangan bapak dengan pena celup) dan sebuah buku sejarah Inggris.
Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang yang harus mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak memperjelas arti kata palanquin.
Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya banyak gambar berwarna. Saya tak pernah lupa dua di antaranya.
Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan seorang lelaki tertidur dengan pakaian lengkap, sementara dua lelaki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang pulas. Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap yang dikunjungi dua hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah Inggris abad ke-17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London untuk dipenggal. Salah satu ”hantu” dalam gambar itu mungkin kepala penjara.
Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan yang sunyi. Seorang perempuan duduk di sampingnya; tangannya yang satu menahan darah keluar dari luka lelaki yang telentang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan. Bercak darah merah tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan Inggris di wilayah Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan dendam.
Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat pengusung mayat, buku-buku yang dibuang ke sumur sementara ayah diikat…. Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas. Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada buku dengan sampul tebal.
Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul kukuh karya Karl May tentang Winnetou. Kami tak tahu milik siapa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang Karl May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba yang magis dan idyllic.
Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa kami nikmati isinya itulah kami mulai memesan Winnetou Gugur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan atas karya James Fennimore Cooper, The Last of the Mohicans) dari Noordhoff Kolff di Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor di Groningen, Belanda.
Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang ditunggu dengan tegang: kami hampir selalu berebut siapa yang akan membaca lebih dulu.
Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat ajaib: tinggal di kota kecil tanpa gedung bioskop, hanya dengan buku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak pernah tertembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, tapi selalu terasa akrab.
Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Winnetou, tapi saya menangis ketika menjelang pertempuran terakhir, ia tahu ia akan ”pergi ke ladang perburuan yang kekal”. Saya menangis untuk Si Jamin dan Si Johan yang teraniaya di sebuah sudut Batavia yang jauh. Air mata saya keluar untuk Sampek dan Engtay yang mati dalam cerita yang saya ikut dengarkan ketika beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacanya dalam bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.
Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu itu dengan pengalaman selanjutnya dengan buku. Saya bisa menyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di perjalanan ke dalam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam sumur.
Sejak 1958, Presiden Soekarno mengubah Indonesia jadi ”demokrasi terpimpin” dan ”ekonomi terpimpin”. Atas nama ”Revolusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil alih dunia penerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober 1962 penerbit seperti Noordhoff Kolff dihentikan; ia digantikan perusahaan negara yang disebut ”Noor Komala”. Yang memimpin seorang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bersaing dengan bagus menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalikan seorang jenderal. Ketika kertas, percetakan, transportasi, dan hampir seluruh kehidupan ekonomi jadi ”terpimpin”, banyak hal macet.
Sejak itu, arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya terasa hangat dan bau dan kertasnya berwibawa tapi ramah. Buku kian kehilangan ragam. Satu-satunya penghibur adalah karya berjilid tebal terbitan Uni Soviet yang dijual murah di toko buku milik PKI. Masih ada Dostoyewski, Turgenev, dan Tolstoy, tapi tak lengkap. Moskow punya sensornya sendiri.
Di saat seperti itu saya ingat para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran dari sebuah buku tulis. Saya bisa terhibur. Ada trauma, ada nostalgia. Sebab ada buku yang masih bisa bercerita.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo