Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna ketika sedang menerima suap dari Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi, terdakwa korupsi proyek dermaga di Lombok Timur. Ichsan diduga memberikan suap Rp 400 juta agar Andri tak segera mengumumkan putusan empat tahun supaya ia tertunda masuk bui.
Hampir tiap tahun KPK menangkap para calo perkara ini. Mereka tak kapok-kapok meski media massa menuliskannya jauh sebelum KPK bergerak. Tempo edisi 1 Oktober 1977 sudah menulis urusan pungutan liar di MA dengan judul "Ketukan Pungli, Tidak Semua".
Tulisan itu mengutip pendapat juru bicara Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Jaya, Sunarto Surodibroto, setelah bertemu dengan Ketua Opstib Pusat Sudomo. "Lembaga peradilan dewasa ini kurang memancarkan kewibawaan," katanya. Dia merujuk pada tingkah laku para hakim yang dianggapnya tak layak dalam menjalankan tugas.
Apa yang disorot Peradin Jakarta bukan tanpa alasan. Pada 1-20 September 1977, menurut Menteri Kehakiman, ada 17 hakim dipecat, diberhentikan dengan hormat, atau diskors sementara. "Keadilan baru bisa diperoleh di pengadilan dengan pungli," ujar R.O. Tambunan, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Tambunan, perkara akan berjalan lambat, banyak kesulitan, dan ruwet jika kita menuruti ketentuan yang ada. "Apakah itu belum cukup tanda-tanda ada pungli di pengadilan?" Dia menceritakan pengalamannya sebagai pengacara yang berusaha memenangkan kliennya dalam suatu perkara perdata.
Urusan telah selesai, putusan yang pasti sudah diperoleh. Tapi, hingga lebih dari setahun, pelaksanaan putusan yang menguntungkan klien Tambunan ini belum juga dapat dilaksanakan. "Saya tahu urusan akan beres jika saya memberikan pungli—tapi itu tak akan pernah saya kerjakan," kata Tambunan.
Pengalaman serupa dialami pengacara lain, Thamrin Manan, yang pernah menjadi hakim. Kliennya dan lawan telah setuju memenuhi semua putusan hakim. Namun dalam pelaksanaannya menjadi sulit. Perkaranya hanya berkisar soal uang Rp 2 juta lebih sedikit. Tapi untuk memperoleh uang yang sekian itu, buat keperluan lelang, Thamrin dimintai biaya lelang sampai Rp 600 ribu.
"Gila panitera pengadilan itu agaknya," ujar Thamrin. Lelang dengan biaya yang sekian itu tentu saja tak mungkin dilaksanakan hanya untuk memperoleh pembayaran utang yang cuma Rp 2 juta. Kasus ini terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur.
Selain pengalaman Tambunan dan Thamrin Manan, Tempo mewawancarai beberapa orang yang pernah beperkara. Salah satunya dikisahkan "Ir" (bukan nama lengkap), yang beperkara di pengadilan negeri di Jakarta. Ia mengadukan keponakannya sendiri untuk suatu perkara kriminal.
Ketika proses pengadilan sedang berjalan, Ir berhubungan intim dengan hakim yang mengurus perkaranya. Berhubung Ir ini pengusaha restoran, mula-mula "upeti"-nya juga soal makanan. Setiap hari ia mengirimi hakim masakan istimewa. "Daripada hakim setiap hari makan di restoran saya, lebih pantas jika saya antar saja setiap hari," kata Ir.
Menjelang akhir proses pengadilan, hakim memanggil Ir datang ke kantornya dan memintanya membeli kaveling tanah miliknya. Ir menolak karena harganya mahal dan lokasinya tidak strategis. Keesokan harinya, ada kejadian aneh di depan restoran Ir. Sebuah jip milik pengadilan berhenti dan sopirnya membuang semua makanan kiriman Ir ke hakim. Selain itu, hakim membebaskan keponakan Ir dari jerat hukum.
R.O. Tambunan menerima keluhan seorang pencari keadilan dalam suatu sengketa perdata. Hakim terang-terangan menjanjikan kemenangan penggugat, asalkan menyerahkan uang Rp 150 ribu sebagai imbalan kebijaksanaan pengadilan.
Orang itu bersedia memberikan uang, tapi dicicil. Hakim menolak dan mengalahkannya dalam putusan. "Ini gara-gara tak sanggup membayar pungli secara kontan," ujar Tambunan.
Dia sanggup menunjuk hidung hakim dan di pengadilan mana saja adanya pungli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo