Sudah sering kita mendengar penelitian dan tanggapan negatif dari masyarakat terhadap SDSB. Pihak yang setuju SDSB mempertahankan dampak positifnya, yakni berupa penggunaan hasil-hasilnya. SDSB merupakan paradoks pada dirinya: sumbangan berhadiah. Sumbangan kok berhadiah? Bila kita perhatikan, hal-hal negatif umumnya timbul dari predikat berhadiah ini. Pembeli SDSB, misalnya, sebagian besar tertarik pada SDSB karena hadiahnya, sehingga, dalam usaha untuk meraih hadiah itu, digunakan berbagai cara, baik cara rasional maupun irasional. Usaha-usaha itu ternyata sering menjerumuskan. Sudah saatnya kita memikirkan sumbangan nonberhadiah. Maksudnya, si penyumbang benar-benar berniat menyumbang, bukan untuk mendapatkan hadiah. Saya pikir, setiap orang akan merasa senang memberi jika ia tahu pemberiannya efektif. Itu dapat kita lihat, misalnya, pada saat terjadi bencana alam. Banyak orang yang mengeruk kantongnya memberikan sumbangan lewat dompet sosial di media massa. Yang perlu adalah informasi tentang kegiatan sosial yang membutuhkan dana, ke mana dana itu dialirkan, sehingga masyarakat yakin sumbangannya efektif. Tentang kegiatan-kegiatan nonsosial untuk masyarakat yang masih dibiayai oleh SDSB, patut dipikirkan kemandiriannya, sehingga lembaga tersebut tak lagi bergantung pada SDSB yang kontroversial itu. Siaran olahraga di TVRI, misalnya, sudah saatnya dibiayai sendiri melalui tayangan iklan. Dengan sumbangan nonberhadiah ini, diharapkan aktivitas sosial tetap dapat berjalan, aktivitas nonsosial dapat lebih mandiri, dan mentalitas masyarakat tidak teracuni oleh dampak negatif SDSB.YUNITA SUSANTO Otista II/64A, Jakarta 13330
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini