Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klarifikasi Pradjarta Dirdjosanjoto
DALAM Tempo edisi Liputan Khusus 50 Tahun G-30-S (5-11 Oktober 2015) di halaman 57, dimuat sebagian hasil wawancara saya sebelum edisi ini terbit. Dalam wawancara, saya menggambarkan situasi Salatiga pada sekitar Oktober 1965 berdasarkan apa yang saya alami sebagai calon mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Beberapa koreksi dan bantahan perlu saya sampaikan demi kebenaran informasi serta mencegah kesan dan interpretasi yang salah dan merugikan diri saya sebagai berikut:
1. Kutipan dalam majalah ini tidak memuat hasil wawancara dengan saya secara utuh dan di sana-sini terdapat kesalahan sehingga mengesankan keterlibatan saya yang mendalam dalam perburuan operasi militer terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia di Salatiga.
2. Sejauh yang saya ingat, beberapa minggu setelah Peristiwa 1965 terjadi, tidak ada informasi yang cukup tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Satu-satunya informasi yang kami terima di Salatiga hanya melalui radio dan kabar burung dari mulut ke mulut yang simpang-siur tanpa dapat diverifikasi sehingga banyak orang bingung menyikapi situasi saat itu.
3. Dalam keadaan minim informasi dan rasa bingung itu, beberapa waktu kemudian Sarwo Edhie dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) datang ke Salatiga. Lalu mereka mendorong para pemuda, terutama yang bergabung dalam organisasi kepemudaan, seperti Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), ikut latihan kemiliteran sebagai bentuk bela negara.
4. Keikutsertaan para pemuda Kristen dalam latihan militer itu terjadi antara lain melalui GAMKI dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), yang mendorong teman-teman yang makan di asrama (dining hall) mahasiswa UKSW dari luar Jawa ikut latihan militer mewakili organisasi Kristen. Maka, bersama teman yang sebagian dari luar Jawa, kami ikut latihan militer. Keterlibatan ini juga dipengaruhi oleh suasana kekhawatiran masa itu yang hidup di kalangan organisasi kemasyarakatan. Jika tidak turut bergabung, dengan mudah bisa dianggap berafiliasi dengan PKI.
5. Saya tidak pernah mengatakan bahwa "saya dan sejumlah teman ambil formulir yang dibagikan oleh tentara". Saya keberatan jika disampaikan bahwa saya dan sejumlah teman mengambil formulir perekrutan tersebut. Kutipan yang tidak benar itu memberi kesan bahwa saya sungguh berkeinginan masuk latihan militer untuk para pemuda tersebut.
6. Dalam latihan kemiliteran itu, kami diajari kegiatan fisik, seperti berlari, merayap, baris berbaris, menghadapi rintangan, dan bongkar-pasang senjata. Latihan bongkar-pasang senjata hanya kami peroleh sedikit dan sama sekali tidak memadai. Memang ada senjata LE, tapi senjata laras panjang itu hanya dibawakan kepada komandan regu yang sedang melakukan patroli atau jaga. Maka operasi penangkapan orang yang diindikasikan PKI banyak dilakukan oleh kalangan militer sendiri.
7. Setahu saya, di Salatiga dan sekitarnya tidak ada aksi perburuan terhadap siapa pun yang dituduh PKI yang melibatkan gerakan sipil atau mereka yang dilatih militer. Aksi perburuan sesungguhnya lebih merupakan operasi militer dan kami tidak pernah diikutkan dalam perburuan di Salatiga atau di desa-desa sekitar Salatiga. Kami hanya diikutkan dalam patroli di dalam Kota Salatiga dan beberapa kali menjaga tahanan secara bergiliran.
8. Sebagai informasi tambahan, sebelum di Salatiga, ketika saya belajar di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Yogyakarta, pergaulan saya dengan teman-teman SMA yang menjadi aktivis Pemuda Rakyat berjalan baik. Maka tidak ada alasan kuat bagi saya untuk melibatkan diri dalam operasi militer anti-PKI ketika menjadi mahasiswa baru di UKSW.
9. Keikutsertaan saya dalam latihan militer lebih karena faktor solidaritas pertemanan dengan teman-teman senior di GAMKI dan GMKI yang pada saat itu tinggal di asrama.
10. Ketika terjadi konflik internal di UKSW pada 1994, saat militer menggunakan isu komunisme untuk menekan Kelompok Pro Demokrasi, saya dan teman-teman dosen lain termasuk yang ikut menentang intervensi militer di UKSW tersebut.
Pradjarta Dirdjosanjoto
Salatiga
Tanggapan Rumah Sakit MMC
KAMI keberatan terhadap artikel berjudul "Fulus Diskon Perusahaan Obat" di majalah Tempo edisi 2-8 November 2015 karena, menurut kami, tidak sesuai dengan wawancara pada 16 Oktober 2015.
1. Di tulisan itu disebutkan: "...Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) menerima uang tunai dari PT Interbat. Total Rp 253 juta, dana tersebut masuk melalui rekening Robby Tandiari, Direktur Utama PT Kosala Agung Metropolitan, perusahaan pemilik MMC."
Uang itu ditransfer ke rekening PT Kosala Agung Metropolitan, bukan ke rekening Robby Tandiari. Transfer itu adalah uang yang diterima PT Kosala dari PT Interbat terhadap diskon harga barang farmasi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Di artikel itu tertulis: "Sebagai imbal balik, MMC berjanji menjual sebanyak mungkin obat-obatan produksi perusahaan farmasi itu selama setahun, mulai Agustus 2013 sampai September 2014."
Saat wawancara, kami mengatakan, dalam perjanjian kerja sama dengan perusahaan farmasi, kami memesan obat dengan jumlah tertentu untuk kurun satu tahun. Jumlah tersebut berdasarkan perencanaan kebutuhan farmasi RS MMC.
3. Dalam artikel itu disebutkan: "Setelah formularium beres, pada akhir tahun panitia mencari perusahaan farmasi yang cocok dengan kebutuhan obat yang telah mereka tetapkan."
Saat wawancara, kami sudah menjelaskan tugas panitia adalah menetapkan jenis obat-obatan formularium. Tugas pencarian farmasi dilakukan oleh Bagian Logistik RS MMC.
Terima kasih.
Robby Tandiari
Direktur Utama
Terima kasih atas penjelasan Anda. — Redaksi
Penjelasan Universitas Atma Jaya
MENANGGAPI surat di majalah Tempo edisi 26 Oktober-1 November 2015 berjudul "Surat untuk Dirjen Pendidikan Tinggi", kami dari Universitas Katolik Atma Jaya ingin menjelaskan ketentuan pembiayaan kuliah. Meski surat ditujukan untuk Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, kami merasa perlu menjelaskan karena nama kami disebut.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan Bapak Salvius Patangke dan Ibu Marannu Timang yang diungkapkan dalam surat. Dalam surat pernyataan keuangan calon mahasiswa program sarjana butir keempat tertulis:
"Apabila saya mengundurkan diri karena diterima di perguruan tinggi negeri, yaitu hanya IPB, ITB, ITS, UGM, UI, Unair, Undip, Unpad, dan UNS, melalui SBMPTN (penerimaan yang diselenggarakan secara tertulis bersama dan serentak di seluruh PTN), maka saya akan menerima kembali SPP dan biaya pendidikan (setelah dipotong biaya administrasi 25% dari total uang yang harus dibayarkan untuk semester I sebagai mahasiswa baru, termasuk sumbangan sukarela), dengan menyerahkan bukti pendaftaran dan bukti pembayaran di SBMPTN tersebut serta bukti pembayaran dan berkas/map terdaftar di Unika Atma Jaya. Pelayanan dilaksanakan satu minggu setelah pengumuman dan paling lambat dalam waktu tiga minggu setelah pengumuman penerimaan SBMPTN. Di luar jalur tersebut di atas, maka saya tidak akan meminta kembali uang yang telah saya bayarkan dengan alasan apa pun."
Kemudian surat itu dibubuhi tanda tangan mahasiswa lengkap dengan meterai dan tanda tangan orang tua/wali yang mengetahui, menyetujui, dan menjamin pelaksanaan ketentuan tersebut. Surat pernyataan itu pun telah ditandatangani oleh Raimundo Antonio Patangke dan Bapak Salvius Patangke.
Padahal mahasiswa bernama Raimundo Antonio Patangke, yang merupakan anak pertama dari Bapak Salvius Patangke dan Ibu Marannu Timang, diterima bukan di jalur SBMPTN, melainkan jalur Penelusuran Bibit Unggul Kemitraan Universitas Gadjah Mada. Maka, jika menurut ketentuan, tidak ada pengembalian uang. Hanya, Unika Atma Jaya mempunyai kebijakan memberikan dispensasi dengan mengembalikan 25 persen. Hal ini pun sudah disepakati antara pihak orang tua dan universitas ketika melakukan dialog bersama.
Semoga hal ini bisa memberikan penjelasan seobyektif mungkin kepada semua pihak, terutama Bapak Salvius Patangke dan Ibu Marannu Timang. Sebagai informasi, ketentuan pembiayaan ini adalah kebijakan dari Unika Atma Jaya.
Lisa Esti Puji Hartanti, S.Sos, M.Si
Media Relations Officer Unika Atma Jaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo