Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Janggal Indar Atmanto Dikecam
SEBANYAK 16 asosiasi industri telematika menandatangani petisi penolakan putusan peninjauan kembali korupsi pengadaan jaringan 3G yang menjerat mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media Indar Atmanto. Petisi diteken di kantor pusat Indosat, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Selain prihatin terhadap putusan itu, dalam petisinya, mereka meminta lembaga peradilan meninjau kembali kasus tersebut karena bisa mengganggu bisnis telekomunikasi. "Sejak awal tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia Sutrisman.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga mengecam putusan itu dan berjanji menyiapkan perlawanan. "Saya prihatin dan akan menangani hal ini secara serius," ujarnya. "Ini bisa mengubah dunia telekomunikasi."
Dalam putusannya yang dilansir Rabu pekan lalu, majelis hakim Mahkamah Agung yang dipimpin M. Saleh, dengan anggota Abdul Latief dan H.M. Syarifuddin, menolak permohonan PK Indar. Dengan penolakan ini, Mahkamah mengiyakan vonis Indar sebelumnya, yakni delapan tahun.
Kasus kerja sama PT Indosat-IM2 pada 2006 ini dipersoalkan Kejaksaan Agung atas dasar laporan Denny A.K., mantan anggota Indonesia Telecommunication User Group yang diberhentikan secara tak hormat. Dia kemudian mendirikan lembaga swadaya masyarakat Konsumen Telekomunikasi Indonesia. Denny belakangan tertangkap tangan memeras Indar. Dia divonis empat bulan penjara. Pengacara Indar, Dodi S. Abdulkadir, mengatakan kliennya akan melawan putusan itu. "Kami tak akan berhenti hingga mendapat keadilan untuk Indar," katanya.
Janggal Sejak Awal
SEJUMLAH kalangan menilai penanganan kasus Indar Atmanto sejak awal sarat kejanggalan, bahkan disebut-sebut sebagai upaya kriminalisasi.
2013
Januari
Indar Atmanto menjadi tersangka Kejaksaan Agung.
April
Pengadilan tata usaha negara mengabulkan gugatan Indar dan menyatakan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai dasar penyidikan Kejaksaan tak sah. Tapi Kejaksaan tetap melanjutkan penanganan kasus.
Juli
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Indar empat tahun penjara.
Desember
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan tak ada pelanggaran hukum dalam kerja sama Indosat-IM2.
2014
Januari
Pengadilan tinggi menolak banding Indar dan memperberat hukumannya jadi delapan tahun.
Juli
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Indar.
September
Indar dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.
2015
Maret
Indar mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Sumber: Wawancara, PDAT
Publik Tak Puas Penanganan Asap
LEMBAGA Klimatologi Politik melansir hasil survei tingkat kepuasan publik terhadap penanganan bencana kebakaran lahan dan asap yang ditaksir menyebabkan kerugian lebih dari Rp 40 triliun, Senin pekan lalu. "Ada 76,5 persen yang masih belum puas terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan," kata CEO Lembaga Klimatologi Politik Usman Rachman.
Survei dilakukan pada 24-29 Oktober 2015 di 34 provinsi. Sampel diambil dari 784 responden dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin error kurang-lebih 3,5 persen. Hasil survei menunjukkan hanya 15,8 persen yang merasa puas terhadap kinerja pemerintah dalam menanggulangi masalah kebakaran hutan.
Dalam soal kebakaran hutan, menurut Usman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pemerintah daerah dianggap lalai melakukan usaha preventif. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masuk daftar kementerian yang kinerjanya dinilai kurang baik. Sebanyak 32,7 persen responden berpendapat seperti itu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah tetap berusaha maksimal untuk penanganan bencana asap. "Kami terus melakukan hujan buatan," ujarnya. Menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, saat ini sedang disusun peraturan presiden untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan pada tahun mendatang.
Calon Tunggal Kepala Daerah Bisa Digugat
MAHKAMAH Konstitusi menerbitkan peraturan yang isinya menyatakan bahwa pemantau pemilihan kepala daerah berhak menggugat hasil pemungutan suara yang diikuti satu pasangan calon. "Hanya pemantau yang memenuhi syarat yang berhak menggugat," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Rabu pekan lalu.
Syarat itu antara lain pemantau berbadan hukum Indonesia, bukan asing; memiliki sertifikat yang berdomisili di Jakarta ataupun di tempat pemilihan calon tunggal; dan harus ada selisih suara sesuai dengan undang-undang pemilihan kepala daerah. Ada tiga daerah yang mempunyai satu pasangan calon pada pilkada serentak Desember nanti, yakni Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan putusan Mahkamah pada 29 September lalu, daerah dengan calon tunggal harus tetap menggelar pemilihan lewat referendum, dengan mencoblos surat suara yang berisi "setuju" atau "tidak setuju".
Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum Daniel Zuchron memperingatkan Komisi Pemilihan Umum agar berhati-hati memilih pemantau. "Jangan ada titipan partai," katanya. Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan pemantau pemilu di tiga daerah tersebut akan diseleksi sesuai dengan peraturan.
KPK Siap Usut Suap Dokter
PELAKSANA tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., mengatakan lembaganya siap mengusut kasus suap atau gratifikasi dokter jika ada pihak yang melapor. "Syaratnya ada penyelenggara negara atau pegawai negeri," kata Johan, Selasa pekan lalu.
Pernyataan Johan ini merespons hasil investigasi majalah Tempo tentang strategi perusahaan farmasi memberi dokter hadiah pernak-pernik menawan hingga mobil mewah dalam bisnis obat-obatan di Tanah Air. Imbalannya, dokter diminta menuliskan resep obat yang diproduksi perusahaan farmasi pemberi hadiah.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek juga berencana menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk pencegahan dan penanganan kasus gratifikasi bagi dokter. "Nanti kami akan bekerja sama dengan KPK membuat aturan apa yang boleh dan yang tidak boleh diterima dokter," ucapnya.
Menurut Nila, seorang dokter boleh menerima hadiah dari perusahaan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan si dokter. Namun Nila tidak setuju hadiah dari perusahaan farmasi yang diberikan kepada individu. "Seperti hadiah jalan-jalan," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo