Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKSA Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah memimpin langsung gelar perkara kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial dan hibah Sumatera Utara 2012-2013, Senin pekan lalu. Ia meminta 25 penyidik kembali membedah kasus yang sudah tujuh bulan "mati suri" itu. "Ini evaluasi untuk menentukan apakah ada bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka," ujar Arminsyah, Selasa pekan lalu.
Dalam gelar perkara enam jam di lantai 1 Gedung Bundar—markas jaksa khusus Kejaksaan Agung—penyidik hanya merekomendasikan sejumlah nama pelaksana lapangan, termasuk Eddy Sofyan, sebagai tersangka. Eddy, yang saat itu Kepala Biro Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dianggap bertanggung jawab memberikan rekomendasi hibah Rp 2,2 miliar ke lembaga swadaya masyarakat abal-abal.
Seorang jaksa yang ikut gelar perkara itu mengungkapkan, Arminsyah punya pendapat berbeda. Pria yang belum genap sepekan memimpin korps jaksa pidana khusus itu menilai Gatot Pujo Nugroho, selaku Gubernur Sumatera Utara, juga pantas dijadikan tersangka. Dalil yang dipakai Arminsyah, Gatot meneken surat keputusan penerima hibah. "Akhirnya semua sepakat," ujarnya.
Seusai gelar perkara, Arminsyah mengumumkan penetapan keduanya sebagai tersangka kasus itu. Sebelumnya, Gatot tersangka kasus suap dana bantuan sosial 2012-2013 di Komisi Pemberantasan Korupsi. "Ini sudah sesuai dengan bukti," katanya.
Pengacara Gatot, Yanuar Wasesa, menilai penetapan kliennya sebagai tersangka janggal. "Sepekan sebelumnya, kepada media, penyidik Kejaksaan berkeras Gatot tidak ada hubungannya dengan kasus itu," ujarnya. Tiga hari sebelumnya, ketua tim penyidik kasus itu, Victor Antonius, mengatakan belum menemukan titik terang keterlibatan Gatot.
Kasus dana bantuan sosial dan hibah senilai Rp 2,3 triliun ini awalnya dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Desember 2014. Belakangan, akhir Januari 2015, kasus itu juga dilaporkan salah satu organisasi mahasiswa ke Kejaksaan Agung. Sebulan berselang, Maret lalu, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus itu.
Kepada Tempo, dua pekan lalu, Gatot mengatakan kasusnya di Kejaksaan sarat kepentingan politik. Ia menuding Tengku Erry Nuradi, wakilnya di pemerintahan, yang juga Ketua Partai NasDem Sumatera Utara, berada di balik pelaporan kasus tersebut. Menurut Gatot, Partai NasDem berkepentingan secara politik menggusurnya sebagai gubernur untuk digantikan Erry. Sebelumnya, Erry membantah tuduhan Gatot ini.
Gatot semakin yakin kasus itu bermuatan politis setelah anak buah Otto Cornelis Kaligis—yang mencari informasi ke Kejaksaan—menyampaikan bahwa surat penyelidikan terbit setelah Direktur Penyidikan Khusus Maruli Hutagalung dipanggil Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, yang juga kader NasDem. Kaligis adalah penasihat hukum Gatot sejak 2013, juga Ketua Mahkamah Partai NasDem.
Saat diperiksa sebagai tersangka di KPK sepanjang Agustus itu, Gatot juga mengaku diminta Kaligis menyiapkan uang Rp 500 juta untuk mengamankan kasus ini di Kejaksaan. Melalui Evy Susanti, istrinya, Gatot menyerahkan uang itu kepada Kaligis untuk diserahkan ke Maruli.
Maruli membantah pernah menerima duit dari Gatot melalui Kaligis. Tapi dia membenarkan kabar bahwa kasus itu diusut atas perintah Prasetyo. Sebelumnya, Kaligis, yang juga terjerat kasus suap Gatot di KPK, membantah ikut mengamankan kasus itu di Kejaksaan. Prasetyo juga menyangkal tuduhan Gatot.
Prasetyo menyebutkan pengusutan kasus Gatot murni penegakan hukum. Penetapan Gatot sebagai tersangka juga, kata dia, bukan upaya balas dendam Kejaksaan karena Gatot sudah menyudutkan lembaganya. "Tolong kami juga jangan disudutkan," ujarnya.
Istman M.P., Muhamad Rizki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo