Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat

22 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bantahan Ucok Majestik

Bersama surat ini saya, H. Yan Paruhum Lubis alias Ucok Majestik, menyampaikan hak jawab dan bantahan terhadap majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 untuk tulisan berjudul ”Pengakuan Anwar Congo” dan ”Dari Serdang Bedagai sampai Medan”.

Saya hendak meluruskan pemberitaan di atas yang bersumber pada film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, yang mengambil latar belakang peristiwa demo Kampung Kolam pada 1965 (penggambaran dalam film tentang sebuah perkampungan yang diserang massa Pemuda Pancasila dibantu tentara). Tempo memuatnya tanpa melakukan cek dan cek ulang kepada saya sebagai salah satu pendiri (pembentuk) Pemuda Pancasila di Sumatera Utara yang masih hidup. Saya perlu memberikan bantahan agar tidak terjadi pemberitaan yang tidak obyektif, bias, serta pengaburan dan pemutarbalikan sejarah perlawanan masyarakat Sumatera Utara terhadap komunis pada 1965, yang sekaligus secara membabi-buta menuding organisasi Pemuda Pancasila dijadikan militer untuk melakukan pembantaian massal terhadap komunis di Sumatera Utara dan Kota Medan.

Tidak benar dan tidak ada sekelompok pembunuh yang mayoritas adalah preman bioskop yang kemudian direkrut tentara dan disebut Pasukan Kodok di Sumatera Utara atau Kota Medan saat itu. Jika ada anggota Pemuda Pancasila yang direkrut menjadi pembunuh dalam Pasukan Kodok, sebagai Ketua Kubu Pancasila Sumatera Utara dan Koordinator Pemuda Pancasila Kota Medan di masa itu, tentu saya wajib tahu. Jadi keterangan semua narasumber Joshua Oppenheimer, sebagaimana dituangkan dalam The Act of Killing, tentang keberadaan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara dan Kota Medan dalam pembantaian massal yang dikoordinasi militer adalah keliru, bercampur fantasi dan euforia, serta tidak didukung fakta dan data yang terjadi saat itu.

Jika disebut sebagai keterangan atau pengakuan pribadi dari seseorang ataupun beberapa orang yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan dan pembantaian massal, dan mereka juga anggota Pemuda Pancasila, keterangan ini pun tidak dapat diyakini keakuratan fakta dan datanya. Sebab, tidak pernah ada pembantaian massal yang dilakukan di dalam kantor Pemuda Pancasila. Saat itu, kantor di kawasan Pekong Lima tersebut merangkap kantor redaksi Harian Cahaya, kantor IPKI Sumatera Utara, kantor IPKI Medan, kantor Pemuda Pancasila Sumatera Utara dengan Ketua M.Y. Efendi Nasution, kantor Kubu Pancasila Sumatera Utara, dan Koordinator Pemuda Pancasila Kota Medan yang saya ketuai. Menjelang pecahnya peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta, gedung itu menjadi kantor Dastagor Lubis, yang ditunjuk Partai IPKI Sumatera Utara menjadi Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan. Sebelumnya, kantor bersama kami berada di Jalan Veteran (bersebelahan dan tidak terlalu jauh dengan kantor di Jalan Sutomo).

Materi lain yang tak kalah pentingnya untuk dikoreksi adalah pembantaian di lantai atas kantor harian Medan Pos. Kantor Medan Pos saat ini berlokasi di Jalan Perdana Nomor 107-109, Medan. Kantor dan nama Medan Pos baru ada sejak 1973. Penulisan 9 Mei 1966 pada halaman satu bagian depan atas koran Medan Pos merujuk pada sejarah bahwa sebelum pengalihan kepemilikan kepada Ibrahim Sinik, koran itu bernama Sinar Pembangunan. Pada masa G-30-S media tadi bernama Harian Cahaya dan berkantor di Jalan Sutomo (di daerah Pekong Lima dalam dialog Anwar Congo saat berkeliling dengan mobil bersama teman-temannya), bangunan milik Kerani Bukit Ketua IPKI Sumatera Utara. Harian Cahaya saat itu dipimpin oleh Pemimpin Redaksi Arsyad Noeh dengan Sekretaris Redaksi Soaduon Siregar. Jadi jelas tidak pernah ada pembantaian di lantai atas kantor harian Medan Pos sebagaimana ditulis Tempo.

Ketika Harian Cahaya masih terbit, A.M. Sinik (kerabat kandung Ibrahim Sinik) bertanggung jawab dalam pendistribusian media ini. Ibrahim Sinik, saat itu sebagai pentolan dan aktivis Murba Sumatera Utara, menangani usaha dagang keluarganya sebagai distributor buah-buahan di Medan. Jadi yang bersangkutan belum masuk jajaran redaksi Harian Cahaya atau jurnalis Harian Cahaya.

H. Yan Paruhum Lubis
Pinisepuh Pemuda Pancasila

(Surat ini telah disunting dari versi asli sepanjang 10 halaman folio. Penyuntingan dilakukan tanpa mengubah substansi persoalan.)

Terima kasih atas penjelasan Anda. Kami menulisnya berdasarkan adegan dalam film The Act of Killing dan wawancara dengan Joshua Oppenheimer.

Redaksi

Tanggapan Berita tentang Yayasan Fatmawati

Kami ingin menanggapi pemberitaan Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 halaman 126 menyangkut PT Graha Nusa Utama (GNU) dan PT Nusa Utama Sentosa (NUS), serta status tanah seluas 22 hektare bekas milik Yayasan Fatmawati sebagai berikut.

1. Tidak benar PT GNU dan PT NUS milik Robert Tantular, karena sejak berdiri hingga sekarang tidak ada hubungan dengan Robert Tantular, baik sebagai pemilik, pemegang saham, maupun pengurus.

2. Tidak benar lahan 22 hektare yang dimaksud milik Yayasan Fatmawati. Yang benar itu bekas milik Yayasan Fatmawati yang telah menjadi hak dan milik PT GNU (11 hektare) dan PT NUS (11 hektare).

3. Sampai saat ini belum pernah ada sengketa keperdataan, baik antara Yayasan Fatmawati dan PT GNU maupun antara Yayasan Fatmawati dan PT NUS.

4. Tidak benar Robert Tantular hadir dalam setiap rapat ataupun penandatanganan kesepakatan serta perjanjian tersebut.

Mohammad Nashihan
Kuasa hukum PT GNU dan PT NUS

Terima kasih atas penjelasan Anda. Pemberitaan tersebut, selain berdasarkan wawancara dengan Anda, kami dapat dari wawancara dengan sumber lain.

Redaksi

Klarifikasi Berita 'Nyanyian' Wa Ode

Saya ingin mengklarifikasi berita pada majalah Tempo edisi 15-21 Oktober 2012 berisi ”nyanyian” Wa Ode Nurhayati tentang saya. Beberapa hari ini berita tersebut sangat masif, termasuk demo yang sistematis di KPK. Ingin saya luruskan, pertama, yang disampaikan Wa Ode itu kode ”K1” sampai ”K5” yang dalam catatan Badan Anggaran adalah pimpinan DPR. Info ini katanya dari Nando, Sekretaris Banggar. Nando sudah mengklarifikasi, dia tidak pernah menyatakan kode itu pimpinan DPR. Dia sendiri tak tahu siapa yang memberi kode.

Kedua, semua tahu, sesuai dengan Tata Tertib DPR, tidak ada mekanisme anggaran melalui pimpinan DPR. Surat-surat terkait dengan Banggar hanya sampai di wakil pimpinan DPR Koordinator Keuangan, Saudara Anis Matta. Itu pun hanya administrasi, karena surat keluar harus ditandatangani pimpinan DPR.

Ketiga, agar dicari dalam konteks itu, saya berhubungan dengan siapa untuk mengatur anggaran, sehingga tidak menjadi fitnah. Dulu juga saya difitnah sewaktu di BUMN. Alhamdulillah, Allah membuktikan bahwa orang yang dizalimi diangkat derajatnya, maka saya menjadi Ketua DPR. Saya takut jika difitnah lagi nanti saya bisa jadi presiden. Ini sekadar minta keadilan berita saja.

Marzuki Alie
Ketua DPR RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus