Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulyono mencampurkan kaolin, felspar, kwarsa, dan ball clay ke dalam mesin pengaduk. Ia sedang menyiapkan bahan untuk membuat vas bunga. Cairan kental itu ia tuangkan ke dalam cetakan. ”Setelah kering,” katanya, ”bentuk keramik dirapikan.” Kini giliran rekannya menggambar motif bunga di keramik itu sebelum membakarnya.
Bengkel keramik seluas 180 meter persegi itu, Selasa pekan lalu, terlihat sibuk. Namun keriuhan tidak lagi terlalu terasa di sepanjang Jalan M.T. Haryono, Gang Keramik, Malang. Puluhan bengkel dan showroom yang menjadi bagian dari Kampung Wisata Keramik Dinoyo sepi pengunjung.
”Permukiman terlalu padat, lalu lintas sering macet,” kata Ketua Paguyuban Perajin dan Pedagang Keramik Dinoyo, Syamsul Arifin. Boleh jadi, tumbuhnya banyak perumahan di sepanjang jalan di sekitar kampus Universitas Brawijaya itu membuat lalu lintas macet sehingga orang malas ke Dinoyo.
Menurut dia, sempat timbul ide untuk memindahkan pusat industri rumahan ini atau membuat ruang pamer di tempat lain. Tapi niat itu diurungkan, selain perlu biaya banyak, karena wisatawan mancanegara suka melihat proses pembuatannya. ”Tak jarang, mereka ikut belajar membuat keramik,” ujarnya.
Keramik Dinoyo mempunyai sejarah panjang. Sejak 1930-an, kawasan ini dikenal sebagai penghasil gerabah. Baru pada akhir 1950-an, perajin beralih ke porselen. Kampung wisata keramik, yang mulai dibuka pada 2000, sempat ramai. Tapi serbuan keramik Cina dan, itu tadi, kemacetan parah di Jalan M.T. Haryono membuat jumlah pengunjung menurun. Satu per satu pabrik tutup. Menurut Syamsul, perajin yang bertahan tinggal 34 dari semula seratusan. Produksi Dinoyo masih 60-an ton per bulan, mulai guci sampai cendera mata perkawinan. Sebagian besar pesanan dari luar kota. Di masa jaya, produksi bisa 80 ton per bulan.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Jawa Timur Dwi Cahyono menilai kampung keramik justru kehilangan pamor karena perajin meninggalkan ciri khas produksinya, yaitu warna dominan biru dan putih. ”Perajin hanya mengejar pesanan,” katanya. Tapi ada pula yang mengkritik bahwa desain dan ragam produk Dinoyo itu-itu saja, yang membuat mereka kehilangan pembeli.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Aneka Industri dan Kerajinan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur A. Willem Talakua mengatakan banyak upaya dilakukan agar Dinoyo tak habis dikikis zaman. Salah satunya adalah memberikan pelatihan teknik produksi dan manajemen kepada perajin. Bahkan disediakan laboratorium secara cuma-cuma untuk uji produk.
Menurut dia, belum adanya ciri khas membuat produk Dinoyo hanya dikenal sebagai barang tiruan. ”Seperti Bali unggul dengan desain berciri barong,” ujarnya. ”Malang terkenal dengan topengnya. Tak salah jika motif itu dijadikan motif khas keramik Dinoyo.”
Sebenarnya berbagai terobosan sudah dilakukan. Misalnya yang dilakukan Lemah Agung, yang sempat mengirimkan keramik bermotif kaligrafi ke Timur Tengah pada 1990-an. Ekspor terhenti karena kesulitan manajemen. ”Pengusaha kesulitan memenuhi pesanan dalam jumlah besar,” tuturnya.
Menyadari ancaman kematian di depan mata, para perajin mulai mencoba desain baru. Mereka juga mengikuti tren produk keramik yang sedang ”in”. Hasilnya, produk mereka lebih beragam, mulai asbak berbentuk yin dan yang, mug berbagai bentuk, patung bergaya loro blonyo, sampai guci khas Cina.
Wisatawan asing, pelajar, dan mahasiswa kembali berdatangan. Barangkali Pemerintah Kota Malang bisa membantu mereka, misalnya dengan melatih perajin membuat desain baru, menyediakan tempat parkir luas di area kampung keramik, atau menjadikan Jalan M.T. Haryono satu arah agar lalu lintasnya tidak macet lagi.
Yudono Yanuar, Eko Widianto (MALANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo