PEKAN ini kita memperingati hari kemerdekaan. Hari-hari ketika tanah air tercinta ini penuh dengan hiasan bendera merah-putih. Juga ada pesta rakyat di mana-mana. Dan bahwa majalah ini menurunkan edisi khusus di hari yang patut kita syukuri ini, kami tentu saja tidak menulis laporan tentang teknik memanjat pohon pinang yang dilicini oli bekas, atau teknik makan kerupuk yang digantung. Kami yakin, ada tekniknya atau tidak, atraksi dalam pesta Agustusan itu selalu dipenuhi peminat, tidak pernah mengalami krisis peserta.
Tapi ada krisis yang lebih serius. Dan itulah yang kami angkat dalam edisi khusus ini, yakni krisis kepemimpinan. Indonesia, yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, sepertinya sedikit sekali punya pemimpin. Coba tengok ketika Orde Baru, yang begitu berkuasa, tiba-tiba runtuh. Soeharto tumbang dan Habibie menggantikannya untuk masa transisi sampai ada pemilu. Siapa pemimpin yang muncul? Hanya ada nama Habibie, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Abdurrahman Wahid. Dan ketika Habibie yang menjadi ”murid Soeharto” itu tak disukai, jumlah yang layak memimpin bangsa ini makin berkurang. Lalu, naiklah Abdurrahman Wahid. Saat Abdurrahman dianggap terlalu nyeleneh untuk memimpin sebuah bangsa yang begini besar, yang tersisa semakin sedikit. Apa yang salah pada negeri ini?
Dalam edisi khusus ini, kami berusaha menjawab apa-apanya itu. Misalnya, di masa Orde Baru, benih-benih pemimpin itu mandek lantaran terjadi depolitisasi di kalangan birokrasi. Sementara itu, lembaga nonpemerintah punya problem internal yang sulit melahirkan pemimpin. Partai politik, yang seharusnya mencetak calon-calon pemimpin, telanjur buruk di mata rakyat. Salah satu penyebabnya, ajaran Orde Baru masih belum sirna, bagaimana politik itu dianggap kotor.
Untuk membantu mencari jawaban ini, kami mengundang sejumlah narasumber yang kami ajak berdiskusi. Puluhan sumber berita yang lain juga kami wawancarai. Di antaranya Ulil Abshar Abdalla (cendekiawan muda NU), Letjen Agus Widjaja (Kepala Staf Teritorial TNI), Lin Che Wei (praktisi bisnis), dan Wilson Nababan (pengamat bisnis).
Melengkapi laporan tentang krisis kepemimpinan ini, kami juga menulis sosok Hatta, wakil presiden pertama republik ini. Tahun ini, hari lahir Mohammad Hatta, sang proklamator yang mendampingi Sukarno, diperingati dengan sedikit meriah. Setidak-tidaknya ada serial buku tentang Hatta yang diterbitkan.
Dengan begitu, lengkaplah sajian kami pada edisi khusus ini. Dan tentunya kami juga tak melewatkan berita-berita aktual, seperti Kabinet Gotong-Royong yang dilantik Presiden Megawati, dan polisi kita yang bergotong-royong menangkap Ibrahim, eh, Tommy Soeharto. Semoga edisi khusus ini bisa menjadi bacaan segar sambil menunggu anak-anak berlomba makan kerupuk. Dan jangan lupa: Merdeka!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini