SEEKOR anak orang utan yang disita Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari tangan orang yang tak berhak di Palangkaraya tampak sangat menderita. Binatang itu berada di Klinik Pusat Rehabilitasi Orang Utan Tanjungputing, Pangkalanbun. Para petugas di sana berusaha sekuat tenaga menyelamatkan anak orang utan yang mengidap penyakit kudisan itu. Badan hewan itu mengeluarkan bau yang tengik. Setelah satu setengah bulan, kondisi hewan itu mulai membaik. Setiap pagi binatang ini direndam di cairan antiseptik. Wartawan foto TEMPO, Donny Metri Darwin, 34 tahun, yang kebetulan sedang cuti di akhir tahun 1992, mengunjungi pusat rehabilitasi itu dan menyaksikan bagaimana petugas merawat orang utan yang merana itu. Nalurinya sebagai seorang fotografer mendidih ketika menyaksikan anak orang utan itu sedang berendam di cairan antiseptik tadi. Donny menjepret objeknya itu berulang-ulang dari berbagai angle. Hasil jepretan itu, akhirnya, berwujud sebuah karya esai foto, dan diberinya judul "Panda". Judul ini diambilnya dari nama panggilan anak orang utan tadi, yang berada di bawah pengawasan pengasuhnya, peneliti dari Kanada, Birute Marija Filomena Galdikas. Hasil jepretan Donny itu kemudian diikutsertakan dalam World Press Photo 1993, yang ke-36, sebuah lomba foto tingkat dunia yang diadakan sebuah lembaga di Belanda. Satu set foto esai (delapan lembar) karya Donny ini bertarung dengan hasil kerja para fotografer tingkat dunia. Bayangkan, lomba ini diikuti lebih dari 19.000 judul foto, hasil jepretan dari hampir 2.000 fotografer, berasal dari 84 negara. Dari Indonesia, selain Donny, turut serta sepuluh fotografer profesional lainnya. Donny dan juga peserta lainnya dari Indonesia memang belum beruntung. Tapi ada hal yang membuat bujangan asal Sumatera Barat ini bangga. Ia mendapat hiburan. Art Unlimited, lembaga di bawah Yayasan World Press Photo, penyelenggara lomba, merencanakan mencetak salah satu karya Donny tadi menjadi kartu pos. Donny tak keberatan. Selain Donny, beberapa fotografer dan wartawan tulis TEMPO pernah keluar sebagai pemenang dalam berbagai lomba foto. Misalnya, pada tahun 1992, karya dua fotografer kami, Robin Ong dan Riza Sofyat (nama terakhir itu kini bergabung dengan majalah Forum Keadilan), meraih Trofi Adinegoro dari PWI Jaya untuk karya jurnalistik foto. Kemudian, pada 1990, hadiah karya jurnalistik Adinegoro diraih koresponden TEMPO di Vancouver, Kanada, Toeti Kakiailatu. Karya Toeti, yang ditulisnya dalam bentuk reportase di rubrik Selingan TEMPO, bercerita tentang kehidupan di Pulau Buru, yang pernah menjadi tempat penahanan orang-orang yang dituduh terlibat G-30-S/PKI. Foto-foto yang menjadi pemenang lomba World Press Photo 1993 sekarang dapat disaksikan di ruang pameran Erasmus Huis -- gedung Pusat Kebudayaan Belanda -- di Jakarta. Salah satu yang terbaik adalah karya James Nachtwey, dari sindikat foto Magnum Photos, Amerika Serikat. Foto itu menggambarkan seorang ibu yang tak bertenaga sedang membopong anaknya yang terbungkus kain kafan, di padang yang gersang, menuju ke pemakaman Bardera, Somalia. Tema Indonesia juga ada, sebuah foto yang berbicara soal lingkungan hidup. Sayang, pemotretnya bukan orang Indonesia. Padahal, menurut Menteri Penerangan H. Harmoko ketika membuka pameran itu, Senin pekan lalu, "Sebetulnya, fotografer Indonesia tak kalah dengan pemotret asing." Tapi, dari hasil lomba ini, ternyata kita masih perlu terus belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini