SUDAH lama Laporan Utama ini direncanakan. Soalnya, laporan ini adalah proyek tim Laporan Utama cadangan yang dikoordinasi Amran Nasution, redaktur pelaksana liputan, dan disupervisi oleh Goenawan Mohamad. Tim ini memang dikhususkan untuk mempersiapkan Laporan Utama yang penggarapannya memerlukan waktu panjang. Soalnya, sebagian bahan dikumpulkan dengan investigasi. Untuk mempersiapkan Laporan Utama ini, sejumlah awak TEMPO harus terbang ke Cina dan Vietnam. Staf Redaksi Liston P. Siregar, didampingi fotografer Hidayat S. Gautama, berangkat ke RRC. Mereka masuk melalui Kowlon, Hong Kong. Dari sana, mereka menumpang kereta api selama 2,5 jam, menuju Guangzhou, di Provinsi Guangdong, RRC. Begitu lepas dari Shenzhen kota tetangga Kowlon yang ditetapkan sebagai zone ekonomi khusus pertama di RRC, hampir tak ada tanah rata yang tak disibukkan oleh pembangunan. Di Guangzhou terlihat gedung-gedung tinggi, jalan layang, jalanan yang macet, serta restoran mewah dengan pembuka pintu orang India bersorban. Liston dan Hidayat tak heran sedikit pun. Tapi, sebagaimana di negeri berkembang lainnya, perencanaan kota selalu menjadi problem. Apalagi Guangzhou, yang tumbuh begitu cepat. GITIC Hotel, tempat kedua awak TEMPO itu menginap, yang bertingkat 60, memiliki fasilitas parkir hanya sebuah halaman kecil yang hanya bisa menampung 20 mobil. Jalan Beijing, daerah pertokoan terbesar di Guangzhou yang tak pernah sepi, sama sekali tak punya halaman parkir. Sementara itu, mobil-mobil mewah, bus kota, dan 70.000-an taksi, serta sekitar 300.000 sepeda tumplek di jalan raya yang sempit. Sepuluh hari di Guangzhou membuat kuping jadi kebal mendengar klakson mobil yang jadi kegemaran para sopir taksi. Padahal, pengendara sepeda yang diklakson secara membabibuta tak peduli sama sekali. Lain lagi pengalaman Yopie Hidayat, yang diberi tugas ke Vietnam. Ternyata, mengurus visa untuk masuk ke negeri itu, dari Kedubes di Jakarta, tak mudah. Harus melewati birokrasi yang berbelit. Bisa makan waktu 10 hari. Yopie tak hilang akal. Pada 2 Desember yang lalu, ia berangkat dari Jakarta ke Singapura. Di sana, ia menggunakan koneksi kawan Vietnamnya ketika studi di Singapura dan berhasil. Ia memperoleh visa dalam tempo hanya satu hari, sekalipun cuma visa turis. Persoalan visa muncul saat ia ingin mewawancarai para pejabat negeri itu, selaku wartawan. Nah, sekali lagi Yopie memanfaatkan koneksi tadi, dan sekali lagi berhasil. Ia melihat, Vietnam memang mulai sadar dan menggebu-gebu akan perlunya pembangunan ekonomi alias berperang melawan kemiskinan. Tapi sisa zaman "pintu tertutup komunisme" masih tetap terasa. Lalu, selama 10 hari mengelilingi negeri itu, apa yang paling berkesan bagi Yopie? Ternyata ia sulit melupakan nuoc mam alias saus terasi. Tentara Amerika dulu di Vietnam menyebut saus itu dengan gas air mata Vietkong. Soalnya, nuoc mam itu baunya amat busuk bagi yang tak biasa. "Tapi rasanya enak banget," kata Yopie. Laporan Utama ini dilengkapi pula oleh pol yang dikoordinasi oleh reporter Ivan Haris bekerja sama dengan KP2MK (Kelompok Peneliti dan Pengkaji Masalah-Masalah Kriminologi) Jakarta. Ada 200 angket disebarkan 100 di antaranya di Jakarta di berbagai kota di Indonesia. Sasarannya adalah para pengusaha pribumi, terutama yang bergabung di Kadin. Bagaimana pandangan mereka terhadap para pengusaha nonpri yang menanam modal di RRC?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini