HARI-hari ini Jakarta kena demam PON alias Pekan Olahraga Nasional, empat tahun sekali. Sejak tahun 1973, PON hanya berlangsung di Ibu Kota, agar tak merepotkan daerah lain yang mungkin akan kesulitan menyediakan sarana dan prasarana olahraga, serta biaya. Jakarta memiliki semua itu. Tapi, seperti sulitnya kita menciptakan prestasi, mencari dana untuk membiayai PON sama pula sulitnya. Untuk itu, Panitia Besar (PB) PON harus teriak sana, tubruk sini, untuk mencari dana. Bayangkan, PON XIII ini menelan biaya Rp 18 miliar lebih. Itu pun sudah dipotong di sana-sini. ''Kalau tidak, mestinya ya Rp 23 miliar,'' kata Ketua Pelaksana PB PON XIII, R.S. Moeseno, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dana memang sudah dikorek dari bermacam sumber. Ada dari APBD DKI, SDSB, dan pungutan dari masyarakat yang bepergian lewat bandar udara, atau pembayar rekening telepon dan listrik. Toh panitia masih kekurangan dana sekitar Rp 7,6 miliar. Pada PON lalu, panitia bekerja sama dengan Biro Iklan Matari untuk mencari dana dari sponsor. Sampai-sampai waktu itu Gubernur Wiyogo Atmodarminto rela ditampilkan di berbagai iklan sponsor, mencari duit. Pengumpulan dana PON kali ini dilakukan oleh satu Gugus Tugas Dana. Anggotanya beragam karena melibatkan tak hanya satu biro iklan, tapi juga mengajak serta seluruh potensi. Di sana ada bekas Wakil Gubernur DKI Eddy M. Nalapraya (sebagai ketua umum gugus tugas ini), M.S. Rallie Siregar (wakil ketua I), Alex Kumara (sekretaris umum), dan R. Hardiyanto (sekretaris). Nama- nama yang belakangan itu berasal dari televisi swasta RCTI. Orang TEMPO juga terlibat di sini. Mereka ialah H. Mahtum (wakil ketua II) dan Hendrik K. Hidayat. Selain itu, ada Iskandar Wijaya dari Suara Pembaruan, Syaiful Azwar dari PRSSNI (organisasi radio swasta), Nuke Mayasaphira dari media luar ruang, dan Baty Subakti serta Frans Suharto dari biro iklan. Dikerahkannya potensi media massa di sini ternyata sangat bermanfaat. Mereka bekerja secara suka rela. ''Hitung-hitung mencari pengalaman bagaimana mengelola sebuah pesta bangsa,'' kata H. Mahtum, Wakil Direktur Pemasaran TEMPO itu. Berkat dukungan media massa pula, promosi PON berlangsung gencar. Lihat saja berapa ratus kali RCTI, SCTV, TVRI, dan TPI menayangkan PON dan ''Produk Resmi''-nya. Belum lagi surat kabar dan majalah yang ada di seluruh Indonesia. TEMPO, misalnya, turut menyumbangkan halamannya untuk tujuan yang sama. Entah berapa miliar kalau semua itu dinilai dengan rupiah. Tugas berat itu akhirnya berakhir dengan sukses. Meski pada awalnya agak tersendat maklum hanya ada delapan sponsor yang bergabung sebagai ''Produk Resmi'' dan sponsor api PON, yakni Indomie, Ades, Bank Danamon, Asuransi Bumi Putera, Filma, Eagle, Sempati Air, dan Aqua akhirnya dana PON tertutupi. Terutama karena ada Malam Gelora Prestasi. Di sana Menko Polkam Soesilo Soedarman dan Gubernur Surjadi Soedirdja berhasil merayu sejumlah konglomerat untuk merogoh dompet masing-masing. Mereka antara lain Sudwikatmono, Aburizal Bakrie, James Ryadi, dan Muktar Wijaya. Pada malam itu terkumpul Rp 4,1 miliar. Seretnya dana ini, terutama, karena terbatasnya waktu. Seperti dikatakan Direktur Utama RCTI M.S. Rallie Siregar, mereka praktis bekerja cuma 3 bulan. Padahal, panitia Olimpiade atau Asian Games biasanya bekerja 3 atau 4 tahun untuk mencari dana. ''Beri kami waktu 3 tahun. Insya Allah peran swasta sanggup mengatasi dana PON,'' kata H. Mahtum optimistis. Nah, pembaca, mudah-mudahan kini Anda yakin bahwa potensi media massa ternyata tak hanya menyebarkan informasi, pendidikan, dan hiburan. Mencari duit PON pun bisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini