SELAMA satu bulan belakangan, di kantor kami di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, hadir lelaki bertubuh tinggi, berwajah berewokan. Dia tak lain dari Ahmad Dja'far Bushiri, 39 tahun, wartawan TEMPO yang bermarkas di Kairo, Mesir. Bersama Mochtar Touwe dari Ambon, Dja'far sedang mengikuti semacam program orientasi di Jakarta. Proyek seperti ini sudah lama kami laksanakan untuk para wartawan kami yang berdomisili di daerah dan luar negeri. Dengan program seperti ini diharapkan mereka memahami degup jantung TEMPO. Mereka bisa bertatap muka, saling kenal, berdiskusi, dan bercanda bersama teman lainnya yang ada di Jakarta. Mereka berkenalan dengan suasana kantor dan cara kerjanya atau, singkat kata, mereka mengalami sendiri bagaimana isi TEMPO direncanakan sampai selesai dikerjakan. Sebetulnya untuk Dja'far, program ini mestinya terlaksana tahun lalu. Tapi, karena kesibukannya menyiapkan disertasi di Fakultas Pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, program ini terpaksa tertunda. Kini Dja'far sedang mengikuti program doktor di Universitas Al-Azhar yang terkenal itu. Di tengah kesibukan itu, ia dikenal pula sebagai wartawan yang aktif, dan betul- betul memahami peta pergolakan Timur Tengah, daerah yang terus- menerus marak itu. Menjelang keberangkatannya ke Jakarta, awal bulan lalu, Dja'far terlibat dalam menyiapkan laporan utama tentang Islam militan di negara-negara magribi. Antara lain, Dja'far mewawancarai Dr. Abu Zeid, yang dijuluki Salman Rusdhie Mesir. Dja'far pernah dua kali mengunjungi Jericho, Tepi Barat, daerah pendudukan yang dikuasai Israel dan kini siap-siap akan diserahkan Israel pada Palestina. Kunjungan pertamanya berlangsung pada 1990, ketika Perang Teluk berkecamuk. Ketika itu, Dja'far ditugasi TEMPO ke Arab Saudi dan Kuwait yang baru saja dibebaskan tentara Sekutu dari cengkeraman Irak. Dalam kesempatan itu, Dja'far pun menyeberang ke Tepi Barat. Kedua kalinya, Dja'far ke sana meliput pemilu Israel, Juli 1992. Selama di Jakarta Dja'far pun mendapat tugas peliputan, termasuk mewawancarai sumber-sumber berita dari Timur Tengah. Misalnya, bersama wartawan Wahyu Muryadi, ia mewawancarai Dr. Riffat Hassan untuk tulisan agama. Bersama penanggung jawab rubrik luar negeri Didi Prambadi, ia mewawancarai Duta Besar Sudan Salih A. Mashamoun. Dubes Palestina Ribhi Awad sempat pula ia interviu. Wawancara itu ada yang dilakukannya dalam bahasa Inggris, ada pula dalam bahasa Arab. Dja'far memang me nguasai banyak bahasa. Selain Inggris dan Arab, ia kuasai bahasa Jerman, Perancis, dan Indonesia, bahkan Madura. Soalnya, sekalipun berewokan dan namanya berbau Arab, Dja'far itu dilahirkan di Desa Arosbaya, Bangkalan, Madura. Rekan yang satu lagi, Mochtar Touwe, bergabung dengan TEMPO sejak 3 tahun lalu. Lelaki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 31 tahun lalu itu, sebelum bergabung dengan TEMPO, sudah aktif sebagai wartawan SKM Mimbar Karya dan harian Fajar, di Ujungpandang. ''Ternyata menembus sumber berita lebih sulit di Maluku dibanding Jakarta,'' komentar Touwe, di akhir programnya di Jakarta. Lain pula Dja'far. Dari Kairo, ia menduga Bambang Bujono redaktur pelaksana yang membawahkan rubrik Luar Negeri, dan sering berhubungan dengan Dja'far seorang yang jangkung. ''Ternyata meleset total,'' katanya. Bambang bertubuh kecil. Komentarnya yang lain? ''Pemimpin Redaksi Fikri Jufri kalau memimpin sidang santai tapi demokratis, menghargai semua pihak. Mungkin karena ia sering memimpin seminar,'' katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini