Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Irwasum Polri
Majalah Tempo edisi 23-29 April 2012 menerbitkan laporan berjudul "Simsalabim Simulator SIM". Saya keberatan terhadap salah satu bagian dari laporan itu yang berisi tuduhan terhadap saya. Selengkapnya Tempo menulis, "Ia pun tercatat menyetor Rp 1 miliar ke Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Fajar Prihantoro."
Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak pernah menerima apa pun dari Budi Susanto. Saya tidak mengenal dan tidak mengetahui siapa dia.
Tempo juga menulis bahwa transfer uang tersebut dilakukan pada 13 Januari 2011. Padahal saya baru diangkat menjadi Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) pada 14 Maret 2011. Sebelumnya, saya menjabat Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Saya minta keterangan tersebut dikoreksi agar semua pembaca Tempo mengetahui fakta yang sebenarnya. Terima kasih.
Komisaris Jenderal Drs Fajar Prihantoro
Inspektur Pengawasan Umum
Mabes Polri
Keterangan tersebut kami peroleh dari Sukotjo S. Bambang. Kami sudah meminta konfirmasi dari Anda sebelum berita itu dimuat. Terima kasih.
—Redaksi
Tanggapan Dinas Pariwisata Jakarta
KAMI ingin menanggapi surat pembaca yang ditulis Saudara Martin Aleida pada majalah Tempo edisi 16-22 April 2012 dengan judul "Honor Dewan Kesenian Jakarta". Dalam surat itu, Saudara Martin Aleida menulis: "Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta menebar angin surga berupa iming-iming akan menyediakan dana Rp 3 miliar. Nyatanya, sampai perhelatan itu berakhir, janji tinggal janji."
Hal ini tidak sesuai dengan fakta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta telah memberikan dukungan pembiayaan terhadap kegiatan Jakarta Biennale 2011 melalui Program Pengelolaan Keragaman Budaya nomor kegiatan 1.17.03.006 dengan nilai realisasi anggaran Rp 3.234.260.000.
Kami menyarankan masalah honorarium dan utang Panitia Jakarta Biennale semestinya ditanggapi oleh pihak Dewan Kesenian Jakarta atau Panitia Jakarta Biennale 2011. Ke depan kami berharap peran dan fungsi Dewan Kesenian Jakarta lebih berfokus sebagai think tank Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk gagasan-gagasan kebijakan pengembangan kesenian di DKI Jakarta. Terima kasih.
Arie Budhiman
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Sengketa Lapangan Desa di Jembrana
SAYA ingin melaporkan kasus penyerobotan lahan lapangan desa di Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali. Lapangan yang sebelumnya merupakan tanah milik warga desa itu secara sepihak diambil alih Dinas Pendidikan Kabupaten Jembrana dan digunakan untuk mendirikan SMA Negeri 2 Mendoyo.
Banyak warga desa kami yang menyayangkan sikap pemimpin Desa Penyaringan (perbekel dan bendesa) serta Camat Mendoyo yang membiarkan—bahkan memfasilitasi—pengambilalihan lapangan desa itu.
Alun-alun desa yang dibangun secara swadaya pada 1967 itu merupakan kebanggaan kami. Program ABRI Masuk Desa pada 1988 membantu meratakan dan merapikannya. Banyak kegiatan komunitas desa, dari pekan olahraga desa, upacara mukur massal (bagian akhir dari upacara ngaben), pesta rakyat desa, upacara bendera, sampai laga sepak bola kampung, terlaksana di sana.
Memang sejumlah klian (ketua) banjar sempat mempersoalkan rencana pendirian sekolah di lapangan desa itu. Pasalnya, semula pembangunan sekolah tersebut direncanakan tidak memakai lahan alun-alun desa, tapi menggunakan lahan kosong tak jauh dari sana.
Sayangnya, suara mereka pun tenggelam. Setelah beberapa kali berdialog dengan warga, pemerintah kabupaten hanya bersedia memberi kompensasi Rp 120 juta untuk Desa Penyaringan.
Sekarang masalah ini sudah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Jembrana dan Inspektorat Pemerintah Kabupaten Jembrana. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada tindak lanjut dari kedua instansi itu.
I Ketut Anugraha
Penyaringan, Jembrana
Bali
Hakim dan Ilmu Psikologi
SELAMA ini publik menganggap hakim yang baik adalah hakim yang khatam segala macam aturan hukum dan segala perundang-undangan di Indonesia. Hakim serba tahu macam itu dipandang mampu memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Pengalaman menunjukkan itu saja tidak cukup. Menurut saya, seorang hakim juga harus mengerti disiplin ilmu lain, khususnya ilmu psikologi. Ini penting agar hakim tidak terjebak dalam bias kognitif dirinya sendiri. Sebuah riset menunjukkan hakim dari etnis mayoritas, misalnya, punya stereotipe negatif terhadap terdakwa yang berasal dari etnis minoritas.
Hakim yang terjebak pada bias macam itu melanggar prinsip dasar tentang kesetaraan setiap warga negara di mata hukum.
Annisa Fitriani Rahayu
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
RALAT
Pada majalah Tempo edisi 23-29 April 2012, di rubrik Kriminalitas (halaman 91), kami memuat foto seorang korban kekerasan bernama Hendi Haryanto. Foto itu kami dapatkan dari sumber yang tidak bisa kami sebutkan. Belakangan kami mendapat informasi bahwa foto itu ternyata diperoleh sumber kami dari wartawan Kompas, Agnes Rita. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo