Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semangat Sekolah di Bulan Ramadan
SEORANG profesor dari Jepang, Masaru Emoto, telah meneliti hubungan kata-kata positif dengan pembentukan kristal air yang berbentuk heksagonal. Ucapan "terima kasih", misalnya, yang diucapkan dalam berbagai bahasa mampu membentuk kristal air yang indah dan sempurna.
Kristal air yang berbentuk sempurna tentu berpengaruh sangat positif bagi tubuh kita karena air akan mampu menjalankan fungsinya secara optimal dalam tubuh. Sebaliknya, pengucapan kata-kata negatif, misalnya "kamu bodoh", membuat heksagonal air menjadi rusak dan tidak terbentuk sempurna.
Anak memiliki kemampuan yang ulung dalam hal meniru tingkah laku orang dewasa di sekitarnya, seperti pepatah yang mengatakan "satu perbuatan lebih ampuh dari seribu perkataan". Apalagi yang memberikan contoh adalah orang tuanya, anak akan sangat cepat dalam menirukan perbuatan mereka. Jadi, ketika mengantar anak ke sekolah, alangkah baiknya orang tua berpakaian rapi dan sudah mandi agar anak merasa bahwa orang tuanya merasakan hal yang sama dengan dirinya, yaitu harus sudah rapi dan mandi pada pagi hari. Dengan begitu, semangat anak akan tergugah untuk berangkat ke sekolah.
Ramadan adalah bulan berlipat pahala dan berkah. Karena itu, orang tua dapat menjadikannya pula sebagai ladang pahala dengan memberi semangat lebih kepada anaknya ketika akan berangkat sekolah pada pagi hari. Pemutaran lagu yang bernada dan bersyair semangat serta persiapan diri orang tua yang terlihat rapi ketika mengantar anak ke sekolah dapat menjadi salah satu solusi alternatif untuk mengoptimalkan proses belajar anak di sekolah. Cara ini juga dapat dilakukan di luar Ramadan agar anak semakin terbiasa dengan sikap semangatnya di pagi hari dan memiliki kesiapan yang prima untuk bersekolah. Kesiapan yang prima akan memberikan kenyamanan hati dan kenyamanan hati dapat berbuah prestasi.
Devi Ratnasari
Tangerang Selatan, Banten
Solidaritas Sosial Anak
KELUARGA, selaku kelompok sosial pertama dan terkecil, memberi pengaruh yang abadi bagi seorang anak. Kehidupan anak di dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih kompleks dan besar di kemudian hari pada hakikatnya merupakan cerminan kehidupan yang dijalaninya di dalam keluarganya. Impresi yang diperolehnya dari kehidupan keluarganya akan menganggit keberperanan atau ketidakberperanan dirinya dalam pemenuhan kecakrukan sosial.
Apabila seorang anak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga yang baik, tempat ia melihat orang-orang selalu menghadirkan manfaat bagi satu sama lain, bahkan ia pun menjadi obyek kedermaan mereka, ia akan menyatakan secara alami bahwa kebaikan inilah yang patut diadopsi. Walhasil, pada tataran kehidupan yang lebih tinggi, ia akan mencari dan memilih peran yang sesuai dengan didikan keluarganya tersebut, yakni peran yang membawa kebaikan bagi orang lain.
Satu hal yang patut disayangkan, dari kedua bentuk didikan keluarga di atas, bentuk terakhirlah yang dewasa ini merebak pesat. Ulrich Beck (1997) menyebutkan bahwa pasangan orang tua sekarang telah begitu terindividualisasi sehingga hubungan di antara mereka bertumpu pada kepercayaan personal yang subyektif dan egoistis semata. Sekali kepercayaan itu menguap, hubungan pernikahan pun turut serta menguap. Anak dalam pola hubungan mereka bukan lagi prioritas. Akibatnya, ketika mereka bercerai, anak mengalami kegelisahan dan depresi serta berperilaku antisosial.
Iffat Aulia Ahmad
Mahasiswa Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo