Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum Berat Pelaku Pemerkosaan

BANYAKNYA kasus pemerkosaan sadistis menunjukkan adanya krisis moral di Indonesia. Setelah pemerkosaan atas YY, 14 tahun, oleh 14 pria, Mei ini kembali terjadi pemerkosaan atas EP, gadis 19 tahun. Ia ditemukan tewas dengan banyak luka di tubuhnya dan sebuah gagang cangkul menancap di kemaluannya. Pelakunya tiga orang pria. Salah satunya pacar korban.

Kasus pemerkosaan akhir-akhir ini sangat mengerikan. Pelakunya lebih dari satu, bahkan mencapai belasan. Tak sedikit pelaku merupakan pelajar di bawah umur. Korban pemerkosaan dan pembunuhan mayoritas anak di bawah umur. Jika masih hidup, korban jelas akan mengalami trauma berat sepanjang hidupnya.

Dengan fakta banyak pelaku pemerkosaan masih remaja usia sekolah, pemerintah harus memberlakukan tindakan tegas. Pengawasan akses ke situs porno lebih diperketat. Juga orang tua harus lebih perhatian dan mengawasi tingkah laku anaknya.

Hukuman atas tindakan pemerkosaan dan pembunuhan juga terasa sangat ringan sehingga kasus seperti ini terus terulang, bahkan dengan tingkat kekejaman yang meningkat. Pelaku seharusnya dihukum lebih dari dipenjara agar jera dan membuat yang lain takut melakukan tindakan keji seperti itu, misalnya dengan dikebiri. Mungkin hukuman kebiri terdengar berlebihan, tapi coba pikirkan kembali tindakan yang telah mereka perbuat.

Wisma Wulandari
Mahasiswa ilmu komunikasi UPN "Veteran" Jawa Timur


Ketimpangan Gender dan Kekerasan terhadap Perempuan

KASUS kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data tahunan yang dirilis Komisi Nasional Perempuan, pada 2013 kekerasan terhadap perempuan mencapai 279.760 kasus. Pada 2014 meningkat menjadi 293.220 kasus dan pada 2015 ada 321.752 kasus.

Komnas Perempuan mencatat, yang paling banyak terjadi kekerasan di ruang privat. Sedangkan bentuk yang terbesar adalah kekerasan fisik dan seksual. Selain di rumah tangga dan lingkungan kerja, kekerasan banyak terjadi di ruang publik, terutama di kawasan urban. Harus kita akui, di samping anak-anak dan kaum difabel, saat ini perempuan menjadi kelompok yang hak-haknya kurang atau bahkan tidak diperhatikan dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan perkotaan. Kota dengan segala fasilitas dan isinya akhirnya menjadi tempat yang kurang aman bagi kaum Hawa.

Selain kriminalitas dan kekerasan, terdapat beberapa aspek lain yang mempengaruhi perasaan aman perempuan di ruang publik kawasan perkotaan, yakni kondisi infrastruktur kota, dominasi gender, serta prosedur dan sikap sosial.

Pada hakikatnya, kota dibangun untuk semua gender, bukan hanya untuk kaum laki-laki. Maka menciptakan dan mengembangkan lingkungan kota yang aman bagi perempuan merupakan kewajiban mutlak pengelola kota. Salah satu kuncinya: menyediakan infrastruktur dan layanan publik yang andal. Misalnya penerangan jalan yang memadai; toilet umum yang bersih, aman, dan nyaman; angkutan umum dan jalur pejalan kaki yang baik dan aman; kamera CCTV; petugas polisi untuk berpatroli secara teratur, baik dengan seragam resmi maupun dengan pakaian biasa; serta fasilitas hotline untuk pelaporan.

Irma Suryani
Alumnus STAI Sukabumi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus