Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

25 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prihatin Pengatur Lalu Lintas Udara

Membaca Laporan Utama majalah Tempo edisi lalu, dan sejumlah laporan sebelumnya yang mengulas amburadulnya pengelolaan menara kontrol di bandar udara, saya jadi berpikir ulang untuk naik pesawat.

Apalagi saya punya pengalaman pribadi yang tidak enak soal ini. Pada Mei 2012, saya dan rombongan dari Dewan Harian Nasional 45 akan terbang ke Banjarmasin naik pesawat Garuda Indonesia. Menurut jadwal, pesawat berangkat pukul 15.40. Nyatanya, pesawat baru bergerak pada pukul 16.44 WIB. Hampir satu jam terlambat. Itu pun pesawat tak langsung tinggal landas. Kami masih berputar-putar di landasan pacu dan baru terbang sekitar setengah jam kemudian.

Ketika balik dari Banjarmasin, saya mengalami hal yang sama. Ketika pesawat mulai mendekati Jakarta, kami tidak bisa langsung mendarat. Pesawat bahkan sampai berputar-putar ke dekat Bogor.

Setelah membaca laporan Tempo, barulah semua menjadi jelas. Sekarang saya paham kenapa pesawat harus menunggu lama untuk takeoff dan landing di bandara kita. Ternyata mereka semua menunggu giliran komando dari menara Air Traffic Control. Sudah saatnya situasi memprihatinkan ini diperhatikan. Semoga pihak yang berkompeten merespons persoalan tersebut secara serius. 

Darmaningtyas
Jakarta


Akses Pejalan Kaki di Jakarta Convention Center

PEKAN lalu saya mengunjungi perhelatan filateli tingkat dunia "World Stamp Championship Indonesia", yang digelar 18-24 Juni 2012 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. Kebetulan saya seorang filatelis.

Sayangnya, lokasi pameran ini membuat pejalan kaki dan pengguna transportasi publik semacam saya tidak nyaman. Untuk mencapai JCC, saya harus naik bus dan turun di Halte Farmasi. Dari sana, saya harus berjalan kaki memutar lumayan jauh untuk mencapai gedung pameran. Padahal, jika saja pengelola JCC memikirkan kenyamanan pejalan kaki, lokasi gedung pameran sebenarnya tidak seberapa jauh dari halte bus.

Saya berharap pengelola JCC meningkatkan kenyamanan pejalan kaki dengan membuka pintu masuk di sejumlah titik strategis. Ini akan sangat membantu kami. Terima kasih.

Vita Priyambada
Jatiwaringin, Jakarta


Menghemat BBM dengan Mengatasi Macet

Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan bahwa cadangan minyak bumi kita tinggal 7,7 miliar barel. Artinya, tak lama lagi cadangan energi minyak bumi kita bakal habis. Jangan lupa, bahan bakar minyak adalah energi yang tak terbarukan. Jika BBM habis, upaya apa pun tak bisa kita lakukan agar ia menggenang kembali dalam perut bumi.

Celakanya, karena Dewan Perwakilan Rakyat menolak pencabutan subsidi BBM, pemerintah sekarang kebingungan menghemat penggunaan Premium. Solusi yang ditawarkan pemerintah dengan melarang semua mobil dinas pemerintah dan badan usaha milik negara menggunakan Premium tidak cukup. Menurut saya, semua pengguna kendaraan pribadi juga harus dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Pemerintah cukup memberi subsidi untuk angkutan umum agar karcisnya terjangkau oleh masyarakat luas.

Dengan kebijakan ini, otomatis ongkos menggunakan kendaraan angkutan umum akan jadi jauh lebih murah ketimbang mengendarai mobil pribadi. Ditambah perbaikan keamanan dan kenyamanan sarana transportasi publik, saya yakin masyarakat akan mulai memarkir mobilnya di garasi. Dengan solusi ini, lalu lintas di jalan jadi tidak macet—karena jumlah mobil pribadi berkurang—dan subsidi BBM tak membengkak. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Pandu Syaiful
Pengajar SMP Cendana,
Duri, Riau


Catatan Kecil tentang Tortor Batak

Ribut-ribut soal "klaim" Malaysia atas tari tortor dan gondang sembilan perlu disudahi secara arif dengan menggunakan kaidah yang ada di sekitar permasalahan hak atas kekayaan intelektual. Di forum World Intellectual Property Organization telah banyak dibahas tentang pengaturan atas kekayaan budaya bangsa yang penciptaannya bersifat anonim dan tumbuh dalam tradisi bangsa atau suku bangsa.

Ini tentu saja harus dibedakan dari karya cipta yang diketahui penciptanya. Artinya, karya seni tradisional (dan segala "pengetahuan tradisional") tidak serta-merta bisa dianggap sebagai public domain (milik umum) yang bebas digunakan siapa saja. Tetap selalu harus diakui tradisi (suku) bangsa mana yang memilikinya. Itu berarti harus selalu diberi moral rights (hak untuk disebut pemilik/penciptanya), di samping kemungkinan pembagian benefit sharing bila ada usaha komersial terhadapnya.

Perihal tortor dan gondang sembilan sudah jelas diketahui—dan informasi mengenai ini dapat dilacak ke catatan-catatan terdini para penginjil yang masuk ke tanah Batak pada masa kolonial—bahwa itu adalah bagian dari seni tradisional orang Batak. Bahwa tari tortor itu, sebagaimana juga reog Ponorogo, sampai ke Malaysia adalah karena pada masa lalu terjadi migrasi suku bangsa dari Indonesia ke tanah Malaya.

Maka dapat dikatakan bahwa dalam kasus tertentu seperti itu, orang Indonesia dan orang Malaysia mempunyai shared cultural heritage. Namun perlu juga senantiasa diakui bahwa awal penciptaan bentuk ungkapan budaya itu semula terjadi di Indonesia. Terima kasih.

Edi Sedyawati
Jakarta


Pemilu Alternatif

SAYA seorang dosen dan alumnus Institut Teknologi Bandung. Melihat kondisi Dewan Perwakilan Rakyat yang karut-marut seperti sekarang, saya mengusulkan ada mekanisme baru dalam pemilihan umum mendatang.

Inspirasi untuk skema pemilihan umum baru ini kami peroleh dari buku Bung Hatta, Demokrasi Kita. Dalam buku itu, Bung Hatta menyokong rencana penyelenggaraan pemilu yang murah, mudah, dan demokratis. Wakil presiden pertama ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia seharusnya berdasarkan kolektivisme dengan dua sifat. Sifat pertama adalah semua keputusan diambil dengan musyawarah untuk mufakat. Sifat kedua adalah tolong-menolong dan gotong-royong.

Karena itu, kami mengusulkan ada pemilu tanpa partai. Caranya, semua desa dan kelurahan memilih wakilnya sendiri, yang kemudian secara berjenjang memilih wakil mereka—di antara mereka sendiri—untuk badan-badan perwakilan di tingkat yang lebih tinggi. Di level nasional, ada Dewan Rakyat, yang beranggotakan wakil-wakil desa/kelurahan yang terpilih dalam musyawarah di tingkat kecamatan, kabupaten, sampai provinsi.

Keuntungan sistem ini, para wakil rakyat yang terpilih dari level terbawah di tingkat desa/kelurahan tentu sudah dikenal baik oleh pemilihnya. Tanpa partai serta tidak perlu ada kampanye dan biaya politik macam-macam. Dengan model demokrasi langsung ini, kedaulatan rakyat jadi lebih kuat dan bermartabat.

Zaid Perdana
Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus