Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil menunggu keberangkatan pesawat, seorang laki-laki melihat-lihat kaus di sebuah gerai di Bandar Udara Juanda, Surabaya. Matanya terpikat pada sebuah T-shirt bertulisan "Surabaya Kota Pahlawan" dengan gambar puluhan tokoh komik superhero, dari Batman sampai Superman dan Wonder Woman, berdiri di depan Tugu Pahlawan.
Ada juga yang sedikit urakan: gambar siluet perempuan bahenol sedang duduk sambil mengangkat paha kanannya. Ada sebaris tulisan: "Dolly Air, kepuasan Anda harapan kami", lengkap dengan denah menuju Dolly, lokalisasi terbesar Asia yang terletak di Surabaya. "Saya sengaja bikin desain unik dan nakal agar menarik konsumen," kata desainer kaus tersebut, Dwita Roismika, 36 tahun.
Cak Cuk, demikian mereknya. Di Surabaya, juga ada merek T-shirt Sawoong, yang memilih tema sejarah Kota Buaya itu, atau Kaosgokil, yang lebih ngepop dengan tema-tema global. Di Malang juga muncul produsen kaus khas kera ngalam yang memakai merek Soak Ngalam atau Udeng Bodol, Malangku, Obama (Oblong Aseli Malang), Pari’an, Ngalam Ilakes, Kunam, dan Walikan.
Mereka terinspirasi larisnya Dagadu di Yogyakarta atau Joger di Bali. Seperti pendahulunya, kaus Jawa Timuran ini mengangkat tema lokal dan sering menggunakan bahasa yang hanya dimengerti komunitasnya. Lihat saja umpatan jancuk di banyak produk Cak Cuk, atau bahasa khas Malang, yang kata-katanya dibalik, pada Soak Ngalam.
Pilihan desain kaus dengan tema sangat lokal ini memang menarik. Ketika anak muda di seantero dunia mengenakan kaus bergambar gerilyawan Amerika Latin, Che Guevara, Cak Cuk menawarkan pahlawan perang 10 November 1945, Bung Tomo. Atau, ketika banyak beredar T-shirt bertulisan fu*k, Cak Cuk memajang umpatan jancuk yang "sangat Suroboyo".
Dwita mengaku kaus bertema umpatan itu mengundang banyak protes, terutama dari kalangan pendidik. Namun ia berdalih bahwa tanpa ada kausnya pun, anak-anak di Surabaya sudah biasa mengumpat. "Lagi pula ada yang bilang jancuk itu bukan umpatan, melainkan tanda persaudaraan arek Surabaya," kata lulusan Jurusan Akuntansi Universitas Airlangga ini.
Tema Surabaya sebagai kota "esek-esek" juga banyak diangkat Dwita. Tak sekadar untuk menjaring konsumen, ia menjadikannya sebagai media protes sosial. "Saya ingin memprotes, mengapa di Surabaya ada kompleks pelacuran terbesar," ujarnya.
Sawoong, yang ditukangi Kuncarsono Prasetyo, 35 tahun, lebih menonjolkan nuansa kuno khas Surabaya, seperti iklan kereta api di sebuah surat kabar zaman Belanda atau halaman koran Pewarta Soerabaia edisi 20 November 1924. Beda lagi dengan Soak Ngalam, yang banyak menawarkan ungkapan khas Malang, seperti Ayas Asli Ngalam ("saya asli Malang") atau Ebes Kodew ("ibu") dengan gambar perempuan berkonde.
Kaus bertema sangat lokal itu biasanya menjadi incaran warga asal daerah ini yang sudah menetap di kota lain. Tapi banyak juga penggemar yang tidak berasal dari komunitas kaus khas ini. Putri Arum Nilawati, 22 tahun, mahasiswa asal Balikpapan, yang ditemui di gerai Soak Ngalam, Selasa pekan lalu, sedang sibuk mencarikan kaus pesanan ibu dan kakaknya. "Saya sudah tiga kali beli kaus Malangan di sini," kata Putri, yang mengaku tidak mengerti bahasa gaul anak Malang. Tapi ia dan keluarga memilihnya karena menilainya sebagai cendera mata Malang.
Itu pula sebabnya gerai kaus Cak Cuk menjadi salah satu tujuan belanja turis asing setelah Dwita menggandeng agen perjalanan wisata. Begitu juga Sawoong, yang 30 persen pembelinya adalah pelancong mancanegara. Meski tidak mengerti pesan dalam kaus itu, mereka memborongnya sebagai oleh-oleh.
Maka bisnis yang tadinya diperkirakan sempit ceruknya ini bisa tumbuh subur. Dwita, yang terseok-seok ketika memulai usahanya pada 2005, kini memiliki 30 karyawan dan empat gerai dengan omzet Rp 200 juta per bulan. Soak Ngalam bisa menangguk penjualan sekitar Rp 1 juta per hari dari satu gerainya dengan harga kaus dari Rp 65 ribu sampai Rp 80 ribu. Itu belum yang dijual secara online.
Yudono, Kukuh S Wibowo (surabaya) Abdi Purmono (malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo