Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TARGET pemerintah memiliki petunjuk teknis yang mengatur klaim pembayaran investasi (cost recovery) perminyakan dan gas masih harus disimpan di laci. Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dua instansi pemerintah yang bertanggung jawab membuat peraturannya, masih ngotot-ngototan dan belum bersepakat.
Sejatinya, akhir November ini, rancangan peraturan pemerintah tentang cost recovery harus terbit. Itu pun molor dari target awal September. Draf aturan baru tersebut terkatung-katung di Sekretariat Negara. Proses administrasinya mandek. Deputi Menteri-Sekretaris Negara Bidang Perundang-undangan Sapta Murti mengatakan Kementerian Energi sebenarnya telah menyampaikan hasil final rancangan peraturan pemerintah tersebut pada 1 September lalu. Sejak itu telah dilakukan tiga pembahasan, dua kali di Sekretariat Negara dan sekali di Kementerian Energi.
Namun sederet persoalan prinsip masih mengganjal, terutama soal perpajakan. ”Masih ada keberatan dari Direktorat Jenderal Pajak,” kata Sapta Murti kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Sekretariat Negara meminta dua kementerian itu duduk kembali, sampai tercapai kesepakatan. ”Kalau sudah clear, baru dibawa kemari.” Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan, salah satu ganjalan soal kewajiban rig pengeboran berbendera Indonesia. ”Ada yang keberatan,” kata dia, akhir pekan lalu.
Rancangan aturan baru itu disusun memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 41/2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 dan Undang-Undang Nomor 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Maka , payung hukum ini diberi tajuk ”Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas (Migas).”
Pasal empat Undang-Undang APBN mewajibkan pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur biaya yang dapat dikategorikan dan diperhitungkan sebagai cost recovery. Juga standar kewajaran unsur biaya dalam perhitungan beban pajak.
Ada beberapa ketentuan perpajakan yang bersinggungan dengan bisnis minyak dan gas. Misalnya pajak pertambahan nilai, bea masuk, pajak bumi dan bangunan, pajak daerah, dan retribusi daerah. Selama ini pajak tidak langsung tersebut menjadi beban pemerintah. Tapi nantinya pemerintah dan kontraktor akan menanggung bersama dengan cara membukukannya sebagai komponen biaya.
Ada pula soal pajak penghasilan atas pendapatan yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama, yang wajib dibayar oleh kontraktor. Tujuannya, disebutkan dalam penjelasan umum rancangan peraturan pemerintah tadi, mencegah penyalahgunaan penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda alias P3B.
Mestinya aturan baru tersebut terbit paling lambat 1 Januari 2009. Nyatanya, hampir dua tahun pembahasan berjalan, tarik-ulur di antara dua kementerian masih kencang. Namun, akhir pekan lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan telah ada kesepakatan antara Kementerian Energi, Kementerian Keuangan, dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Pembahasan dengan pelaku bisnis minyak dan gas pun telah dilakukan. Saat ini memasuki tahap finalisasi.
COST recovery adalah biaya investasi dan operasi produksi minyak dan gas yang dibayarkan pemerintah kepada kontraktor. Ini merupakan konsekuensi atas sistem kontrak bagi hasil produksi yang diterapkan di Indonesia sejak 1960. Sebab, 100 persen modal berasal dari investor. Jika kontraktor menemukan minyak atau gas, seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi akan diganti oleh negara. Sebaliknya, bila gagal, investor yang menanggung.
Artinya, semua biaya yang berhubungan dengan kegiatan operasi minyak dan gas sebenarnya bisa di-reimburse alias diklaim. Namun nilai klaim yang terus menggemuk dari tahun ke tahun memaksa pemerintah memelototi lebih ketat. Persoalan cost recovery sebenarnya sudah bolak-balik dikritik orang. Tapi langkah sigap pemerintah baru terasa dua tahun belakangan.
Bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama tahun anggaran 2004 hingga semester I 2005. Lembaga ini menemukan kerugian lebih dari Rp 13,65 triliun karena pembebanan sejumlah biaya operasional yang tidak semestinya ke cost recovery. Misalnya proyek Politeknik Caltex Riau, biaya sekolah, sumbangan kepada sekolah internasional, biaya community development, community relationship, dan bunga recovery.
Ditemukan pula penggunaan dana bagi hasil oleh kontraktor, yang belum disetujui pemerintah, sebesar US$ 1,79 juta. Dana bagi hasil tersebut berpotensi ditentukan sendiri atawa digelembungkan oleh kontraktor. Mestinya, pemerintah memotong dana bagi hasil di tahun berikutnya, tetapi setelah empat tahun berjalan, belum ada tindakan itu.
Dalam pemeriksaan pada 2006-2007, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kerugian negara Rp 27 triliun karena penggelembungan biaya produksi minyak yang ditagihkan sebagai cost recovery. Salah satunya, kontraktor mengklaim biaya sewa mesin generator ke anak usahanya US$ 80 juta per tahun. Dalam pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sejak 2005 hingga 2007, juga ditemukan dana Rp 39,9 triliun yang tidak dibayarkan perusahaan asing kepada pemerintah, lalu diklaim. Temuan lain berupa penerimaan migas yang tidak tercatat dan dibelanjakan tanpa melalui mekanisme APBN. Jumlahnya mencapai Rp 120,3 triliun.
Sejumlah perusahaan bahkan mengalihkan semua beban biayanya untuk ditagihkan ke pemerintah. Mulai biaya sekolah anak, kegiatan wisata, anggota klub olahraga golf dan tenis, kesenian, hingga bantuan korban bencana tsunami, gaji tenaga asing tanpa izin, pajak penghasilan, biaya bunga, hingga biaya jasa konsultan hukum dimasukkan ke cost recovery. Biaya kursus bahasa Indonesia bagi pekerja asing pun dibebankan ke pemerintah. Padahal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mewajibkan setiap ekspatriat yang bekerja di Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Bahkan biaya pameran baju (fashion show) pun diklaim.
Badan Pemeriksa Keuangan mengidentifikasi praktek kecurangan terjadi lantaran aturan terlalu longgar, tidak ada standardisasi. Rupanya, Kementerian Energi tak mengatur detail hal-hal yang boleh dan tidak boleh di-reimburse. Tentu saja Menteri Keuangan—saat itu, Sri Mulyani Indrawati—mencak-mencak. Bayangkan, angka cost recovery terus menanjak, tapi produksi minyak malah melorot. Bu Menteri pun melontarkan ide pembatasan biaya yang ditanggung negara.
Inilah cikal bakal lahirnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 22/2008 tentang Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Peraturan ini berisi tujuh belas daftar negatif cost recovery. Tak cuma itu, Lapangan Banteng—kantor Kementerian Keuangan—juga meminta dibikin payung hukum yang lebih tinggi, yakni peraturan pemerintah.
Sumber Tempo berbisik, Kementerian Keuangan ”memaksa” memasukkan item tambahan ke daftar negatif cost recovery, sehingga menjadi 24 item. Mereka mengacu pada aturan perpajakan. Sebaliknya, Kementerian Energi berpendapat, rancangan aturan baru disusun bukan untuk mengumpulkan pendapatan dari pajak. Kementerian Energi menilai Lapangan Banteng menyamakan industri migas dengan pabrik tahu-tempe. Inilah yang membikin pembahasan alot dan lama.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo tak bersedia memberikan penjelasan kepada Tempo. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan bahwa peraturan pemerintah tersebut memberikan rambu yang jelas terhadap kontrak migas yang baru nanti, tentang apa yang bisa atau tidak bisa dimasukkan ke cost recovery. ”Yang sebelumnya tidak diatur, bahkan di dalam kontrak bagi hasilnya,” kata Priyono di Jakarta pekan lalu.
Indonesian Petroleum Association, dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Boediono beberapa waktu lalu, memang meminta pemerintah segera mengesahkan peraturan pemerintah. Alasannya, supaya ada kepastian hukum. Mereka berharap beleid baru ini segera menggusur aturan soal pembatasan klaim. Juru bicara ExxonMobil Oil Indonesia, Maman Budiman, memberi catatan, ketentuan cost recovery hendaknya berlaku untuk perjanjian baru, bukan kontrak yang sudah berjalan. Alasannya, dapat mempengaruhi keekonomian dari bisnis yang sedang berlangsung.
Sumber Tempo lainnya mengatakan, seandainya ketentuan baru nanti berlaku surut pun, tak ada perjanjian yang ditabrak. Sebab, kontrak kerja sama tidak mengatur hal detail mengenai cost recovery. Toh, Menteri Hatta Rajasa memberikan sinyal, pemerintah menghormati kontrak yang sudah ada. Ihwal pembatasan klaim dan pajak eksplorasi pun telah lenyap. ”Kebijakan ini akan mendorong investasi di sektor migas,” katanya.
Retno Sulistyowati, Evana Dewi
Biaya Operasi Migas yang Tidak Diganti
- Biaya kepentingan pribadi dan keluarga pekerja pemilik perusahaan (kontraktor) tambang.
- Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tambang, kecuali yang disimpan pada rekening bersama BP Migas.
- Harta yang dihibahkan.
- Sanksi administrasi, antara lain berupa bunga dan denda.
- Biaya penyusutan barang dan peralatan bukan milik negara.
- Insentif, iuran pensiun, dan premi asuransi kepentingan pribadi pekerja dan pemilik kontraktor.
- Biaya tenaga kerja asing tidak sesuai prosedur.
- Biaya konsultan hukum di luar operasi perminyakan.
- Biaya konsultan pajak.
- Biaya pemasaran migas bagian kontraktor.
- Biaya representasi, termasuk biaya jamuan.
- Biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi.
- Biaya pelatihan teknis tenaga kerja asing.
- Biaya merger dan akuisisi.
- Biaya bunga atas pinjaman.
- PPh karyawan yang ditanggung kontraktor.
- Pengadaan barang dan jasa di luar kewajaran.
- Surplus material yang berlebihan.
- Nilai buku dan biaya pengoperasian aset.
- Transaksi yang merugikan pemerintah.
- Bonus yang dibayarkan ke pemerintah.
- Biaya sebelum penandatanganan kontrak.
- Insentif interest recovery.
- Biaya audit komersial.
Tahun | Produksi (Juta Barel/Hari) | Cost Recovery (US$ Milliar) |
2002 | 1,252 | 2,5 |
2003 | 1,146 | 3,2 |
2004 | 1,096 | 4,9 |
2005 | 1,060 | 7,4 |
2006 | 1,007 | 7,8 |
2007 | 0,950 | 8,5 |
2008 | 0,937 | 9,03 |
2009 | 0,960 | 9,9 |
2010 | 0,876 (target APBN 0,965) | 12,0(pagu APBN) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo