Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helm SNI

MULAI 1 April 2010 polisi lalu lintas menindak pengendara motor yang tidak memakai helm SNI (Standar Nasional Indonesia). Memang benar bahwa pengendara sepeda motor wajib memakai helm standar yang aman dan nyaman karena mutu dan bentuknya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah helm buatan pabrik sepeda motor, seperti Honda, Yamaha, atau merek lain yang sudah cukup terkenal, belum dinyatakan memenuhi syarat jika belum ada tulisan SNI. Padahal, dari segi mutu dan bentuk, sudah jelas aman dan nyaman. Contohnya, saya punya dua helm Yamaha. Yang lama hanya ada tulisan Yamaha, tanpa SNI. Yang baru bertulisan Yamaha SNI, tetapi bukan huruf timbul. Demikian pula ketika membeli dua sepeda motor Honda, saya mendapat dua helm, tapi tidak ada tulisan SNI-nya.

Mohon kepada pembuat sepeda motor (Yamaha, Honda, Suzuki, dan lainnya) untuk berkoordinasi dengan instansi terkait. Ada baiknya Anda membuat pernyataan bersama bahwa helm yang Anda keluarkan sudah memenuhi syarat SNI, sehingga pengguna sepeda motor tidak kebingungan.

Departemen Perdagangan, polisi lalu lintas, Dinas Lalu Lintas Jalan Raya, dan semua pihak terkait, mohon memikirkan ulang, seberapa pentingnya tulisan SNI pada helm ini. Keselamatan memang wajib, tetapi penghamburan uang hanya untuk sekadar membeli lagi helm yang bertulisan SNI saya kira hanya akan membuat boros. Kita wajib hidup hemat.

SOENOTO PRINGGOHARDJO
Jalan Punggawan 39
Solo 57132

Penjelasan Andi Arief

MAJALAH Tempo, edisi 25-31 Oktober 2010 menurunkan laporan berjudul "Kisah Orang-orang Istana", yang di dalamnya terdapat tulisan sebagai berikut: Sejumlah staf khusus juga mengaku penghasilan sebagai bagian dari Ring Satu Presiden tak sebanding dengan pendapatan mereka sebagai profesional di luar Istana. "Kalau tahu kondisi anggaran kami, Yesus pun bisa menangis," kata Andi Arief tergelak.

Saya menyatakan bahwa kutipan tersebut diungkapkan dalam konteks bercanda dan tidak dimaksudkan untuk diambil sebagai kutipan langsung. Karena itu, saya meminta maaf apabila munculnya kutipan tersebut menimbulkan kesalahpahaman. Terima kasih.

ANDI ARIEF
Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana
Jalan Veteran III No. 2, Jakarta

Soal Kritik untuk Andi Arief

MEMBACA surat Saudara Edi Vinsensius yang ditujukan kepada Saudara Andi Arief, saya sebagai umat Kristiani terperangah. Sudah sedemikian parahkah kondisi masyarakat kita, sehingga tidak dapat lagi menerima ungkapan "ringan", sehingga bereaksi sedemikian keras, sampai menuntut permohonan maaf yang disertai "ancaman"?

NICOLAAS SIMAMORA 
[email protected]

Yesus Menangis: Why Not?

DALAM halaman surat pembaca majalah Tempo edisi 8-14 November 2010, Saudara Edi Vinsensius memprotes Andi Arief karena menggunakan metafora  "Yesus menangis" saat mengungkap kondisi anggaran bencana alam. "Kalau tahu kondisi anggaran kami, Yesus pun bisa menangis," katanya. Menurut  Saudara Edi, pernyataan itu "menyakitkan dan melukai perasaan jutaan penganut Kristiani di Indonesia".

Ada dua alasan mengapa saya keberatan dengan pernyataan Edi Vinsensius itu. Pertama, apakah Saudara Edi telah melakukan survei sahih mengenai "perasaan jutaan penganut Kristiani" yang tersakiti dan terlukai oleh pernyataan Andi Arief? Tanpa didukung data yang sahih dan representatif, Saudara Edi tidak dapat mengklaim perasaan jutaan penganut Kristiani di Indonesia.

Saya berhipotesis, kalau toh ada yang keberatan terhadap pernyataan Andi Arief, itu kecil sekali. Hampir mustahil kalau sampai jutaan. Tanpa dukungan data representatif dan sahih, kita harus belajar untuk tidak mengatasnamakan umat atau golongan dalam menanggapi suatu pernyataan. Kedua, Alkitab menyebutkan Yesus pun bisa menangis. Mengapa tidak? Yesus menangisi kematian Lazarus, saudara Maria, dan Marta, sahabat-Nya.

Saya berpendapat, metafora yang digunakan Andi Arief tidak salah. Setidaknya, tidaklah tepat kalau pernyataannya itu dipermasalahkan oleh umat Kristiani.

Dr HADI SATYAGRAHA
Petamburan, Tanah Abang
Jakarta Pusat

Mencintai Indonesia Melalui Obama

DALAM pidatonya di Balairung Universitas Indonesia, Depok, pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama terdengar masih fasih mengucapkan kata "Pancasila", "Bhinneka Tunggal Ika", dan "dari Sabang sampai Merauke".

Kefasihan itu sangat menyentuh nurani, setidaknya bagi saya pribadi. Bukan lantaran terpesona pada kekuatan ingatannya, tetapi menyangkut "nilai-nilai" yang menjadi alat pemersatu bangsa kita.

Harapan saya, seusai kunjungan Obama ini, banyak dari kita yang mulai belajar menghayati kembali makna Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan dari Sabang sampai Merauke.

RICARD RADJA
Jalan Kejora, Tova, Kupang
Nusa Tenggara Timur
[email protected]

Malu sama Obama

Kuliah umum Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama di Universitas Indonesia sungguh merupakan pelajaran yang berharga bagi rakyat Indonesia, terutama generasi muda. Kuliah itu dihadiri para intelektual dan akademisi. Tapi Obama seakan berpidato di hadapan ribuan penduduk Indonesia dari segala lapisan masyarakat. Pilihan katanya mudah dipahami. Sebagai orator ulung, Obama membawa audiens seolah-olah mempunyai kontak dan hubungan khusus dengan pidatonya.

Dia mampu membakar semangat semua hadirin di aula Universitas Indonesia dan mungkin jutaan orang yang menonton langsung melalui layar televisi dengan landasan-landasan kuat bangsa Indonesia yang selama ini tenggelam. Obama justru seperti the real president of Indonesia dengan menyebut Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kuat, bukan hanya milik bangsa Indonesia tapi juga milik dunia.

Dia juga dengan jelas mengucapkan dasar negara Pancasila. Sungguh seperti pemimpin Indonesia sendiri yang mengingatkan rakyatnya agar tidak begitu saja meninggalkan semboyan dan falsafah bangsa yang begitu luhur. Sebab, faktanya para elite politik di negeri ini sudah jarang menggunakan kata-kata Bhinneka Tunggal Ika maupun Pancasila.

Belum lagi kata-kata bahasa Indonesia yang diucapkannya dengan lancar dan fasih tanpa dibuat-buat, seperti "pulang kampung, anak Menteng, bakso, sate", dan "terima kasih". Ini harus jadi pelajaran bagi artis-artis Indonesia, yang sok keinggris-inggrisan kalau bicara.

MASRUR SYUDI
Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat
[email protected]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus