Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelajaran Kasus Bibit-Chandra

LAGI-LAGI, kepada rakyat, diperlihatkan tontonan ironis penegakan hukum dalam kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Kepada publik, petinggi Kejaksaan Agung menunjukkan sikap terbelah. Kalau itu terjadi dalam rapat tertutup pimpinan, tentu lumrah. Tapi celakanya ini terjadi secara terbuka di media massa.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M. Amari dengan penuh percaya diri mengatakan kepada publik bahwa Kejaksaan telah mengambil sikap mengesampingkan perkara (deponering) Bibit-Chandra. Adapun keterangan Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono justru berlawanan. Dia menegaskan bahwa Kejaksaan belum mengambil sikap apa pun. Darmono pun menyesalkan pernyataan Amari, yang dinilainya terburu-buru berbicara ke publik.

Sikap berlawanan itu menambah masalah kasus ini. Di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang setuju dan ada yang menolak mentah-mentah langkah deponering. Akibatnya, kasus ini semakin ngawur dan sarat politisasi. Bagaimana tidak, lembaga penegak hukum justru membuat ketidakpastian hukum.

Menurut saya, sejak awal kasus ini seharusnya diselesaikan di pengadilan, sehingga segala dugaan atau tuduhan bisa terungkap, seperti kriminalisasi KPK atau rekayasa kasus yang dikuatkan rekaman penyadapan Anggodo Widjojo. Jika bersih, mengapa Bibit-Chandra harus takut buka-bukaan?

Bangsa Indonesia harus belajar dari kasus ini. Jika suatu kasus sejak awal dipolitisasi dan hukum acara dikesampingkan, lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan justru menjadi gamang. Terlebih kepemimpinan Kejaksaan belum definitif, sehingga ada potensi terjadi rivalitas dalam memperebutkan jabatan Jaksa Agung.

ANDI BASSO
Jalan Pahlawan 22, Makassar

Gubernur Dipilih DPRD

WACANA gubernur dipilih dewan perwakilan rakyat daerah kembali marak disampaikan banyak kalangan dengan berbagai argumen. Di samping argumen teoretis, ada argumen fakta bahwa pemilihan langsung dinilai sarat mudarat ketimbang manfaat, terlebih menyangkut biaya yang sangat besar.

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Artinya, kedudukan gubernur sama dengan menteri, yakni pembantu presiden di daerah. Dengan konstruksi itu, yang harus diberi hak mencalonkan gubernur adalah pemerintah pusat, yakni presiden, kemudian dewan perwakilan provinsi setempat memilihnya.

Menurut saya, gubernur jangan dipilih langsung, tapi oleh DPRD dari calon yang diajukan presiden. Dasar pemikirannya adalah konsekuensi dari rumusan legal bahwa gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, pemilihan gubernur oleh DPRD tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi, serta calon gubernur diajukan presiden dari kalangan birokrat TNI, Kepolisian RI, dan pegawai negeri sipil minimal tiga dan maksimal lima orang.

DR H AKMAL BOEDIANTO, SH, MSI
Alumnus PPRA 41 Lembaga Ketahanan Nasional
Tenggilis, Mejoyo, Surabaya

Tanggapan Komisi Pemilihan Umum

DALAM tulisan majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2010, halaman 34-36, berjudul ”Tarik-Ulur Selembar Kertas”, disampaikan soal belum rampungnya Dewan Perwakilan Rakyat membahas revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Dalam tulisan itu disinggung keterlambatan diundangkannya pemilu mengakibatkan terlambatnya pembentukan Komisi Pemilihan Umum, sehingga terlambat pula pembentukan lembaga pengawas pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan Panitia Pengawas Lapangan. Akibat lanjutnya, tahapan pemilu, pemutakhiran data pemilih, serta penyusunan daftar pemilih sementara (DPS) dan daftar pemilih tetap (DPT) sama sekali tanpa pengawasan. Daftar pemilih yang amburadul dituding sebagai biang masalah Pemilu 2009.

Sehubungan dengan tulisan itu, kami perlu menjelaskan sebagai berikut.

Pemutakhiran data pemilih sampai penetapan DPT berlangsung April-Oktober 2008. Anggota Bawaslu dilantik pada 9 April 2008 dan 21 Panwaslu provinsi dibentuk pada 29 Agustus 2008. Khusus Panwaslu Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk pada Juni 2008.

Sebelum penetapan DPT, Komisi sudah melaksanakan kegiatan seperti diperintahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008: pemutakhiran data pemilih paling lama tiga bulan, penyusunan DPS 30 hari, pengumuman DPS tujuh hari, penerimaan tanggapan dan masukan dari masyarakat 14 hari, pengumuman DPS hasil perbaikan awal tiga hari, penyusunan DPS hasil perbaikan dua hari, penyampaian DPS hasil perbaikan akhir termasuk data pemilih oleh pengawas lapangan kepada Komisi 15 hari, rekapitulasi DPT oleh KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU 3 hari sebelum hari pemungutan suara, serta penetapan dan pengumuman DPT pada 23 Oktober 2008.

Pengawasan pada tahap penyusunan DPS dan DPT dilakukan oleh banyak pihak, tidak hanya oleh lembaga pengawas pemilu, tapi juga oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan partai politik peserta pemilu.

Kepada partai politik peserta pemilu tingkat desa/kelurahan, Panitia Pengawas menyerahkan DPS sehingga sejak awal partai politik sudah mengawasi penyusunan DPT.

Kalau semua sistem berjalan dengan baik—data kependudukan dari pemerintah lengkap, Komisi melakukan pemutakhiran dengan benar, masyarakat tidak abai dan proaktif memeriksa namanya di tiap pengumuman DPS serta melaporkan untuk perbaikan, dan terutama sekali partai politik peserta pemilu proaktif saat penyusunan DPS—istilah DPT amburadul tidak perlu terjadi.

Belakangan partai politik meributkan masalah DPT setelah mendekati hari pemungutan suara, jauh setelah DPT ditetapkan.

Demikian untuk menjadi maklum.

DRS SURIPTO BAMBANG SETYADI, MSI
Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum

RALAT

  • Dalam rubrik Obituari Tempo edisi 25-31 Oktober 2010, tertulis: pelepasan jenazah Letnan Jenderal Himawan Soetanto di RSPAD Gatot Soebroto dilakukan oleh KSAD Jenderal George Toisutta. Yang benar: oleh Panglima Kostrad Letnan Jenderal Burhanudin Amin.
  • Dalam Laporan Utama Tempo edisi 25-31 Oktober 2010 berjudul “Kisah Orang-orang Istana”, tertulis: Ahmad Yani Basuki. Yang benar: Brigadir Jenderal Ahmad Yani Basuki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus