Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koreksi Dicky Hastjarjo

SAYA mengucapkan terima kasih atas pemuatan berita pengukuhan Thomas Dicky Hastjarjo sebagai guru besar psikologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada majalah Tempo edisi 10-16 Mei 2010, rubrik Album, halaman 12.

Namun saya perlu meluruskan bahwa pidato pengukuhan guru besar saya telah dilaksanakan pada 5 Mei 2008, jadi bukan ”Senin pekan lalu” seperti pada tulisan itu. Koreksi lain: saat ini saya tidak lagi menjabat Wakil Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Terima kasih.

T. Dicky Hastjarjo
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada

Informasi itu kami dapatkan dari rilis pada situs Universitas Gadjah Mada. Dalam rilis tersebut tidak dituliskan tahun pengukuhan sehingga kami mengira itu terlaksana pada 2010. Mohon maaf atas kekeliruan ini.

Ralat UNS Solo

BERKENAAN dengan iklan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, yang dimuat di majalah Tempo edisi 3-9 Mei 2010, tertulis tanggal pendaftaran SPMB Swadana adalah 22 Juni-9 Juli 2010 dan 28 Juli-4 Agustus 2010. Yang benar adalah tanggal 7 Juni-23 Juli 2010. Mohon dapat dijadikan koreksi bagi pihak yang berkepentingan. Info lengkapnya dapat diketahui di www.uns.ac.id.

Dr Widodo Muktiyo, SE, MComm
Kepala Humas dan Kerja Sama
Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo

Kekecewaan Hasta Mitra

SELAKU penyelenggara peringatan 30 Tahun Hasta Mitra, kami kecewa dengan tulisan ”Memilih Berpisah” pada majalah Tempo edisi 26 April-2 Mei 2010. Dalam peringatan sederhana itu, yang terjadi adalah pertemuan antara para ”tangan sahabat” Hasta Mitra yang berjuang melawan kediktatoran Soeharto, termasuk—kalau bukan terutama—keluarga para pendiri yang selama ini belum banyak didengar kisahnya. Anehnya, Tempo menuliskan artikel pendek tentang ”keributan” di dalam Hasta Mitra yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Timbul kesan bahwa perbincangan dalam peringatan itu mengangkat persoalan tersebut, padahal sama sekali tidak.

Jurnalis Tempo menulis tentang ”friksi” di dalam tubuh Hasta Mitra dan melontarkan tuduhan insinuatif terhadap salah satu pendirinya, Joesoef Isak, tanpa menyebutkan sumber informasi yang jelas. Seakan-akan itu sudah menjadi kebenaran umum. Kami sendiri sudah memeriksa persoalan ini dan berkesimpulan bahwa tuduhan itu tidak berdasar. Patut disayangkan bahwa Tempo memuat suatu tuduhan yang demikian serius tanpa memeriksa kebenarannya dengan pihak-pihak yang lebih memahami persoalan tersebut. Kecerobohan ini mengingkari prinsip covering both sides yang selama ini begitu diagungkan dalam jurnalisme Tempo.

Tuduhan itu memang berpengaruh terhadap hubungan antara Hasta Mitra dan Pramoedya Ananta Toer. Namun itu sama sekali tidak mempengaruhi peran penting Hasta Mitra dalam dunia penerbitan dan gerakan prodemokrasi. Justru sebaliknya, Hasta Mitra tetap berkibar dan memberikan sumbangan besar bagi kehidupan intelektual dan demokrasi di Indonesia. Kami mempertanyakan apa sebenarnya motivasi Tempo merangkum perjalanan sebuah badan perjuangan yang begitu kaya cerita dengan laporan tentang ”keributan” yang tampaknya tidak dipahami dengan baik.

a.n. Panitia Peringatan 30 Tahun Hasta Mitra
Agung Ayu Ratih
Hilmar Farid
Wilso

Disiplin Kalau Dijaga Polisi

SEBAGAI warga Depok, saya sangat terganggu dengan perilaku sopir angkutan kota yang sangat tidak berdisiplin. Pada jam tertentu, di jalan utama, memang lalu lintas bisa lancar, dan angkutan kota sangat tertib dan mau berhenti di bahu jalan—bukan di tengah jalan. Tapi ketertiban itu hanya berlangsung ketika puluhan polisi berbaris di jalan atau di persimpangan yang biasa ramai.

Nah, ketika polisi selesai bertugas, biasanya menjelang siang hari atau selepas pukul sembilan malam, angkutan kota menjadi raja jalanan. Sebagai contoh, di persimpangan Ramanda di dekat terminal Depok, yang menuju Jalan Nusantara, angkutan kota bertumpuk menutupi dua jalur sehingga hanya menyisakan satu jalur untuk kendaraan lain. Itu pun masih ada angkutan kota yang menutupi jalur yang tersisa, yang baru mau menyingkir setelah puluhan kendaraan di belakangnya membunyikan klakson.

Lain lagi di sepanjang jalan penghubung Depok-Citayam. Di jalan yang pas untuk dua mobil berbeda arah ini, sopir angkutan umum seenaknya saja berhenti menaikturunkan penumpang. Yang lebih menyebalkan, mereka juga memanfaatkan badan jalan untuk ngetem, menunggu penumpang yang tak jelas kapan datangnya. Padahal jalan itu cuma muat untuk dua mobil. Kalau ada kendaraan di belakangnya yang mengklakson, si sopir cuek bebek.

Saya juga tidak tahu bagaimana cara menertibkan sopir angkutan kota ini, karena tidak mungkin—dan jumlahnya juga pasti tidak cukup—kepolisian menempatkan semua petugasnya 24 jam di jalan. Mungkin ada baiknya jika polisi melakukan patroli dan menegur atau menindak sopir yang tidak berdisiplin.

Basuki
Margonda, Depok

Transparansi Harta

GAYUS Tambunan, seorang pegawai negeri, bisa mempunyai antara lain rumah mewah di Kelapa Gading dan mobil Toyota Alphard. Padahal dia baru golongan IIIa dan bekerja lima tahun. Belajar dari kasus ini, menurut saya, harus ada peraturan yang mengatur kepemilikan barang mewah, khususnya rumah/properti dan kendaraan. Data kepemilikan itu harus transparan dan publik bisa mengetahuinya. Bentuk sederhananya, misalnya, pada mobil atau rumah wajib tertera informasi yang mudah dibaca, dan tercantum nama pemilik, nomor pokok wajib pajak, dan harga nilai jual obyek pajak.

Selama ini, data kekayaan seseorang hanya dimonopoli otoritas tertentu. Ini justru memberikan peluang terjadinya kejahatan korupsi. Alasan mengurangi privasi atau kerahasiaan kepemilikan, yang selama ini efektif sebagai ”persembunyian” hasil korupsi, harus kita tanggalkan. Jadi, kalau seorang pegawai negeri sipil, seperti Gayus, bisa mempunyai mobil dan rumah yang jauh melampaui penghasilannya, siapa pun bisa dan berhak melaporkan adanya kejanggalan itu. Polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menindaklanjuti laporan itu secara terbuka.

Prinsip transparansi ini perlu dikembangkan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Hanya dengan transparansi, penghapusan monopoli data, serta langkah-langkah progresif, seperti pembuktian terbalik, korupsi sebagai kejahatan luar biasa dapat kita kikis habis.

Wisdarmanto G.S.
Jagakarsa, Jakarta Selatan

Menara BTS XL Mengganggu

DI belakang tanah saya, di Jalan Kebagusan Raya RT 004/01, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, terdapat menara BTS XL. Pembangunan menara itu tidak meminta izin, baik lisan maupun tertulis, kepada saya selaku pemilik tanah yang hanya berjarak dua-tiga meter.

Setahu saya, hal itu melanggar Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Pada bab V pasal 11 ayat 2 peraturan bersama itu telah diatur tata cara perizinan pembangunan menara, yang berbunyi: ”Perizinan dari warga sekitar dalam radius sesuai dengan jatuhan menara.”

Pada 28 Oktober 2009, saya untuk pertama kalinya menghubungi PT Excelcomindo Pratama—yang berubah nama menjadi PT Excelcomindo Axiata. Setelah melalui berbagai proses pelaporan dan diskusi, pihak perusahaan mengirimkan perwakilannya mendatangi kediaman saya di Depok. Namun, karena tidak ada kejelasan penyelesaian, saya mengirimkan surat kepada Direktur Utama PT Excelcomindo Axiata, dengan tembusan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika serta Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, tertanggal 15 Maret 2010. Saya masih memegang tanda terima ketiga surat tersebut. Namun, hingga kini, belum ada tanggapan dari ketiga institusi tersebut. Saya mohon pihak yang berwenang dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Terima kasih.

Swasti Atika
Griya Depok Asri, Kota Depok

Kehilangan Sri Mulyani

RASANYA akan sulit sekali menemukan kembali wajah perempuan manis, tegas, cerdas, dan pemberani menghiasi media televisi dan cetak setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberhentikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Saya tidak kenal secara pribadi Sri Mulyani. Tapi, menurut saya, dia satu-satunya menteri wanita yang fenomenal. Itu tidak hanya karena prestasinya di bidang ekonomi, tapi juga lantaran keberaniannya menghadapi tekanan politik elite partai.

Sri Mulyani adalah figur patron baru generasi perempuan muda Indonesia yang punya visi ekonomi nasional yang mantap. Dia tidak klemar-klemer, tapi bergerak cepat membenahi institusinya ketika kasus korupsi Gayus Tambunan meledak dan melibatkan pejabat pajak. Dia juga satu-satunya pejabat negara yang tegas mereformasi birokrasi, pajak, dan kepabeanan. Komitmennya terhadap pemberantasan korupsi sangat kuat.

Pada satu sisi, mundurnya Sri Mulyani bisa dilihat sebagai puncak pesta-pora kemenangan para elite partai politik di Indonesia. Tapi, di sisi lain, mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan merupakan pukulan berat bagi keterwakilan prestasi kaum perempuan Indonesia. Ini pun jelas bukan kemenangan rakyat Indonesia.

Magdalena
Kebayoran Baru, Jakarta

Investigasi Kasus Pajak Paulus

SAYA tertarik sekali membaca kasus pajak Paulus Tumewu di majalah Tempo edisi 10-16 Mei 2010. Tapi tulisan itu belum terlalu dalam. Tempo harus menelisiknya lebih jauh supaya pembaca bisa tahu fakta sebenarnya, termasuk siapa saja pejabat yang terlibat dalam ”permainan” pajak Paulus itu. Dan apakah benar, sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, seseorang yang sudah membayar pajak sesuai dengan ketentuan, ditambah denda, dibenarkan terbebas dari proses pengadilan, kendati berkasnya sudah lengkap ditangani kepolisian?

Begitu pula dengan kasus Raymond Teddy Horhoruw. Siapa dia sebenarnya? Kenapa, sepertinya, kepolisian dan kejaksaan enggan memproses kasusnya ke pengadilan? Sudah dua tahun kasusnya terkatung-katung, tapi dengan seenak jidat dia menggugat berbagai media. Saya menunggu Tempo menginvestigasi kasus ini juga.

Eko Sulistyadi
Kebumen, Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus