Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan PT Carrefour Indonesia

KAMI selaku kuasa hukum PT Carrefour Indonesia perlu menyampaikan hak jawab klien kami terhadap editorial majalah Tempo edisi 9-15 November 2009 yang berjudul ”Cegah Monopoli Sejak Awal” di halaman 25. Opini tersebut secara keseluruhan cukup netral.

Namun terdapat kesalahan faktual yang signifikan. Pada paragraf ketiga tertulis, ”Setelah akuisisi, 48 persen pa­sar retail dikuasai Carrefour, pemasok yang dikuasai menjadi 67 persen.” Menurut kami, data ini tidak benar dan meng­akibatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha salah.

Berdasarkan bukti kajian AC Nielsen, Carre­four dalam sektor retail modern ha­nya mempunyai pangsa pasar 17 persen.­ Berdasarkan kajian Mars Indonesia, Carrefour hanya memiliki pangsa pasar 5,8 persen. Selain itu, data pada halaman 7-8 putusan Komisi sendiri yang berasal dari Euromonitor menyebutkan pangsa pasar Carrefour pada 2007 hanya 19,63 persen.

Dengan demikian, dapat disimpulkan­ bah­wa berdasarkan kajian dari tiga lemba­ga­ tersebut, Carrefour tidak mempunyai­ posisi monopoli atau posisi dominan da­lam­ sektor retail modern karena pangsa pa­sar Carrefour masih jauh di bawah 50 persen.

Ignatius Andy, SH
Kuasa hukum PT Carrefour Indonesia
Terima kasih atas masukannya. ­Angka dalam opini tersebut didasarkan pada putusan Komisi Pengawas.


Solusi Kemacetan

KESAN dan pesan Wali Kota Bogota periode 1998-2001, Enrique Penalosa, di majalah Tempo edisi 16-22 November 2009 untuk mengatasi kemacetan Jakarta sungguh menarik. Saya lantas ­ingat, pada 2002 saya mengusulkan solusi kemacetan dengan menulis surat kepada Gubernur DKI Jakarta. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan Kepala Kantor Wilayah Perhubung­an. Umumnya surat rakyat, agaknya dibaca pun tidak.

Secara ringkas saya mengusulkan me­larang mobil berpelat hitam keluar seca­ra bersamaan. Caranya, mobil bisa m­e­­laju dengan bergilir berdasarkan ang­­ka ter­akhir pada nomor polisi. Misal­nya, mobil dengan nomor akhir 0 dan 1 ­dilarang keluar setiap Senin, 2 dan 3 pa­da Selasa, 4 dan 5 pada Rabu, dan seterus­nya.

Menurut saya, cara itu mempunyai ba­nyak sisi positif. Pertama, secara teoretis, mobil pelat hitam akan berkurang 20 persen setiap hari sehingga mengurangi kemacetan. Kedua, adil karena tidak­ dikaitkan dengan usia kendaraan. Ketiga, murah karena tidak memerlukan marka dan rambu-rambu. Yang diperlukan hanyalah ketajaman mata polisi. Kini aturan ini bisa diperluas untuk sepeda motor yang semakin merajai jalan.

H.A. Pawan
Jalan Carita, Puri Cinere
Pangkalan Jati, Depok


Salut Cover Tempo

SALUT kepada tim kreatif majalah­ Tempo yang membuat karya cemerlang karikatur Komisaris Jenderal Susno Duadji. Pose dia di sampul depan edisi 16-22 November sangat tepat menggambarkan karakter yang ingin disampaikan. Wawancara Tempo dengan Susno juga sangat jelas menyampaikan hal itu. Maka pembaca pun menjadi mafhum, walau ada juga yang telah tumpul nuraninya.

R. Susatyo
Jalan Cilodong Bawah Nomor 7
Senayan, Jakarta Pusat


Selamat Koran Tempo Makassar

Terbitnya Koran Tempo edisi Makassar membuat saya lega karena sudah lama saya menanti kehadirannya setelah edisi nasional yang tak beredar lagi di kota ini. Sebagai pembaca setia Tempo saya langsung berlangganan karena Tempo memang enak dibaca dan perlu. Semoga Tempo terus eksis.

Egal Kubais
Perintis Kemerdekaan, Makassar


Istilah Markus

SAYA sependapat dengan Saudara Syaiful Pandu dalam surat pembaca majalah Tempo edisi 16-22 November 2009. Saya yakin orang yang membuat istilah markus tidak bermaksud apa-apa, sekadar mendapat istilah yang mudah di­ingat. Hanya mengapa harus markus? Dulu ada penembak misterius yang kemudian dikenal dengan istilah petrus. Kebetulan nama-nama itu adalah nama-nama rasul Yesus Kristus. Sebaiknya gunakan singkatan atau istilah yang tidak mempunyai potensi SARA.

Jack A. Pellondo’u P. Jalan Menteng 14-B,

Jakarta Pusat


Jangan Hanya Retorika

POLEMIK Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI memberi dua momentum. Pertama, agar kita segera mereposisi peran kepolisian serta meng­evaluasi kinerjanya yang selama ini banyak diragukan masyarakat. Kedua, untuk menggugah semangat meme­rangi mafia hukum yang sudah merambah ke seluruh sendi lembaga hukum kita. Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Ganyang Mafia sebagai prioritas utama. Menurut Yudhoyono, mafia ­hukum ­ada­lah yang merugikan pihak lain, seperti makelar­ kasus, suap-menyuap, pe­merasan, jual­-beli perkara, mengancam saksi, dan pungutan yang tak semestinya.

Po­lemik Komisi dengan kepolisian dan kejaksaan menyingkap puncak gunung es mafia hukum di negeri ini. Apa yang telah diupayakan Presiden tentu ­harus diberi penghargaan. Tapi jangan sampai rencana tersebut berhenti pada tataran program. Karena itu, momentum polemik ini harus dimanfaatkan untuk menghasilkan gaung yang besar dalam memberangus mafia hukum.

Teuku Fachri Awanglong 50
Samarinda, Kalimantan Timur


Keyakinan Hukum

CUKUP menarik mengkaji pendapat Jaksa Agung ketika rapat dengar pen­dapat di Dewan Perwakilan Rakyat terkait kasus pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra Hamzah dan Bibit Rianto. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, jaksa penuntut umum sebagai institusi penuntutan tidak mengenal ”keyakin­an” karena bukan yuris (hakim). Jaksa hanya berwenang menganalisis berkas penyidik.

Acuannya, apakah perkara yang diajukan penyidik sudah memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Pegangannya adalah pasal yang disangkakan dan didukung alat bukti. Apabila perkara dinyatakan lengkap, dilanjutkan dengan dakwaan. ”Keyakinan” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah pembuktian secara negatif.

Ucapan jaksa penuntut bahwa proses kasus Chandra-Bibit sudah lengkap dengan salah satu pertimbangan karena yakin perkara tersebut memenuhi unsur bisa dianggap inkonstitusional atau bentuk kepanikan. Sebab, pegangan jaksa bukan ”keyakinan” tapi alat bukti serta unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan.

Kalau perkara Chandra-Bibit telah me­menuhi alat bukti, Jaksa Agung tidak­ perlu menyatakan di depan Dewan dan publik bahwa jaksa telah ”yakin” sebagai penekanan pembenaran. Maka ucapan keyakinan oleh Jaksa Agung ini menjadi fenomena baru.

Dan kenyatannya, setelah dengar pendapat tadi, perkara Chandra-Bibit dikembalikan ke polisi. Artinya, sebelum­ pertemuan itu memang belum terpenuhi unsur tindak pidananya.

C. Suhadi
Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus