Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal Tokoh Tempo
SUATU kehormatan bagi saya, Pemerintah Kota Yogyakarta, dan masyarakat Kota Yogyakarta atas apresiasi majalah Tempo terhadap kinerja saya sebagai wali kota atau kepala pelayan masyarakat Kota Yogyakarta sehingga saya dinilai sebagai ”tokoh”.
Ketokohan saya versi majalah Tempo tersebut pada hakikatnya mewakili ribuan tokoh masyarakat Kota Yogyakarta yang telah memberikan dedikasinya dan karya nyata di berbagai bidang untuk kemajuan Kota Yogyakarta selama ini.
Mudah-mudahan anugerah penilaian sebagai ”tokoh” atas diri saya tersebut dapat menjadi inspirasi bagi seluruh komponen masyarakat Kota Yogyakarta. Sebab, Yogya masih membutuhkan ribuan lagi tokoh yang dapat memberikan kepemimpinan dan kepeloporan dengan melakukan sesuatu yang memotivasi, menginspirasi, dan menyatukan cita-cita dan sumber daya dari seluruh komponen masyarakat. Dengan demikian, tumbuh rasa berdaya dan semangat untuk berubah ke arah kemajuan dari semua aspek kehidupan.
Semoga Kota Yogyakarta terus memberikan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara Indonesia untuk menggapai cita-cita sebagai bangsa yang maju, sejahtera, berdaulat, dan bermartabat. Salam Yogya, salam Indonesia…. Jaya!
HERRY ZUDIANTO
Yogyakarta
Pensiun Hakim Agung
SAYA menduga jawabannya kurang-lebih: untuk mengamankan korupsi massal Rp 100 miliar. Perpanjangan masa pensiun memungkinkan para pelaku membentuk jaringan, perlu menjadikan lebih banyak ”orang kita”, agar korupsi mereka tak terendus. Kita tahu hanya dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diadili kini dalam kasus suap dari Bank Indonesia.
Uang Rp 100 miliar diduga mengalir ke jaksa dan hakim, begitu pengakuan yang memberi. Maka jaringan itu perlu dibentuk agar korupsi ini tak terlacak hingga tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Jurus yang sungguh jitu. Anggotanya kini kepepet untuk mengelak dari pengakuan dua anggota Dewan di pengadilan itu. Strategi ini disiapkan agar jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang mendapat bagian dari uang itu bisa selamat.
AHMAD KARYOLEGOWO
Jakarta
Sungguh Terlalu
Masyarakat Indonesia kini berada pada kubangan kemiskinan fisiologis dan psikologis. Secara fisik, banyak orang kecil yang sudah habis-habisan, sudah tidak mempunyai aset yang cukup berharga untuk dijual demi memenuhi kebutuhan pokok setiap hari. Secara psikologis, mereka tertekan dengan berbagai harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi.
Di pihak lain, kita melihat para pejabat dan orang kaya bermewah-mewah, mendirikan bangunan rumah megah di samping gubuk reot si miskin, berparade dengan Harley-Davidson dan mobil mewah dengan pengawalan istimewa di samping si jelata yang menadahkan tangan, berpesta makanan terlezat di tengah rakyat yang makan nasi aking.
Lebih dari itu, si kecil selalu merasakan perilaku para pemimpin bangsa yang makin memprihatinkan, korup, dan makin tidak peduli kepada beban penderitaan rakyatnya. Mereka yang besar makin berkuasa, makin menguasai berbagai kekayaan yang berlimpah-limpah terkandung di bumi pertiwi. Yang berkuasa terus menaikkan gaji para anggota legislatif, yudikatif, dan eksekutif, dengan harapan mereka mau menghentikan budaya uang kutip, tapi mereka tetap saja rajin meminta uang kutip sana-sini. Sungguh ironis. Sungguh kasihan. Sungguh terlalu, kubangan kemiskinan rakyat negeriku makin menganga.
ROSI SUGIARTO
Mijen, Semarang
Soal Diskon Buku Gramedia
TOKO Buku Gramedia di Grand Indonesia memajang diskon 30 persen untuk semua barang kecuali elektronik. Maka diserbulah toko itu. Semua tak ingin ketinggalan menikmati diskon gede-gedean itu, termasuk saya. Saya pun mencari buku impor yang memang selalu saya buru. Di situlah saya merasa ada kejanggalan. Meski didiskon, harganya kok masih mahal, ya?
Lalu saya timang-timang buku From the Files of Madison Finn #17: On the Case. Di plastik pembungkusnya tertempel dua label harga: baru dan lama. Kebetulan plastik itu sudah terbuka sehingga saya bisa melihat label harga lama secara samar-samar. Saya lihat di label lama tercantum Rp 53.100 dan baru Rp 74.900. Dengan kalkulator di telepon seluler, saya mendapat angka bahwa selisih harga itu 29,1 persen.
Karena penasaran, saya memindai semua buku. Mengejutkan. Semua buku di lantai tiga punya dua label harga yang dipasang bertumpuk. Semuanya berselisih rata-rata 30 persen. Artinya, ini bukan diskon. Sebab, harga dinaikkan 30 persen, lalu didiskon 30 persen lagi.
Beberapa contoh: Oxford Advanced Learner’s Dictionary (soft cover), harga baru Rp 315.000 dan harga lama Rp 219.300 (selisih 30,4 persen); Lonely Planet: Thailand, harga baru Rp 389.900 dan lama Rp 276.800 (selisih 29 persen); Lonely Planet: Indonesia, harga baru Rp 449.900 dan harga lama Rp 332.000 (selisih 26,2 persen).
Saya pun urung memborong buku di Gramedia.
HERU SUSANTO
Sawah Besar, Jakarta Pusat
PHK Massal di Depan Mata
Prinsip terbaik dalam interaksi sosial adalah lebih baik memberikan kail daripada memberikan ikan. Itulah yang mesti dilakukan sekarang ini. Apalagi, pada awal 2009, banyak perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Sudah terbayang berapa banyak lagi penganggur pada 2009 nanti. Indeks pengangguran akan naik, terlebih tidak ada tindakan konkret dari pemerintah.
Memang benar, pada kondisi yang sangat terjepit, orang membutuhkan sekali uang. Tapi alangkah dangkalnya jika pemerintah tidak mencari solusi ketika sudah mengetahui dampak krisis keuangan global adalah pemecatan pegawai. Sampai sekarang, saya belum membaca dan mendengar apa langkah konkret pemerintah sebelum pemecatan massal itu benar-benar terjadi.
TRI WIDIANA ERNAWATI
Cilandak, Jakarta Selatan
Menggarap Pulau Terluar
Indonesia memiliki banyak pulau yang menjadi titik-titik terluar yang dipakai sebagai garis pangkal kepulauan dan batas wilayah Indonesia. Pengakuan sebuah pulau seharusnya jangan hanya simbolisasi dengan penamaan dan pengukuran batas wilayah. Yang harus diprioritaskan adalah pemberdayaan dan pemeliharaan potensi pulau tersebut yang akan semakin menguatkan keberadaan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengklaim pulau terluar sebagai bagian dari teritori Indonesia tidak hanya dengan memasang lampu suar di pulau tersebut, atau sekadar penamaan, tapi dipelihara dan digali potensi lokalitasnya. Juga harus ada aktivitas nyata orang Indonesia di pulau tersebut.
HERU WICAKSONO
Lenteng Agung, Jakarta Selatan
—Redaksi menerima surat senada dari R. Wisanggeni di Surakarta, Jawa Tengah.
Wakil Rakyat Suka Bolos
Ironis sekali, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sering tak hadir adalah mereka yang menjabat ketua dan elite partai. Bahkan ada fraksi yang menolak jika anggota yang suka bolos itu diumumkan ke publik. Dalam tata tertib Dewan, ada sanksi bagi anggota yang mangkir sidang. Tapi sanksi ini pun tak pernah terdengar dilaksanakan.
Sebagai anggota Dewan yang katanya dipilih secara demokratis dan mewakili puluhan bahkan ratusan ribu warga Indonesia, seharusnya mereka menjadi wakil-wakil pilihan yang berjuang untuk menyampaikan aspirasi rakyat, menjalankan tugas-tugas legislatifnya, dan mengawal jalannya pemerintahan. Bukannya memanfaatkan suara rakyat untuk kesenangan belaka tanpa rasa tanggung jawab untuk negara. Maka, wahai rakyat, jangan lagi memilih anggota Dewan yang suka mangkir sidang dan tak bekerja.
HJ SITI UMIYATI
Bogor, Jawa Barat
Harapan 2009
SYUKUR alhamdulillah, Natal kali ini tak diramaikan oleh ledakan bom atau kerusuhan. Kita sudah capek mendengar negeri ini dikoyak terus oleh permusuhan yang tak jelas juntrungannya. Mudah-mudahan ini pertanda dan awal yang baik menutup 2008 dan menyongsong 2009, tahun politik penuh bibit konflik. Mudah-mudahan kita bisa menyongsong 2009 dengan elegan sebagai bangsa yang beradab, berbudaya, dan modern, seperti selalu kita dengar dalam lagu-lagu imajinasi Hindia Molek.
Semoga Indonesia, seperti diramalkan para ekonom, makin cepat menyongsong kejayaan, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Selamat tinggal 2008, selamat datang 2009.
SURYATMAN
Kuningan, Jawa Barat
Sebaiknya Kiai Tak Berpolitik
HARI-hari ini kita semakin sulit me-nemukan tokoh spiritual yang bisa dijadikan panutan, yakni ulama dan kiai yang benar-benar mengutamakan rohani demi kemaslahatan umat. Sebab, kini banyak kiai yang justru ikut berpolitik untuk mencari, mempertahankan, bahkan sampai merebut kekuasaan. Kiai dan ulama sibuk berpolitik sehingga terpecah-pecah.
Memang berpolitik itu hak tiap warga negara dalam sistem demokrasi. Baik saja jika tujuannya berdemokrasi, tapi jika pondok pesantren dan kiai terpecah-pecah, hilanglah tokoh yang bisa dijadikan panutan. Sebaiknya ulama dan kiai tak usah berpolitik. Mengurus umat saja agar bermaslahat bagi negara ini.
MASRUR SYUDI
Kemayoran, Jakarta Pusat
Berantas Kejahatan Perikanan
Saya berharap pemerintah memperbaiki regulasi perikanan dan pengawasan kapal asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, terutama masalah perizinannya, agar aksi kejahatan perikanan dapat diminimalisasi. Pemerintah juga harus memberdayakan nelayan agar mampu mandiri, baik dari segi modal maupun peralatan, termasuk memberikan pelatihan bagi nelayan.
Mari kita manfaatkan sumber daya laut sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat Indonesia dan tidak merusak lingkungan alamnya.
AUFA JATMIKO
Bogor, Jawa Barat
Bandung Kota Terburuk
DUA edisi terakhir Tempo memuat laporan khusus yang bagus yaitu kisah kepala daerah yang sukses yang ditampilkan dengan foto dan desain yang menarik. Tidak cuma itu, isi laporan sangat inspiratif, ternyata masih ada pemimpin yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
Saya paling terkesan dengan cerita Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim. Bagaimana ia berjuang menyelamatkan hutan bakau dari kehancuran. Bahkan sampai membeli lahan untuk ditanami. Komitmennya pada lingkungan sangat mengagumkan.
Kabar baik dari Tarakan sungguh kontras dengan kondisi tempat saya tinggal, Kota Bandung. Di Kota Kembang ini, jangankan menambah ruang hijau, hutan kota yang tersisa, Babakan Siliwangi, malah dilepas Wali Kota Dada Rosada ke pengembang untuk dibangun pusat bisnis. Kawasan lindung Punclut porak-poranda dijadikan permukiman mewah. Sarana olahraga rakyat, lapangan Gasibu, disulap menjadi pasar kaki lima. Lalu, begitu mudahnya kawasan permukiman beralih fungsi menjadi factory outlet. Dan banyak lagi keruwetan lain, sepert sampah, becak, kaki lima, angkutan umum, dan papan reklame yang acak-acakan. Saya merasa, ketika kota-kota lain bertambah maju, justru Bandung kian semrawut.
Jika Tempo pada 2009 ini mau menerbitkan edisi daerah dengan pengelolaan terburuk, saya mengajukan Kota Bandung sebagai peringkat pertama.
Ateng
Turangga, Bandung
Ralat
Ada kesalahan yang mengganggu dalam rubrik Fotografi Tempo edisi 29 Desember 2008-4 Januari 2009. Di halaman 92 tertulis Bupati Blitar Djarot Saiful Hidayat. Seharusnya Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidayat.
Pada edisi yang sama, halaman 127, dalam tulisan tentang Iskandar Alisjahbana, juga terdapat kekeliruan. Seharusnya tulisan ini berada di bawah banner Obituari, bukan Wawancara. Kami mohon maaf atas kekhilafan ini.
–Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo