Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentang Korban Operasi Dwikora
Sehubungan dengan berita di Majalah Tempo Edisi 13-19 November 2006 yang berjudul Terganyang di Malaysia, kami ingin memberikan pelurusan atas berita tersebut. Pada halaman 40, tertulis keterangan tentang Korps Komando (KKO) Angkatan Laut dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, yang berbunyi: ”penyebabnya, kedua kesatuan itu dituduh terlibat pemberontakan PKI”.
Sekalipun kami tidak berkompeten me-wakili kesatuan, kami meyakini bahwa mereka tidak terlibat pemberontakan PKI. Bahkan kedua kesatuan tersebut aktif menumpas G30S/PKI, setelah purnatugas dalam Operasi Dwikora.
Pada kesempatan ini juga, kami pengurus dan anggota Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora menyampaikan terima kasih. Tempo telah memaparkan nasib lebih dari 168 prajurit TNI dan Polri serta sukarelawan yang gugur pada Operasi Dwikora, 42 tahun lalu, di mana kerangka jenazahnya berserakan di Malaysia dan Singapura, baik di darat maupun laut, tidak terurus dan belum diurus oleh pemerintah.
Kami berharap, dengan berita Tempo tersebut, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkenan mengupayakan pemindahan kerangka pahlawan Dwikora ke taman makam pahlawan di Indonesia. Sebab, mereka melaksanakan tugas bukan atas kemauan sendiri, melainkan atas perintah negara. Sepantasnyalah mereka mendapat perhatian dan penghargaan dari pemerintah.
Siswanto Ketua Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora
— Terima kasih atas koreksi Anda. Tempo tidak bermaksud menuduh, tapi hanya menggambarkan perbedaan perlakuan setelah pemberontakan PKI, berdasar keterangan sejumlah mantan anggota kesatuan tersebut—Red.
Terganggu Kesalahan Penulisan
Pada Tempo edisi 6-12 November 2006, saya menemukan typo error yang mengganggu kenyamanan saat menelusuri liputan berita majalah ini yang selalu bernas. Pada halaman 18 di rubrik kartun terdapat teks ”Nasib Hakin (& Hukum....)” Tentunya yang dimaksud adalah Hakim. Hal serupa juga terjadi pada edisi sebelumnya yang salah menuliskan nama Gus Dur secara benar. Sebagai pembaca setia, mohon kesalahan serupa dapat dihindarkan pada penerbitan Tempo edisi yang akan datang.
M. SYUKRI Jalan Sudirman Kav. 1 Jakarta Pusat
Terima kasih atas kritik dan masukannya—Red.
Ralat Nama Rektor Universitas Brawijaya
Pada rubrik Pendidikan Tempo edisi 16-22 Oktober 2006 halaman 82 tertulis, ”Rektor Unibraw, Harijanto, mengatakan.…” Pernyataan itu membingungkan. Kalau yang dimaksud adalah Rektor Unibraw, maka yang benar adalah Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito. Namun, kalau yang dimaksud adalah dr. Harijanto MSPH, maka jabatannya yang benar adalah Dekan Fakultas Kedokteran Unibraw. Saya berharap Tempo lebih teliti lagi agar enak dibaca dan perlu.
FARID ATMADIWIRY Humas Universitas Brawijaya Jalan Veteran Malang 65144
Yang kami maksud, ”Dekan Fakultas Kedokteran Unibraw, Harijanto, mengatakan.…” Tanggapan ini sekaligus sebagai ralat.
Mohon maaf dan terima kasih—Redaksi.
Hentikan Kontroversi UKP3R
Sepanjang yang saya ikuti, Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang dibentuk dengan Keppres No. 17 Tahun 2006 bertujuan membantu memperbaiki iklim usaha/investasi dan sistem pendukungnya. Juga, untuk meningkatkan kinerja BUMN, memperluas peranan usaha kecil dan menengah, memperbaiki penegakan hukum dan pelaksanaan reformasi administrasi pemerintahan.
Pertanyaannya, kenapa kehadiran unit kerja itu mesti diributkan, padahal tujuan dasar pembentukannya sangat mulia? Argumentasi yang dibangun oleh kelompok elite tertentu bahwa UKP3R bakal tumpang-tindih dengan lembaga-lembaga kepresidenan lain yang sudah ada, menurut saya, hanya mengada-ada. Lha, kerja saja belum, kok, sudah pada khawatir bakal overlapping?
Pro dan kontra terkait keberadaan UKP3R sudah keluar dari substansi permasalahan. Suasananya pun menjadi tidak sehat, sebab penilaian tak terbatas pada isu manajemen pemerintahan, namun sudah bergeser ke persaingan di antara elite politik. Yang paling seru adalah adanya seruan dari unsur-unsur dalam tubuh Golkar yang ingin menarik dukungannya terhadap pemerintahan SBY. Hal itu tentu akan mempengaruhi situasi nasional secara keseluruhan.
Inilah suasana demokrasi yang disukai para elite politik kita saat ini. Ketika sebuah kebijakan publik dinilai telah ”mengusik” eksistensi kekuatan politik mereka, kebijakan itu lantas ditolak mentah-mentah dengan seribu satu argumen, kendatipun kebijakan itu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki nasib bangsa. Mereka ingin masalah negara diselesaikan dengan menang-menangan. Itu terjadi lantaran yang menjadi ukuran bukan lagi kepentingan nasional, melainkan kepentingan kekuatan politik kelompok (baca: partai politik).
Kenyataan ini membuat saya menjadi pesimistis terhadap prospek politik Indonesia ke depan. Karena itu, hentikanlah kontroversi tentang UKP3R. Jangan jadikan unit itu sebagai ”alat” untuk mempertontonkan kekuatan politik masing-masing. Seharusnya kita memiliki kepedulian yang sama untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Tentu saja, harapan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada ketenangan politik di negeri ini. Jika kontroversi UKP3R tidak segera dihentikan, maka keinginan banyak pihak untuk mempercepat program-program reformasi serta upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini bakal terganggu.
GERRY SETIAWAN Condet, Jakarta Timur
Hujan dan Dana Rekonstruksi
Rabu siang, 8 November 2006, hujan sudah tidak malu-malu lagi membasahi bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Sebelumnya, banyak orang di wilayah tersebut berikhtiar agar air dari langit segera turun. Mereka melakukan salat istisqo’—salat minta hujan—di beberapa tempat. Di daerah Sleman, para petani memohon hujan kepada Yang Maha Esa supaya hasil pertaniannya tetap subur dan bisa dipanen.
Guyuran air hujan memang sangat dirindukan mengingat banyak sumber air telah mengering. Di Gunung Kidul, wilayah di tenggara Yogyakarta, sekadar contoh, untuk memperoleh seember air, penduduk harus berjalan ratusan meter. Begitulah sulitnya air di musim kemarau ini.
Lain halnya di Bantul. Curahan air hujan yang akan terus turun mulai bulan ini semoga sedang-sedang saja. Jangan terlalu deras, apalagi disertai angin kencang. Kasihan warga yang masih tinggal di bawah tenda karena belum sempat membangun rumah yang layak. Maklum, kucuran dana rekonstruksi yang dinantikan selama ini tak kunjung turun. Mimpi membangun rumah jadi tertunda, embuh sampai kapan.
Seorang tua yang bijak mengingatkan: ”Gusti Allah mboten sare! Tuhan tidak tidur.” Apa yang kita minta, Tuhan pasti mengabulkannya, termasuk hujan di musim kemarau, dan turunnya bantuan dana rekonstruksi.
SUPRIBADI Krapyak Kulon 204 Yogyakarta 55188
Belajar pada Timor Leste
Saya terkejut membaca hasil survei Transparency International di Berlin, Jerman, tentang indikator korupsi di setiap negara yang dipublikasikan sebuah media cetak Ibu Kota, 7 November 2006. Diberitakan bahwa kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Timor Leste. Dengan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2,4 Indonesia berada di urutan ke-130 dari 163 negara yang disurvei. Sementara itu, Timor Leste memiliki CPI 2,6 dan berada di urutan ke-111. Semakin kecil CPI menunjukkan parahnya tingkat korupsi. Itu artinya kinerja pemberantasan korupsi di Timor Leste lebih baik dari Indonesia. Apakah kita harus belajar dari mereka?
Sebagai warga yang tinggal di dekat perbatasan dengan negara baru Timor Leste, saya cukup paham bagaimana sulitnya saudara-saudara kita di Timor Leste saat ini menata ekonominya. Masih ada ribuan warga mereka yang mengungsi di wilayah Timor Barat. Sembako pun masih didatangkan dari Indonesia, bahkan dengan cara-cara ilegal. Situasi keamanannya belum juga pulih. Masih ada kerusuhan yang terjadi secara sporadis.
Yang menarik, di tengah kesulitan se-perti itu, Timor Leste tampaknya sejak dini sudah menyatakan perang terhadap korupsi. Korupsi adalah perbuatan terkutuk. Mereka sadar, ketika masih menjadi bagian dari Indonesia, mereka menyaksikan banyak bagian dari bangsa ini yang bangga dengan harta hasil korupsi. Mereka juga sadar bahwa masalah korupsi ada korelasinya dengan tingkat kemiskinan. Sebab itu, memberantas kemiskinan harus seiring sejalan dengan memberantas korupsi. Hasilnya, baru lima tahun negara itu berdiri, CPI Timor Leste sudah lebih bagus dari Indonesia.
Mudah-mudahan hasil survei di atas dapat memotivasi aparat kita untuk lebih giat memberantas korupsi. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat, tidak saja dari aparat pemerintahan, tetapi juga seluruh masyarakat.
RICARD RAJA Kupang, Nusa Tenggara Timur [email protected]
Pro-Kontra Kunjungan George W. Bush
Dalam konteks kenegaraan, kunjungan seorang kepala negara adalah sesuatu yang lazim. Jika tidak ada aral melintang, Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dipastikan berkunjung ke Indonesia pada 20 November 2006. Rencana kunjungan itu ternyata diwarnai beragam respons, baik dari pihak yang pro maupun yang kontra.
Pihak yang pro berharap kedatangan Bush disambut baik demi kepentingan yang lebih luas, misalnya peningkatan kerja sama perdagangan antara Indonesia dan AS. Sedangkan menurut pihak yang kontra, Bush layak ditolak karena banyak kebijaksanaan politik internasionalnya yang dipaksakan, seperti masalah Irak, Afghanistan, Iran, dan Korea Utara. Terlebih lagi kebijakan standar ganda yang diterapkan dalam konflik Palestina-Israel. Mereka yang menolak kedatangan Bush akan melakukan protes dengan unjuk rasa.
Presiden Bush yang sering dianggap menyakiti hati bangsa Indonesia dengan berbagai kebijakan luar negerinya ternyata tetap menganggap penting posisi Indonesia. Bush memang ditolak di banyak negara yang dikunjunginya, tetapi negara-negara itu tetap menerimanya dengan sambutan istimewa. Itu artinya, kunjungan Bush selalu memiliki arti penting.
Pemerintah Indonesia pun menganggap penting kunjungan presiden Amerika itu. Agenda pertemuan Bush-SBY meliputi peningkatan investasi AS di Indonesia, energy security, masalah pendidikan, masalah kesehatan, terutama penanganan flu burung, pembangunan sistem peringatan dini tsunami di selatan Pulau Jawa, dan pengembangan teknologi informasi.
Indonesia punya hubungan diplomatik yang resmi dengan Amerika Serikat. Sebab itu, pemerintah negeri ini tidak bisa menolak kedatangan Bush. Kunjungannya sudah menjadi agenda resmi pemerintah Indonesia, maka kita patut mendukung dengan menciptakan situasi aman dan kondusif. Hal itu penting untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara aman, cinta damai, bukan negara teroris seperti yang pernah ditudingkan.
Apabila ada yang berencana untuk unjuk rasa menentang kedatangan Bush, hal itu tidak salah selama dilakukan berdasarkan aturan ada. Kalau sampai merusak, itu yang berbahaya. Bagaimanapun, kalau aksi itu sampai di luar kendali, yang rugi pasti bangsa kita sendiri.
Aksi unjuk rasa hendaknya dilakukan secara beradab dan penuh kedamaian. Jangan dilampiaskan dengan cara-cara anarkistis sehingga menjadi pembenaran bahwa umat muslimin di Indonesia terbiasa dengan kekerasan. Dan, yang paling penting, pro-kontra dalam menyambut kunjungan Bush ke Indonesia jangan sampai menyeret bangsa ini menuju perpecahan.
ANI WIDIASTUTI Jalan Delima No. 21 Poltangan Raya Jakarta Selatan
Sambungan Telepon Sudah Kring
Kami hendak menanggapi surat pembaca dari Bapak Asep Subandi, Perum Dian Anyar Blok CB2 No. 6-7, Ciseureuh, Purwakarta Kota, seperti dimuat Tempo edisi 6-12 November, halaman 6, dengan judul ”Kecewa pada Layanan Telkom”. Pertama-tama, atas nama manajemen Telkom Divisi Regional II Jakarta, kami menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan dan ketidaknyamanan yang Bapak rasakan.
Dapat kami jelaskan bahwa permohonan pasang baru Bapak Asep Subandi adalah program indent dengan perjanjian kring dalam 60 hari sejak transaksi pembayaran pasang baru. Proses peng-kring-an telah dilakukan pada 3 November 2006.
Dengan ini, permasalahan Bapak Asep Subandi telah selesai, dan beliau sangat puas atas penjelasan yang disampaikan Junior Manager Kantor Cabang Telkom Purwakarta pada saat mengunjungi yang bersangkutan di kediamannya.
RETNO DYAH A. Manajer Komunikasi Telkom Divisi Regional II Jakarta
Jakarta Realty Menjawab
Menanggapi surat pembaca Saudara Tobroy tentang komplain pemilik kios di lantai 3A Jakarta City Center (JaCC) melalui PT Citicon Mitra Tnabang, salah satu marketing agency PT Jakarta Realty, seperti dimuat Tempo edisi 19 November 2006, halaman 8, berjudul ”Jakarta City Center Mengecewakan”, perlu kami jelaskan sebagai berikut:
- Penambahan 300 kios di lantai 3A yang berdampak pada berubahnya tata letak kios dan penambahan masa waktu penyelesaian kios di lantai yang dikhususkan bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Penambahan itu terjadi karena besarnya permintaan kelompok pedagang UKM yang ingin memiliki kios di lantai tersebut. Jadi, tidak benar jika penambahan kios itu dilakukan atas pertimbangan bisnis semata. Justru sebaliknya, apa yang kami lakukan merupakan bentuk komitmen dan kepedulian sosial terhadap keberadaan pedagang UKM yang berminat memiliki kios di JaCC, apalagi kami pasarkan dengan harga terjangkau.
- Berkait dengan penjadwalan ulang penyelesaian kios di lantai 3A, sejak Oktober 2005, manajemen JaCC melalui PT Citicon telah memberikan kompensasi yang layak berupa ”pinjam-pakai” kios secara gratis di lantai dasar. Dengan begitu, pada penyewa bisa berdagang di bulan puasa 1426 Hijriyah. Dan, program itu sudah berjalan baik dengan digelarnya acara Festival Ramadhan 2005.
- Mengenai peningkatan harga kios yang resminya Rp 50 juta, sementara Saudara Tobroy membeli dengan harga Rp 60 juta, hal itu terjadi karena mekanisme pasar di tingkat secondary market. Sebab, yang bersangkutan membelinya sudah melalui pihak kedua.
DEDI GUMELAR Senior Public Relations Manager PT Jakarta Realty
Calo Tiket Penerbangan Merpati
Minggu, 12 November 2006, sekitar pukul 20.00 WIB, di loket penjualan tiket Merpati di Bandar Udara Juanda, Surabaya, tertulis ”Tiket ke Jakarta habis”. Tiba-tiba, di depan loket, seorang petugas kebersihan menawari saya tiket Merpati dengan jadwal keberangkatan pukul 20.10 WIB. Meski harganya agak mahal, saya mau karena terpikir itu pesawat terakhir ke Jakarta. Saya membeli dua tiket dan hanya menerima boarding pass yang sudah tertulis nama seseorang tanpa disertai tiket.
Agak mengherankan bagi saya, bagaimana mungkin seorang calo berani mengambil risiko demikian besar dengan memegang boarding pass yang belum laku, ketika jadwal penerbangan sudah tinggal beberapa menit. Logika saya, kerugian akan besar bila pesawat sudah terbang dan boarding pass masih di tangan si calo.
Namun, logika saya dipatahkan oleh argumen rekan saya. Si calo tidak akan menderita kerugian finansial apa pun meski boarding pass yang dia pegang tidak laku. Adanya kerja sama dengan orang dalam Merpati, kerugian seperti itu akan sangat mudah dihindari.
Keheranan saya bertambah lagi ketika di dalam pesawat ternyata tidak kurang dari 20 kursi masih kosong. Ini tentu sangat mengenaskan. Bagaimana mungkin, di tengah kompetisi bisnis penerbangan yang demikian ketat saat ini, Merpati masih berbisnis dengan cara seperti itu. Apalagi, di saat Merpati dilanda kesulitan keuangan yang amat parah sehingga harus merengek-rengek kepada pemerintah.
WIDARTO RACHBINI Depok, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo