Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengalaman Parkir di Marriott

SAYA ingin mengisahkan pengalaman saya saat parkir di Hotel JW Marriot, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Kebetulan, pada 26 September lalu, saya diundang untuk menghadiri acara peluncuran buku salah satu mantan pejabat di hotel tersebut. Karena tidak memerlukan handphone selama mengikuti acara, saya memutuskan untuk meninggalkan handphone Nokia Communicator (9210i) di mobil. Telepon genggam itu saya taruh di kantong belakang kursi sebelah kiri mobil saya.

Setelah acara selesai, saya meninggalkan hotel kira-kita pukul 21.00. Dalam perjalanan pulang saya sangat kaget karena handphone tidak berada di tempatnya lagi. Saya menanyakan kepada adik saya (dia yang mengemudikan mobil dan ditemani oleh salah seorang staf saya) apakah dia memindahkan handphone saya. Dia mengatakan tidak. Adik saya juga menjelaskan, sesaat sebelum ia meninggalkan mobil, handphone tersebut masih berada di tempatnya. Di hotel tersebut, pengemudi memang tidak diperkenankan menunggu di dalam mobil. Para pengemudi diminta menunggu di sebuah ruangan yang telah disediakan.

Saya kemudian meminta adik dan staf saya kembali ke hotel dan melaporkan hal itu kepada petugas keamanan hotel. Seorang petugas, Bapak Monang, yang menerimanya, mengatakan akan melakukan penyelidikan internal. Soalnya, kejadian tersebut bisa saja melibatkan oknum satpam yang bertugas memeriksa mobil di areal parkir. Selain itu ada juga petugas yang memeriksa kendaraan dengan cara membuka semua pintu dan memeriksa bagian dalam mobil. Bapak Monang berjanji menghubungi adik saya paling lambat dua hari kemudian.

Hanya, pada hari yang dijanjikan, kami tidak mendapat telepon sama sekali dari Hotel Marriott. Beberapa hari kemudian, saya mengutus adik dan staf saya tersebut untuk kembali menemui petugas keamanan hotel. Karena Bapak Monang saat itu tidak ada, kami hanya ditemui oleh petugas lain. Si petugas berjanji akan menyampaikan pesan kami.

Ternyata janji-janji itu tinggal janji. Sampai pada surat ini ditulis (10 November 2004) tidak ada klarifikasi apa pun yang kami terima dari pihak Hotel Marriott selaku pemilik dan pengelola areal parkir.

Kami mengerti, pihak hotel tidak bertanggung jawab atas kehilangan barang-barang di kendaraan yang diparkir di arealnya. Namun, adanya klarifikasi dari pengelola akan jauh lebih baik untuk menunjukkan perhatian dan simpati kepada tamunya yang tertimpa musibah.

Sungguh ironis, sebagai hotel berbintang dan bertaraf internasional yang mengimplementasikan sistem keamanan yang sangat ketat, ternyata tidak mampu melindungi tamunya dari maling kelas teri. Itu sebabnya saya mengimbau agar pembaca berhati-hati jika memarkir kendaraan di Hotel Marriott.

Justi Kusumah Soemadipradja & Taher Advocates Wisma GKBI Level 9 Jalan Jenderal Sudirman 28 Jakarta 10210


Ihwal Kata Bergeming

Dalam Tempo edisi 1-7 November 2004, halaman 32, tertulis ”Tapi Koalisi Kebangsaan bergeming”. Maksudnya Koalisi Kebangsaan tetap teguh pendirian, tidak goyah. Menurut pengertian saya selama ini (dan banyak teman) kalimat tersebut seharusnya ”Tapi Koalisi Kebangsaan tidak bergeming”. Bagi saya, ”bergeming” berarti berubah pendirian, goyah, ragu, grogi.

Saat kita menonton sinetron di TV, juga banyak muncul kata yang berasal dari dialek Jakarta. Di antaranya lu, gua, ngapaian, apenye, dong, dan deh. Selama ini tayangan televisi dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia (bahkan juga Singapura dan Malaysia). Apakah kita menjadikan bahasa Jakarta sebagai bahasa rakyat Indonesia?

Mansur Ciledug, Jakarta

Bergeming menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ”diam saja”Red.


Pengedaran Buku Pelajaran

Sebuah harian yang terbit di Ibu Kota memberitakan tentang adanya sejumlah penerbit anggota IKAPI yang masuk daftar hitam Bank Dunia. Mereka diduga terkait kasus KKN dalam proyek pengadaan buku pelajaran Sekolah Menengah Pertama pada 1996-2000 yang didanai oleh Bank Dunia. Ternyata hal itu tidak bukan berarti pengedaran buku pelajaran tahun 2004 oleh sejumlah penerbit nakal tersebut langsung dihentikan.

Kita dapat menelusuri informasi ke tiap penerbit atau dinas pendidikan seluruh kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diduga sebagian penerbit yang memegang hak mengedarkan buku pelajaran justru penerbit yang tercantum dalam black list.

Pengedaran buku pun penuh dengan kejanggalan. Aturannya, sekolah langsung membeli buku dari penerbit yang telah mendapatkan pengesahan dari Departemen Pendidikan Nasional. Yang terjadi, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, buku tersebut ”diplot” dulu oleh pejabat Depdiknas di provinsi. Penerbit-penerbit itu diundang dulu oleh pejabat tersebut dengan dalih untuk membicarakan soal ”sosialisasi” buku mana yang disahkan. Tentu pada pelaksanaannya buku-buku penerbit yang diundang tersebut yang dibeli oleh sekolah-sekolah.

Lain lagi di Jawa Barat. Sekarang mereka telah kapok melakukan pengaturan semacam itu, terutama di tingkat provinsi. Soalnya, pada 2003, praktek semacam itu telah tercium oleh Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta. Hanya, di tingkat kabupaten hal itu masih terjadi. Setiap penerbit akan sangat repot apabila menawarkan secara langsung ke sekolah. Itu sebabnya, tetap saja pejabat di daerah terlibat dalam penjualan buku ke sekolah-sekolah. Selain itu para penerbit juga berlomba-lomba untuk memberikan ”gizi” dan ”vitamin” kepada kepala sekolah dan pejabat di daerah.

Tentu saja penerbit yang tidak ikut terlibat dalam pertemuan dengan pejabat Depdiknas di daerah akan selalu kesulitan saat memasarkan langsung buku-buku tersebut ke sekolah.

Cecep Suryana Desa Mekarsaluyu, Bandung


Pro dan Anti-IMF (1)

Majalah Tempo edisi 1-7 November memuat wawancara dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saya sangat terkesima dengan beberapa jawaban yang beliau sajikan. Itu sebabnya saya tergerak untuk menulis surat pembaca ini.

Substansi pembahasan paling menjadi perhatian bagi kami adalah pernyataan beliau tentang kelompok pro dan anti-IMF. Dinyatakan dengan tegas dan lugas bahwa Saudara Rizal Ramli adalah anti-IMF dan Sri Mulyani adalah pengikut IMF. Karena itu beliau mencoret Rizal Ramli dari kandidat menteri dan menerima Sri Mulyani sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sri Mulyani akhirnya dilantik sebagai Ketua Bappenas.

Dari wawancara tersebut terlihat bahwa Bapak Jusuf Kalla lebih condong untuk memilih orang-orang yang pro-IMF dan menolak orang-orang yang anti-IMF dengan menempatkan Sri Mulyani dalam kabinet dan mencoret Sdr. Rizal Ramli yang anti-IMF.

Dengan demikian dapat diprediksi dalam lima tahun ke depan kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan akan disesuaikan dengan program, arah, dan strategi IMF, antara lain liberalisasi ekonomi, penghapusan total subsidi, menghilangkan kebijakan proteksi terhadap rakyat kecil, dan membebaskan pasar Indonesia terhadap perlindungan penggunaan produk dalam negeri.

Menurut hemat kami, harapan rakyat kecil untuk mendapatkan perlindungan negara dari penghisapan kapital, modal, dan pengaruh kekuatan ekonomi bangsa asing lenyaplah sudah. Harapan itu ditelan badai kabinet pro-IMF yang dibentuk Bapak Jusuf Kalla. Pada tahun-tahun mendatang dapat juga diperkirakan semua harga kebutuhan pokok akan melonjak secara drastis. Harga bahan bakar, tarif telepon, listrik, dan air minum akan dilepaskan pada mekanisme pasar dan disesuaikan dengan harga yang berlaku seperti harga di negara Singapura dan Australia. Sementara itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak akan mampu memberi gaji pegawai sama besarnya seperti pegawai yang ada di Singapura dan Australia.

Dengan kata lain, 80 persen gaji yang diterima pegawai-pegawai di Indonesia akan habis untuk biaya makan dan transportasi, sisanya akan lenyap dihisap tagihan pajak PPH, PBB, dan pungutan lainnya, baik resmi maupun tidak. Tidak akan ada sisa untuk biaya pendidikan, kesehatan dan tabungan. Apakah demikian maksud dan tujuan penjelasan wawancara Bapak Jusuf Kalla tersebut?

Ultra Syahbunan Jl. Bola Volly No. 7 RT 009/RW 010 Bandung


Pro dan Anti-IMF (2)

Sepanjang yang saya ketahui dari media, semua pihak pemerintah, DPR, dan seluruh rakyat Indonesia akhirnya sepakat bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) telah gagal menolong Indonesia untuk keluar dari krisis. Program IMF bukan hanya tidak membantu, tapi malah semakin memperparah kondisi ekonomi bangsa ini. IMF sendiri bahkan telah meminta maaf dan mengakui rekomendasi mereka banyak yang tidak tepat sasaran. Karena itu, isu tentang kelompok yang pro dan anti-IMF seharusnya sudah tidak relevan lagi untuk dipermasalahkan.

Tapi pernyataan Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dimuat dalam rubrik wawancara Tempo beberapa waktu lalu, sempat membuat kening saya berkerut. Jusuf Kalla, pemimpin bangsa nomor dua, justru memberi kesan sikap pro dan anti-IMF masih sangat relevan untuk dibahas, termasuk dalam pemilihan Kabinet Indonesia Bersatu beberapa waktu yang lalu. Beliau seakan-akan telah bertindak sangat bijak dengan memilih Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan. Ini sebagai jalan tengah akibat adanya tarik-menarik antara kubu pro-IMF yang diwakili Sri Mulyani dan kelompok anti-IMF yang diwakili Rizal Ramli.

Padahal menurut saya, keputusan tersebut justru bertentangan dengan persyaratan profesionalisme dari anggota kabinet, seperti yang dijanjikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam kampanyenya.

Saya mengenal Rizal Ramli lewat tulisan-tulisannya di media cetak, termasuk pikiran dan ide beliau bersama sejumlah ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit. Dari apa yang saya baca, dia sama sekali tidak pernah mengusulkan agar Indonesia keluar dari IMF, tapi memang memberikan kritik tajam terhadap program IMF, yang selama ini salah sasaran dan cenderung mendikte pemerintah Indonesia. Justru dalam beberapa komentarnya di televisi, dia malah tidak menginginkan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF.

Saya pun sangat setuju. Bagaimanapun, Indonesia harus tetap menjadi bagian dari IMF. Soalnya, secara historis lembaga yang didirikan pada konferensi Breton Woods 1944 ini memiliki tujuan yang baik, yaitu memulihkan ekonomi negara-negara yang tertimpa krisis dan menjamin kestabilan ekonomi global. Hanya sayangnya, pada beberapa dekade terakhir, IMF dibajak oleh kelompok aliran monetaris dan lupa pada mandat asli para pendirinya seperti yang dikatakan Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel Ekonomi. Akibatnya, kebijakan IMF cenderung tidak tepat sasaran dan malah lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dibandingkan kesejahteraan bangsa yang menjadi pasiennya. Hal inilah yang juga menjadi salah satu alasan utama PM Mahathir Mohammad menolak program IMF, juga PM Thaksin, ketika negara mereka tertimpa krisis beberapa tahun lalu.

Harapan saya, marilah kita menatap ke depan dan membangun bangsa ini dengan semangat kebersamaan. Program IMF yang selama ini mendikte pemerintah Indonesia anggaplah sebagai pengalaman buruk yang tidak perlu kita ulangi kembali. Saya meyakini banyak anak bangsa yang lebih mampu dan lebih memahami permasalahan bangsa kita sendiri. Syaratnya, profesionalisme dan keberpihakan terhadap rakyat harus tetap menjadi prioritas dalam memilih para pengambil kebijakan, bukan berdasarkan tekanan dari pihak yang ingin mengambil keuntungan.

Juli Setiadi Jl. Rawa Domba RT 004/ RW 016 Duren Sawit, Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus