Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misteri Kematian Penumpang di Kursi 40G

Tanda tanya sekitar kematian Munir terjawab setelah ditemukan racun arsen di tubuhnya. Ada yang "membayangi" gerak-geriknya dalam perjalanan?

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN singkat itu masuk ke telepon genggam lewat tengah malam. "Saya lagi bengong nih. Kok perut saya nggak enak ya? Jangan-jangan, mag saya kambuh." Munir mengirim pesan ini saat transit di Bandar Udara Changi, Singapura, kepada istrinya, Suciwati, di Bekasi. Sang istri tidak terlalu merisaukan keluhan tersebut karena suaminya memang kerap terserang mag.

Suciwati tak menyangka, pesan pendek itu menjadi pesan terakhir dari suaminya. Sebelas jam kemudian, tepatnya pada pukul 11.05 WIB (7 September 2004), Munir meninggal dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Saat itu, pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 yang ditumpangi korban tengah melintas di atas wilayah Hungaria, dan tiga jam lagi sampai di Belanda.

Amat mustahil sakit mag bisa begitu kejam membunuh tubuh kecil Munir yang hendak melanjutkan kuliah hukum di Utrecht, Belanda. Kecurigaan Suciwati ini terjawab dengan hasil otopsi dari Netherlands Forensic Institute (NFI) di Amsterdam. NFI menemukan timbunan racun arsenik di tubuh Munir. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, tiga kali lipat dari batas kemampuan tubuh manusia untuk bisa bertahan hidup (lihat Arsen, dari Mana Dia Datang).

Kedutaan Besar Belanda di Indonesia menyerahkan hasil otopsi jenazah Munir ke Departemen Luar Negeri, Kamis dua pekan lalu. Disebutkan dalam laporan itu, sebagian besar racun arsen ditemukan masih menumpuk di lambung Munir. Lokasi timbunan menunjukkan logam berat itu disusupkan melalui makanan atau minuman yang dikonsumsinya.

Temuan NFI segera menyedot perhatian publik. Markas Besar Kepolisian RI pun buru-buru membentuk tim khusus untuk menyelidiki kematian Munir. Kamis pekan lalu, tim ini pergi ke Belanda untuk meminta hasil otopsi yang asli dari NFI. Namun, Kementerian Luar Negeri Belanda menolak permintaan itu karena mereka tidak dibekali surat keterangan dari Departemen Kehakiman Indonesia.

Menurut Koordinator Kontras, Usman Hamid, yang juga pergi ke Belanda mewakili keluarga Munir, pihak Kedutaan Besar RI di Belanda masih akan mengupayakan pertemuan dengan pihak NFI. Tim ini berniat memperoleh dokumen asli karena, menurut pihak kepolisian, hasil otopsi yang dikirimkan ke Indonesia masih belum lengkap. "Laporan itu hanya dalam bentuk analisis," kata Usman.

Upaya penyelidikan tampaknya dilakukan cukup serius. Maklumlah, Munir bukan tokoh sembarangan. Lelaki berusia 39 tahun yang lahir di Batu, Malang, Jawa Timur, itu dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia yang gigih. Lama aktif di Lembaga Bantuan Hukum, ia juga menjadi pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Karena sepak terjangnya, Munir pun mendapat Yap Thiam Hien Award pada 1998 dan The Right Livelihood Award.

Sebelum memutuskan untuk belajar di Belanda, Munir sehari-hari menjadi Direktur Eksekutif Imparsial, sebuah lembaga yang baru didirikannya. Ia melepaskan jabatan begitu berangkat ke Belanda. Dan ternyata kepergiannya bagai menjemput maut.

Kerabat dan rekan Munir meragukan racun arsen yang biasa dipakai untuk mencuci keris itu masuk melalui makanan Munir sebelum dia berangkat. Kepada polisi, Suciwati pun mengaku selalu mendampingi sang suami selama seminggu sebelumnya dan menjelang keberangkatan di luar Bandara Soekarno-Hatta. "Almarhum juga tidak suka jajan atau makan di restoran," katanya. Namun, setelah Munir melewati gerbang keberangkatan di Bandara Soekarno-Hatta, sang istri tidak tahu lagi apa yang dikonsumsi suaminya.

Dalam pesawat Garuda, Munir duduk di kelas ekonomi dengan nomor kursi 40G. Tapi, selama penerbangan menuju Singapura, dia terlihat pindah ke kelas bisnis, menempati kursi nomor 3K. Kepindahan itu karena ajakan seseorang yang terus menempelnya.

Edwin Partogi, Ketua Divisi Operasional Kontras, seperti dikutip Radio Nederland, mencurigai seseorang yang mengajak Munir pindah tempat. Namun, orang misterius itu menghilang di Singapura, tak lagi ikut dalam penerbangan menuju Belanda.

Dr. Tarmizi Hakim, yang sempat merawat Munir, memastikan bahwa korban sendirian saat masuk ke pesawat setelah transit di Singapura. Kebetulan berada dalam satu pesawat, dokter yang bekerja di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita ini sempat berkenalan dengan Munir di Singapura. "Sepenglihatan saya, saat itu dia dalam kondisi sehat," kata Tarmizi.

Menjelang masuk pesawat, mereka berpisah. Tarmizi duduk di kelas bisnis, sementara Munir menempati bangku sesuai dengan tiket yang dipegangnya di kursi 40G. Setelah kira-kira tiga jam terbang dari Singapura, Tarmizi dibangunkan pramugari karena Munir muntah dan buang-buang air sebanyak enam kali dalam rentang waktu setengah jam. Ahli jantung yang menduga Munir terserang muntaber itu memberikan larutan gula-garam untuk menggantikan cairan infus. "Tetapi muntah beraknya hebat sekali," kata sang dokter, keheranan.

Karena sakit Munir tak sembuh juga, dua jam kemudian, Tarmizi memberikan suntikan untuk mengurangi muntah dan mencret. Kira-kira setengah berselang, ia memberi suntikan obat penenang agar Munir bisa tidur.

Rupanya segala upaya Tarmizi sia-sia. Sekitar lima jam kemudian, ia diminta pramugari untuk memeriksa Munir yang tidak bereaksi saat dibangunkan. Saat itulah Tarmizi memastikan Munir telah meninggal. Tubuhnya kaku dan dingin.

Dokter Tarmizi tidak menyangka kematian menjemput Munir secepat itu. Meski bukan ahli penyakit infeksi, dia tahu pasti bahwa penderita muntah dan berak biasa jarang langsung meninggal dalam hitungan jam. "Saya sudah menyangka ada sesuatu yang aneh," katanya.

Sesampai di Amsterdam, polisi setempat menginterogasi Tarmizi dan Sri Rusminingtyas, rekan Munir yang menjemput di bandara. Setelah tahu bahwa Munir sering mendapat ancaman, polisi langsung menutup semua akses kecuali keluarga almarhum.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Hendardi, mengaku heran di era sekarang masih ada yang berniat membunuh Munir. Meski Munir dikenal kritis, kelantangannya saat ini tidak seintensif dulu (lihat Hasrat Sebelum Dia Pergi). Hendardi menduga pelaku berharap jenazah Munir tidak diotopsi sehingga penyebab kematiannya tak terbongkar.

Dalam penelusuran yang dilakukan Imparsial?mereka sudah tiga kali bertemu dengan pihak maskapai Garuda Indonesia?ditemukan sejumlah kejanggalan. Salah satunya seperti yang diungkap Edwin Partogi dari Kontras. Menurut Hendardi, ada orang yang selalu menempel Munir selama penerbangan.

Direktur Niaga Garuda Indonesia, Bachrul Hakim, mengaku sudah mendengar kabar adanya pegawai penerbangan yang terus menempel Munir. Bachrul prihatin jika isu itu dikaitkan dengan nama baik maskapai milik pemerintah itu. Dia mengaku akan membuka akses seluas-luasnya bagi kepolisian dan penyidik untuk mengungkap kasus ini. "Kami akan sangat terbuka apakah nanti akan mengarah pada pihak ketiga maupun orang dalam Garuda," katanya.

Namun, upaya membongkar kasus kematian Munir tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi, teror kini mulai berseliweran. Menurut kalangan Imparsial, istri korban, Suciwati, telah mendapat ancaman. Sabtu lalu, dia dikirimi paket berisi kepala, leher, cakar, dan jeroan ayam busuk ke rumahnya di Bekasi. Di situ juga terselip sebuah pesan. Intinya, Suciwati diteror agar tidak menuding sebuah lembaga yang selama Orde Baru amat ditakuti. Kalau nekat? Masya Allah, katanya, akan bernasib seperti paket ayam busuk itu.

Sebelum urusan tambah tak keruan, penyelidikan sepenuh hati jelas diperlukan.

Agung Rulianto, Eni Saeni, Sukma N. Loppies, Eduardus Karel D., Tomi Aryanto, Lea Pamungkas (Belanda)


Penerbangan Terakhir Munir

Jakarta INDONESIA Pukul 21.55 WIB, 6 September 2004 Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapura.

Changi SINGAPURA Pukul 22.55 WIB, 6 September 2004 Tiba di Bandara Changi, Singapura. Munir mengeluh sakit perut. Pada pukul 00.50, pesawat berangkat ke Amsterdam.

Madras INDIA Pukul 04.00 WIB, 7 September 2004 Di atas Madras, India, Munir sudah enam kali muntah dan berak. Dr. Tarmizi memberinya obat penenang.

Pukul 10.00 WIB, 7 September 2004 Dr. Tarmizi bangun dan melihat Munir masih tidur.

HONGARIA Pukul 11.05 WIB, 7 September 2004 Berdasarkan laporan pramugara Madjib Nasution, Tarmizi memeriksa Munir dan ternyata sudah meninggal. Saat itu pesawat berada di ketinggian 40 ribu kaki, di atas wilayah Hongaria.

Amsterdam BELANDA Pukul 14.10 WIB, 7 September 2004 Pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Polisi dan dokter memeriksa jenazah Munir.

Sumber: Dokter Tarmizi dan Garuda Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus