Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Pandemi dan Undang-Undang Cipta Kerja

Pembaca berpendapat seharusnya Undang-Undang Cipta Kerja memakai kajian komprehensif dengan membahas setiap kluster yang seharusnya memakan waktu lama.

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat - MBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lambatnya penanganan pandemi

  • Prevalensi tuberkolisis

Pandemi dan Undang-Undang Cipta Kerja

Tahun 2020 adalah tahun yang berat. Jika beberapa negara dengan cepat menangani pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia sebaliknya. Pemerintah kurang sigap dalam menanggulangi wabah karena terlambat menerbitkan peraturan derivatif yang mengatur kekarantinaan. Bahkan pemerintah merasa lebih penting mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja ketimbang menangani pandemi. Pemilu serentak pun tetap diselenggarakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya jadi ingat postulat salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Namun realitasnya adalah pengabaian terhadap keselamatan dan kepentingan rakyat. Padahal, saat pandemi seperti ini, peran pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sangat krusial dalam mitigasi. Sinergi antara pemerintah dan DPR dibutuhkan. Pemerintah bersama DPR seyogianya mengambil langkah berupa kebijakan yang tepat sasaran. Tepat sasaran adalah kebijakan yang menampung dan mencerminkan kehendak publik, bukan kebijakan yang mengakomodasi kepentingan individu atau kelompok, bahkan kepentingan para oligark.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sukar dimengerti secara logis Undang-Undang Cipta Kerja dengan metode omnibus law terbit dalam kurun waktu yang relatif singkat, mengingat undang-undang ini menyasar beberapa isu besar, seperti peningkatan ekosistem investasi, ketenagakerjaan, dan kemudahan berusaha. Seharusnya Undang-Undang Cipta Kerja memakai kajian komprehensif dengan membahas setiap kluster yang seharusnya memakan waktu lama.

Selain itu, perlu diadakan sosialisasi dan diseminasi lebih awal tentang metode omnibus law dan sasaran Undang-Undang Cipta Kerja. Problematika undang-undang ini dapat pula ditinjau dari segi formalnya yang tidak melibatkan semua stakeholder yang terkena dampak. Padahal undang-undang ini telah mengafirmasi tentang partisipasi masyarakat.

Berbicara tentang partisipasi tentunya mempunyai korelasi dengan keterbukaan atau transparansi. Dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja, secara faktual proses legislasi tidak dilakukan secara transparan. Buktinya, draf undang-undang mengalami beberapa kali perubahan halaman dan pasal.


Adam Setiawan
Samarinda, Kalimantan Timur


 

Dilema Pembangunan Infrastruktur 

Pembangunan membutuhkan ruang yang luas, tidak sedikit menguras lahan pertanian. Pada 2018 luas sawah sekitar 7,1 juta hektare, turun dari 7,75 juta hektare pada tahun sebelumnya. Sementara itu, ketika lahan pertanian sudah menjadi jalan tol, hanya beberapa orang yang memiliki mobil yang dapat menikmati pembangunan tersebut.

Pembangunan bagai pisau bermata dua. Hanya segelintir pihak yang menikmati infrastruktur, sedangkan yang lain cukup menjadi penonton. Sawah seharusnya menjadi lingkungan yang penting dalam pemanfaatan kebutuhan pangan. Tak mengherankan jika kita pernah mencapai swasembada pangan pada dekade 1980-an.

Yang tak kalah penting, infrastruktur juga menjadi penunjang dalam pemanfaatan tersebut. Namun, sekali lagi, urgensi manakah yang dianggap lebih krusial, lahan pertanian atau infrastruktur pembangunan? Ini merupakan dilema yang menuntut keputusan tepat dan cermat. Kita harus mampu menimbang dengan benar agar tak ada lagi keputusan yang berat sebelah.


Trian Mayarani
Mojokerto, Jawa Timur 



Masalah Tuberkulosis di Indonesia

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), tuberkulosis merupakan salah satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian terbesar di dunia. Berdasarkan Global Report TB 2019, angka tuberkulosis pada 2018 mencapai 10 juta orang dengan kematian mencapai 1,5 juta jiwa. Ada delapan negara yang menyumbang dua pertiga dari total global TBC. Indonesia menempati urutan kedua setelah India.

Tingginya angka kesakitan tuberkulosis di Indonesia bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor risiko yang mempengaruhi tingginya kejadian TB di Indonesia adalah riwayat kontak dengan penderita TB, perilaku penderita saat membuang dahak, kebiasaan merokok, dan kondisi lingkungan.

Rata-rata seorang penderita TB dapat menulari dua-tiga orang di dalam rumahnya. Riwayat kontak berisiko 5,4 kali, disusul kebiasaan merokok sebesar 2,4 kali. Faktor lingkungan juga mempengaruhi. Banyak rumah yang tak memenuhi syarat 61,8 persen pencahayaan ruangan. Faktor pencahayaan memiliki risiko tiga-tujuh kali penularan.


Sesar Dayu Pralambang
Jakarta

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus