Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERILAKU pasar finansial kian membingungkan. Teorinya, jika ekonomi dunia sedang semaput terpukul wabah, ekonomi mengerut di mana-mana, harga saham semestinya berjatuhan. Kenyataannya bertolak belakang sepenuhnya. Euforia terus menghinggapi investor di mana-mana. Berbagai indeks harga saham tetap menanjak dengan cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan ketegangan politik yang makin memuncak di Washington, DC, menjelang pelantikan Joe Biden pada 20 Januari ini tak membuat pasar gamang. Seolah-olah tak ada yang peduli bahwa ancaman meletusnya kerusuhan bersenjata oleh pendukung fanatik Donald Trump sungguh amat nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, tak sedikit analisis yang mengirimkan peringatan bahaya. Situasi bisa berbalik tak terduga setiap saat tanpa aba-aba. Pasar sudah menikmati tren kenaikan harga sejak 2009. Kini situasinya sudah matang, harga-harga aset sudah menggelembung dalam skala epik tanpa ada dasar perhitungan fundamental. Begitulah pandangan Jeremy Grantham, 82 tahun, guru investasi yang berpengalaman puluhan tahun menguliti gerak-gerik pasar.
Rothschild & Co, salah satu bank investasi kondang, menggambarkan perilaku investor global belakangan ini sudah seperti gerombolan hewan yang hanya mencari aman di tengah kerumunan. Setiap orang mengikuti saja apa yang dikerjakan tetangga sebelahnya. Dalam situasi seperti ini, investor akan ikut membeli ketika harga sedang naik. Perilaku ini pada akhirnya mendorong kenaikan harga secara irasional. Semuanya takut tertinggal. Dalam jargon pasar, inilah yang disebut FOMO alias fear of missing out.
Jangan lupa, situasi juga akan berbalik begitu pasar mulai pesimistis. Jika ada sedikit saja gelagat di kerumunan bahwa inilah saatnya menjual, perilaku FOMO akan membuat semua investor berlomba-lomba melepas asetnya. Harga pun ambruk, dan bukan tak mungkin pasar finansial akan kolaps. Investor harus mengantisipasi risiko yang sangat berbahaya ini pada 2021.
Hingga pekan kedua 2021, investor sedunia memilih mengabaikan berbagai sinyal muram itu. Indeks S&P 500, rujukan untuk menilai kinerja perusahaan-perusahaan kelas kakap di Amerika Serikat, bahkan sudah naik 2,14 persen dalam dua pekan pertama 2021. Tapi, tidak hanya di Amerika Serikat, pergerakan S&P 500 juga dapat menjadi suar untuk mereka-reka pergerakan harga di seluruh jagat, termasuk tentunya pasar finansial di Indonesia.
S&P 500 yang terus saja menanjak menunjukkan betapa investor seolah-olah tak mau menerima bahwa harga saham di pasar Amerika sebenarnya sudah amat jauh di atas perhitungan yang sehat secara fundamental. Terutama harga berbagai saham perusahaan teknologi yang benar-benar sudah di luar nalar, dihitung dengan cara apa pun. Toh, saham-saham teknologi tetap menjadi penggerak pasar untuk terus mencatat rekor harga tertinggi hari demi hari.
Pergerakan harga saham Tesla amat terang menggambarkan perilaku investor yang sungguh sangat irasional itu. Nilai pasar Tesla, produsen mobil listrik yang didirikan Elon Musk, naik sepuluh kali lipat dalam tempo tak sampai setahun. Pada Maret 2020, harga Tesla per saham cuma US$ 85,52. Per 14 Januari lalu, harganya sudah US$ 845.
Betul, Tesla punya prospek baik di tengah tren pemanasan global yang memaksa orang menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan seperti mobil listrik. Tapi apakah masuk akal jika investor menilai Tesla sedemikian hebat? Nilai pasar perusahaan yang hanya mampu menjual sekitar 500 ribu unit mobil selama tahun lalu itu mencapai US$ 782 miliar per 14 Januari lalu. Sedangkan nilai Toyota, yang mampu menjual 10 juta mobil secara global pada 2019, “hanya” US$ 246,9 miliar, sepertiga Tesla.
Tesla hanyalah satu contoh. Kenaikan harga berbagai saham perusahaan berbasis teknologi yang jauh di luar nalar itu menegaskan bahwa ada yang salah dengan pasar finansial. Inilah contoh konkret gelembung berskala epik yang disebutkan Jeremy Grantham.
Sulit dibayangkan bagaimana kondisi pasar kelak jika gelembung ini benar-benar meletus. Sudah pasti dampaknya tidak akan terbatas di pasar negara maju. Negara berkembang seperti Indonesia pasti terkena imbasnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo