Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siaran Langsung dari Wuhan

Seorang jurnalis warga dihukum penjara karena membuat siaran langsung situasi pandemi dari Kota Wuhan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) baru bisa memulai penyelidikan asal-usul virus di kota itu pada awal tahun ini.

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pendukung aktivis pro demokrasi menuntut pembebasan 12 aktivis Hong Kong, dan Jurnalis Zhang Zhan di Hong Kong, Cina, 28 Desember 2020. Reuters/Tyrone Siu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang jurnalis warga dihukum penjara karena siaran langsung dari Kota Wuhan.

  • Cina sempat menolak investigasi internasional soal asal pandemi Covid-19 di Kota Wuhan.

  • Tim WHO baru tiba untuk meneliti asal-usul virus corona di Wuhan.

KOTA Wuhan, episentrum pertama pandemi Covid-19, seakan-akan menyimpan banyak hal yang ditutup-tutupi oleh pemerintah Cina. Pemerintah menindak siapa pun di kota itu yang menyebarkan kabar atau pendapat mengenai pandemi di sana ke dunia luar. Sejumlah dokter dan anggota masyarakat yang berkomentar di media sosial telah dipanggil dan dipaksa menghentikan kegiatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zhang Zhan, bekas pengacara yang juga jurnalis warga, divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Distrik Baru Pudong, Shanghai, pada akhir Desember 2020 karena membuat siaran langsung tentang Wuhan di media sosial pada awal masa pandemi. Perempuan 37 tahun itu punya waktu dua pekan untuk mengajukan permohonan banding. Tapi pada Kamis, 14 Januari lalu, keluarga Zhang menyatakan ia tak mengambil kesempatan tersebut. Pengadilan mendakwa Zhang telah “memancing pertengkaran dan memicu keributan” melalui kegiatannya. Zhang orang pertama yang diadili dalam kasus semacam ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zhang tiba di Wuhan, Provinsi Hubei, pada 2 Februari 2020. Selama di sana, dalam wawancaranya dengan seorang pembuat film dokumenter yang diperoleh BBC, dia mengaku melihat kota yang sunyi dan tidak lumrah. Dia lantas membuat laporan pandangan mata tentang berbagai sudut kota. Dia juga mewawancarai penduduk dan mengambil video mengenai rumah kremasi, stasiun kereta, rumah sakit, dan Wuhan Institute of Virology. Polisi beberapa kali berusaha menghalangi usahanya. Kelompok hak-hak asasi manusia Network of Chinese Human Rights Defenders (CHRD) menyatakan Zhang juga meliput penahanan beberapa jurnalis independen dan keluarga korban pandemi yang mengalami penyiksaan karena menuntut keterbukaan pemerintah.

Jurnasli Zhang Zhan dalam sebuah wawancara di channel Youtube China Change. Youtube/China Change

“Mungkin saya punya jiwa pemberontak.... Saya cuma mendokumentasikan kebenaran. Mengapa saya tak boleh menunjukkan kebenaran?” kata Zhang dalam wawancara tersebut, yang dilakukan sebelum dia ditahan. “Saya tak akan menghentikan apa yang saya lakukan karena negeri ini tak boleh mengalami kemunduran.” Zhang pernah ditahan polisi pada 2019 karena memberikan dukungan kepada para aktivis prodemokrasi di Hong Kong.

Zhang ditahan polisi pada 14 Mei 2020 di Shanghai, 640 kilometer dari Wuhan. Sejak itu, dia dibui di Penjara Distrik Baru Pudong. Pengadilannya resmi dimulai pada awal November 2020. Dia didakwa telah menyebarkan informasi palsu berupa teks, video, dan media lain melalui platform media sosial seperti WeChat, Twitter, dan YouTube. Dia juga didakwa telah menerima wawancara media asing dan menyebarkan informasi “kebencian” tentang virus corona di Wuhan.

Sebagai protes atas penahanannya, Zhang mogok makan. Zhang Keke, pengacaranya, mengatakan polisi memaksa Zhang makan melalui sebuah tabung. Zhang juga mengaku sakit kepala, pusing, dan nyeri perut. “Dia merasa lelah secara psikologis, seakan-akan diazab setiap hari,” tutur Zhang Keke seperti dikutip BBC.

Meski kondisinya payah, Zhang hadir dalam sidang pada 29 Desember 2020 dengan duduk di kursi roda. Menurut pengacaranya, sebagaimana dilaporkan RFA, dia menolak menjawab ketika hakim meminta konfirmasi data pribadinya. Hakim meminta panitera mencatat bahwa Zhang menolak menjawab, tapi Zhang kemudian menyela: “Tidakkah hati nurani Anda mengatakan bahwa apa yang Anda lakukan ini salah, yakni mendudukkan saya di bangku terdakwa ini?”

Setelah jaksa membacakan dakwaannya, hakim bertanya kepada Zhang apakah dakwaan itu benar. “Bahkan, selama Dinasti Han, mengkritik pemerintah bukanlah kejahatan,” Zhang menjawab. Saat jaksa bertanya apakah benar bahwa ia mengunggah laporan dari Wuhan ke YouTube dan Twitter, Zhang menjawab: “Pertanyaan absurd inilah penyebab negeri kita mundur.”

Ketika Ren Quanniu, pembela Zhang, menanyakan hal yang sama, Zhang menyatakan pemerintah yang mengkriminalkan pembicaraan publik telah bertindak keliru. “Karena itu berarti setiap kata yang saya katakan pastilah disensor,” ujar Zhang. “Apakah negara punya kewenangan menyensor percakapan warganya?”

Menurut Zhang, video yang dia unggah itu didasari wawancara langsung dengan warga Wuhan dan bukan rumor. “Tapi, jika jaksa ingin menyensor rakyat, mereka dapat menyeret siapa pun ke pengadilan,” ucapnya.

Leo Lan, peneliti dan konsultan advokasi di CHRD, menilai hukuman untuk Zhang ini sebagai “peringatan”. “Hukumannya begitu berat. Pemerintah Cina bertekad membungkamnya dan mengintimidasi warga lain yang mencoba mengekspos apa yang terjadi di Wuhan,” katanya kepada BBC.

“Saya khawatir atas nasib tahanan lain yang juga melaporkan tentang pandemi ini,” tutur Lan. Jurnalis warga lain yang melaporkan kondisi Wuhan, seperti Li Zehua, Chen Qiushi, dan Fang Bin, dikabarkan hilang pada awal tahun ini dan diduga ditahan pemerintah.

Li Wenliang, dokter mata di Rumah Sakit Pusat Wuhan, adalah orang pertama yang memperingatkan soal penyebaran virus “seperti sindrom pernapasan akut parah (SARS)” di kota itu pada Desember 2019 melalui grup WeChat. Polisi kemudian memaksa Li meneken surat perjanjian untuk menghentikan penyebaran kabar itu. Belakangan, Li meninggal karena terinfeksi Covid-19 dari seorang pasien. Polisi dikabarkan juga menahan delapan orang lain dan dua dokter dipaksa tutup mulut mengenai wabah di Wuhan.

Apa yang sebenarnya terjadi di Wuhan masih gelap. Semua informasi mengenai virus dan pandemi di sana bersumber dari keterangan pemerintah belaka. Pada masa awal pandemi, pemerintah mencegat informasi mengenai wabah, menurut The Straits Times, karena pejabat lokal sedang mempersiapkan Kongres Rakyat, pertemuan tahunan lembaga legislatif yang dikendalikan Partai Komunis Cina, pada Januari 2020.

Namun seusai kongres itu pun Wuhan masih tertutup. Beijing, misalnya, menolak permintaan berbagai negara melakukan investigasi internasional di Wuhan, terutama setelah pemerintah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyalahkan Beijing atas terjadinya pandemi ini. Ketika pada April 2020 Australia mengusulkan penyelidikan independen di kota itu, Cina mengeluarkan larangan impor bagi daging, anggur, dan barang lain dari Negeri Kanguru.

Ilmuwan menduga Covid-19 berasal dari kelelawar atau binatang lain dan menginfeksi manusia di Wuhan. Namun pemerintah Cina mengklaim virus itu berasal dari luar negeri, mungkin melalui makanan impor.

Suatu tim peneliti internasional di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya dapat mendarat di bandar udara Wuhan pada Kamis, 14 Januari lalu. Presiden Cina Xi Jinping mengizinkan mereka datang seusai lobi-lobi intensif selama berbulan-bulan. Lima belas anggota tim itu terdiri atas ahli virus dan spesialis lain dari Amerika, Australia, Jerman, Jepang, Inggris, Rusia, Belanda, Qatar, dan Vietnam.

Menurut Associated Press, Wuhan Institute of Virology adalah salah satu yang mungkin akan diteliti. Laboratorium penting Cina itu dibangun sebagai arsip informasi genetik virus corona kelelawar setelah wabah SARS muncul pada 2003. Politikus Amerika dan Trump menuduh Covid-19 bersumber dari laboratorium ini. Namun agenda resmi yang dipublikasikan WHO tak menyebutkan rencana kunjungan tim peneliti ke tempat tersebut.

Satu kali kunjungan ilmuwan tak mungkin dapat mengkonfirmasi asal virus karena butuh penelitian bertahun-tahun untuk melacak sumber awal virus. Untuk melakukannya, "Pemerintah Cina harus sangat transparan dan kolaboratif," ujar Shin-Ru Shih, Direktur Research Center for Emerging Viral Infections di Chang Gung University, Taiwan.

IWAN KURNIAWAN (ASSOCIATED PRESS, BBC, CNN, RFA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus