Percayakah Anda pada kesungguhan Dian Yulia Novi yang ditangkap di Bintara, Bekasi, untuk meledakkan diri di depan Istana Presiden?
Ya
27,8%
1.057
Tidak
49,0%
1.868
Tidak Tahu
23,2%
884
Total
(100%)
3.809
ADA fenomena baru teroris di Indonesia, terutama sel Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka memakai perempuan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Kaderisasi juga dilakukan dengan menikahi perempuan dan mendidik anak-anak mereka menjadi teroris sejak bayi.
Penangkapan kelompok Nur Solihin di Bekasi, Jawa Barat, menguak taktik baru para teroris itu. Sebelum menangkap Solihin, Detasemen Antiteror lebih dulu menangkap Dian Yulia Novi di Jalan Bintara Jaya, Bekasi. Perempuan 27 tahun yang pernah bekerja di Oman dan Taiwan ini menjadi calon pelaku bom bunuh diri.
Dalam pelbagai wawancara, Dian tak merasa menyesal dan bersalah untuk peran yang telah dipilihnya itu. Dia berkenalan dengan sel ISIS lewat Internet dan media sosial, hanya setahun sebelum dia memutuskan bersedia dinikahi sebagai istri kedua Nur Solihin dan menjadi calon "pengantin" untuk bom yang akan diledakkan di depan Istana Presiden, Jakarta.
Sebagian besar responden dalam jajak pendapat di Tempo.co menyatakan tidak percaya pada kesungguhan Dian menjadi teroris. Keyakinan ini agak mengkhawatirkan karena, kepada polisi, Dian menunjukkan kesungguhan keyakinannya bahwa meneror adalah bagian dari jihad.
Selain menangkap Dian, polisi membekuk perempuan lain yang diduga disiapkan sebagai calon "pengantin" oleh jaringan yang sama. Ika ditangkap di Purworejo, Jawa Tengah, hampir seminggu berselang dari penangkapan Dian. Keduanya berbagi plot peledakan bom di Jawa dan luar Jawa.
Bekas kombatan Afganistan, Moro, dan Ambon, Ali Fauzi, mengatakan masih banyak perempuan yang siap menjadi calon "pengantin" atau pelaku bom bunuh diri. "Jumlahnya puluhan," kata Ali. "Ini memang fenomena baru."
Indikator Pekan Ini
Apakah Anda bisa membedakan berita palsu dan berita faktual di media sosial? www.tempo.co.
Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971