Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggeledahan Markas Polisi Dipersulit
MARKAS Besar Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan edaran terkait dengan penggeledahan di lingkungan markas dan pemeriksaan polisi oleh lembaga penegak hukum lain. Surat yang diteken Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri Inspektur Jenderal Idham Aziz tersebut meminta pemeriksaan harus mendapat izin Kepala Polri.
"Telegram ini tidak ada dasar hukum dan seperti menghalangi upaya penegak hukum lain," kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, Senin pekan lalu. Dia khawatir surat tersebut menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum karena lembaga lain bisa membuat kebijakan serupa. "Nanti institusi lain kalau mau digeledah harus minta izin pimpinannya dulu," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M. Syarif enggan berkomentar banyak menanggapi telegram tersebut. Dia mengatakan lembaganya tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju. "Itu telegram internal Polri," kata Syarif.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian membantah kabar bahwa surat tersebut untuk penegak hukum lain, seperti KPK, kejaksaan, dan pengadilan. Menurut dia, surat tersebut ditujukan untuk kalangan internal kepolisian. Tujuannya, "Agar yang dipanggil memberi tahu atasannya," ujar Tito.
Tito enggan merespons soal desakan agar surat tersebut dicabut. Menurut dia, atasan perlu tahu jika ada anggotanya dipanggil penegak hukum lain. Selain itu, Tito mengatakan tujuan surat tersebut adalah agar kepolisian bisa mendampingi jika anggotanya dipanggil penegak hukum lain. l
Karena Banyak Terjerat Perkara
SEJUMLAH perwira polisi telah menjadi terpidana dalam beberapa kasus korupsi. Ada yang lolos karena memenangi gugatan praperadilan.
1. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung tersandung perkara pembobolan Bank BNI pada 2006.
2. Mantan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji menjadi tersangka penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari.
3. Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo dihukum 18 tahun penjara dalam kasus korupsi simulator surat izin mengemudi.
4. Mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan pernah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan rekening mencurigakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun status ini dibatalkan lewat gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
KPK Tahan Tersangka Korupsi e-KTP
KOMISI Pemberantasan Korupsi menggegas pengusutan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Rabu pekan lalu, KPK menahan bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman.
Penahanan dilakukan setelah penyidik memeriksa Irman selama 12 jam. "Ia ditahan selama 20 hari ke depan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah. KPK menetapkan Irman sebagai tersangka kasus itu pada akhir September lalu.
Bekas anak buah Irman, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan yang juga pembuat komitmen proyek ini, Sugiharto, menjadi tersangka pada April 2014. KPK menahan Sugiharto pada medio Oktober lalu. KPK juga sedang menyelidiki dugaan aliran uang ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Dirikan Lembaga Pemantapan Pancasila
PRESIDEN Joko Widodo menyetujui pembentukan Unit Kerja Presiden Bidang Pemantapan Ideologi Pancasila pada Senin pekan lalu. Pemerintah sekarang sedang menyusun peraturan presiden sebagai landasan hukum dari badan ini. Sesuai dengan namanya, unit kerja ini disiapkan untuk menguatkan penerapan Pancasila di masyarakat, misalnya dalam kurikulum sekolah.
Beberapa kalangan mengkritik ide ini. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai Jokowi salah langkah. Menurut dia, meningkatnya intoleransi dan gangguan ketertiban oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu belakangan ini tidak bisa diatasi dengan membentuk tim pemantapan Pancasila. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar juga ragu lembaga ini bisa berjalan efektif. "Menurut saya, itu kebijakan yang reaktif," kata Haris.
Anggota Jaringan Bahrun Naim Kembali Ditangkap
POLISI menembak mati tiga terduga teroris dan menangkap satu orang di Kampung Curug, Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu pekan lalu. Empat orang ini diduga anggota Jamaah Ansharut Daulah Khilafah Nusantara bentukan Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo atau Bahrun Naim. "Ini membuktikan apa yang disampaikan BN (Bahrun Naim) sebagai pembentukan sel-sel kecil," kata Kepala Bagian Mitra Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Komisaris Besar Awi Setiyono.
Satu orang yang masih hidup adalah Adam Noor Syam, sedangkan yang ditembak mati Omen, Irwan, dan Helmi. Mereka diduga memiliki hubungan dengan terduga teroris yang ditangkap di Bekasi dan Tasikmalaya, beberapa waktu lalu. Awi mengatakan sel teroris ini menerima biaya dan cara perakitan bom oleh Bahrun melalui Internet.
Dari hasil penggeledahan, polisi menyita tiga ransel berisi bom pipa. Bom itu ditemukan di kamar rumah kontrakan. Bom itu dilempar ke arah personel Detasemen Khusus Antiteror saat mereka mengepung rumah tersebut. "Bom yang ditemukan diduga berdaya ledak rendah. Bahan bakunya berupa potasium nitrat," ujar Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian.
Hakim Tolak Praperadilan Buni Yani
HAKIM tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sutiyono, menolak praperadilan yang diajukan Buni Yani. Praperadilan itu digelar menyusul penetapan tersangka dan penangkapan terhadap Buni Yani oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Buni Yani adalah tersangka kasus dugaan pencemaran nama serta penghasutan terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan yang menyeret calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka seusai penyebaran penggalan video beserta transkrip pidato Basuki yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.
Video itu diunggah Buni Yani di laman Facebook-nya dengan keterangan transkrip yang ditambahkannya sendiri: "Bapak-ibu (pemilih muslim)… dibohongi Surat Al-Maidah 51" dan "masuk neraka (juga bapak-ibu) dibodohi". Ia menghilangkan kata "pakai" dalam transkrip tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo