Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya merujuk pada artikel “Cara Singapura Membungkam Blogger” di majalah Tempo edisi 10-16 Desember 2018. Artikel itu merujuk pada Terry Xu dari The Online Citizen (TOC) yang menuduh pemerintah Singapura “alergi terhadap kritik” dan mengadopsi “kebijakan represif” dalam memeriksa Xu atas tuduhan “pencemaran nama baik”.
Berita ini salah. Xu tidak diselidiki karena mengkritik pemerintah. Dia dan banyak orang lain menulis berbagai macam isu dengan bebas setiap hari. Dia diselidiki karena melakukan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap anggota kabinet Singapura dengan menyetujui publikasi, di TOC, sebuah artikel soal dugaan korupsi pada tingkat tertinggi pemerintah Singapura.
Karena Xu telah didakwa dengan pencemaran nama baik, kasus ini sekarang dalam proses peradilan, yang akan terbuka untuk umum, dan Xu berhak mempertahankan pernyataan yang diterbitkannya.
Di Singapura ada akses bebas untuk mendapatkan informasi, termasuk akses ke media alternatif dan outlet media sosial. Warga Singapura dapat mengakses outlet berita dan opini yang mereka inginkan, termasuk Tempo. Singapura adalah tuan rumah bagi banyak kantor berita internasional, surat kabar, majalah, dan penyiaran. Kantor regional mereka banyak yang berbasis di Singapura. Mereka tidak akan melakukannya jika kita bertindak “represif”. Meskipun begitu, kami tidak akan mengizinkan seseorang difitnah atas dasar kebebasan berbicara dan kami juga tidak akan melindungi ujaran kebencian ataupun perkataan fitnah.
Majalah Tempo juga memuat artikel yang menyesatkan tentang Tan Wah Piow (“Saya Tak Punya Alasan untuk Pulang”, 10-16 Desember 2018), yang memberikan alasannya menghindari wajib militer. Kenyataan yang sebenarnya, Tan meninggalkan Singapura pada 1976 untuk menghindari wajib militer. Dalam perkataannya sendiri, “...punya waktu tiga hari untuk bersiap ikut wajib militer. Saya menggunakannya untuk menghilang, ha-ha-ha....” Penting untuk ditandai bahwa bagi Tan sangat lucu untuk melakukan hal tersebut. Tan menghindari kewajiban yang diterima oleh para pria Singapura secara sukarela.
Khairul Azman Rahmat
Sekretaris Pertama (Politik)
Kedutaan Besar Singapura di Jakarta
Terima kasih atas tanggapan dan tambahan informasi Anda. Informasi dalam artikel tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber.
Terima Kasih, Tempo
SAYA mengucapkan terima kasih kepada majalah Tempo atas dimuatnya surat berjudul ”Keamanan Kartu Kredit BCA Mengecewakan” dalam terbitan 3-9 Desember 2018. Dari korespondensi dengan pihak BCA, telah dicapai kesepakatan pembayaran tagihan atas transaksi tidak dikenal antara saya sebagai pemegang kartu kredit dan pihak BCA. Dengan demikian, persoalan ini telah selesai. Semoga bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua.
Valentinus Nanang Wibisono
Jakarta Barat
Terima kasih. Senang bisa ikut membantu.
Rasionalitas Bencana
KITA bersyukur ditakdirkan Tuhan berada di negara kepulauan yang memiliki pantai terpanjang di dunia dan wilayah bergunung-gunung dalam kawasan khatulistiwa. Nusantara ini nyaman dinikmati, indah dan hangat sepanjang tahun. Aneka tanaman dan berbagai jenis ikan dapat hidup di sini. Tanahnya subur, tiada halangan untuk bercocok tanam apa pun.
Namun kita harus pula memahami dan menyadari terhadap realitas sisi negatif alami yang menyertainya. Negeri kita dikelilingi sumber gempa vulkanis, ”ring of fires”, dan rangkaian pegunungan yang memungkinkan letusan gunung berapi. Lokasi geografis yang berada di atas pertemuan lempeng benua, yaitu Eurasia dari utara, Pasifik dari timur, dan Indo-Australia dari selatan, menyebabkan rentan gempa.
Akhir Juli 2018, terjadi gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berlanjut awal Agustus 2018 mengguncang Sulawesi Tengah, dan tsunami di Selat Sunda akhir Desember lalu. Kita prihatin atas musibah beruntun itu. Reaksi masyarakat sangat positif, ikut prihatin serta mengulurkan berbagai bantuan dan doa yang mulia.
Di media sosial, kita dapati ajakan mulia untuk mempertebal iman, bersabar atas cobaan. Namun ada pula yang mengaitkan musibah ini sebagai “hukuman” Tuhan. Padahal banyak di antara mereka adalah orang taat beragama dan berakhlak mulia.
Pemerintah perlu diingatkan kembali untuk mencontoh kebijakan negara lain dalam menghadapi bencana. Misalnya, yang pertama, menetapkan ketentuan tata ruang yang melarang mendirikan bangunan beberapa puluh meter dari garis pantai. Kedua, bangunan yang berada beberapa ratus meter dari garis pantai wajib berupa konstruksi ramah bencana, berupa rumah panggung, bertiang sambung diapit lempeng baja, sehingga mengurangi tekanan saat tsunami dan fleksibel saat terjadi gempa.
Yang terakhir, memasukkan pelajaran berenang ke kurikulum wajib sekolah menengah pertama. Jepang dan Amerika Serikat sudah lama menerapkannya karena memiliki pantai yang cukup panjang. Republik Cek, yang tidak memiliki pantai tapi memasukkan pelajaran berenang di sekolah dengan pertimbangan untuk bekal keselamatan diri.
Di Indonesia? Mungkin terpukau oleh idiom ”Bukan lautan, hanya kolam susu. Tiada badai, tiada topan kau temui”.
Soen’an Hadi Poernomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo