Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO edisi 1-7 Desember 1998, rubrik Kritik, halaman 10, memuat tulisan Saudara Sugeng Hartono berjudul "Bagi Hasil Pertambangan". Saya ingin "bagi hasil" dengan penulis mengenai konsep kontrak bagi hasil pada dunia pertambangan minyak.
Perusahaan minyak sekaliber PSC mendapat keuntungan bukan dengan rekayasa laporan keuangan atau mark-up biaya operasional, melainkan menerapkan pola seperti perusahaan Bre-X terhadap lapangan Busang. Namun, Bre-X melakukan penipuan/kecurangan (The Inside Story of Bre-X). Terlepas dari hal itu, pola Bre-X merupakan tipikal perusahaan umum dan minyak untuk meraup uang jutaan dolar dari lantai bursa.
Secara garis besar, dari tahap awal sejak kontrak PSC ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, PSC sudah menghasilkan uang. Itu diperoleh dengan melepas sebagian participant interest pada lahan minyak yang akan di-explore. Tambahan lagi, apabila PSC akan melakukan kegiatan pengeboran, parents company dari PSC meluncurkan speculation news di lantai bursa tempat perusahaan tersebut terdaftar. Begitu pengeboran dimulai, harga saham mulai merambat naik. Harga saham akan berhenti apabila pengeboran sudah mencapai target zone. Di sinilah titik temunya. Kalau minyak didapat, harga saham akan melambung berlipat-lipat, tapi kalau dry holes, amblas. Setelah diketahui ada minyak, bila dilanjutkan dengan pengembangan lapangan, biayanya didapat dengan melepaskan lagi sebagian interest-nya dengan farm-out kepada beberapa PSC. Keuntungan lain dapat diperoleh dari pihak PSC, yakni dengan menjual minyak mentah pada saat harga minyak tinggi. Ini wajar sebagai kompensasi investor yang berisiko sangat tinggi.
Apabila konsep KBH dianalogikan dengan memanen mangga di halaman rumah Bapak Sugeng, jelas sangat berbeda. Sebab, pada tahap ini sudah tinggal memetik hasilnya, tidak ada faktor risiko, dan nilai investasinya tak signifikan. Ini berarti perusahaan sudah memasuki tahap eksploitasi. Saya juga pernah membuat surat terbuka kepada anggota DPR Komisi V, yang menerangkan betapa enaknya kalau tinggal memetik "buahnya", pada kasus block coastal plain Pekanbaru.
Lain halnya apabila Saudara Sugeng menyewakan lahannya (di Indonesia), lantas investor (PSC) mengerjakan dari pembukaan lahan, penggarapan tanah, pembibitan, pemupukan, perawatan, sampai pemetikan. Pada posisi ini, sang investor mempunyai beban risiko yang besar dalam hal finance dan kegagalan produksi. Apabila faktor risiko sangat tinggi, jelas investor akan menuntut hak return yang tinggi pula.
Ada beberapa macam jenis kontrak selain PSC, antara lain JOB, JOA, TAC, yang persentasenya berbeda-beda, tergantung pada kondisi ladangnya. Kalau diistilahkan penggarapan sawah, itu sama dengan maro, mretek, dan mrapat.
PSC yang sudah berproduksi setiap hari mengirim data aktual produksi minyak ke Indonesia melalui Pertamina, dan juga kepada para partnernya, disertai laporan cumulative storage. Audit secara berkala dilaksakan oleh para partner, begitu juga dari pihak auditor OPEC. Jadi, untuk menilep crude oil, rasanya agak sulit, seperti memanen mangga: laporan hasil dua keranjang mangga, tapi di truk sudah ada tiga keranjang.
Saya sekali lagi ingin menekankan bahwa pada intinya, dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, PSC-lah yang mengeluarkan dananya terlebih dulu. Menurut saya, kenapa harus ada praktek mark-up atas pengeluaran tersebut?
DIRGO D. PURBO
Pengamat Industri Perminyakan
Jalan Bona Indah A-I/37
RT 003/006, Lebakbulus
Jakarta Selatan 12440
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo