Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan hak subpoena, misalnya, DPR dapat memanggil Prabowo Subiantoberkaitan dengan kasus penculikan dan orang hilang, kasus penembakan mahasiswa, kasus penjarahan, pembakaran, pemerkosaanatau memanggil Menteri Pertanian sehubungan dengan pencabutan subsidi pupuk. Atau, meminta Beddu Amang membeberkan kerja sama Bulog dan Goro, serta sembako; juga mengharuskan Eka Tjipta Widjaja menampilkan bukti-bukti tentang produksi minyak goreng, sehingga jelas mengapa harganya melonjak gila-gilaan.
Prakarsa DPR memanggil beberapa tokoh yang memainkan peran sentral dalam kasus yang kontroversial atau kasus yang merugikan rakyat banyak, tentu sangat diharapkan dan dipujikan. Namun, kalau peran itu diperkuat dengan subpoenadalam arti orang yang tidak mematuhi panggilan bisa dikategorikan sebagai kriminaltiba-tiba saja terlintas pertanyaan, "Apa DPR kuat melakukannya? Secara moral, apakah DPR siap?" Bukankah DPR yang sama juga yang dulu memanggil pengusaha anu, ditanya ini-itu, tapi kemudian berakhir dengan "imbauan" agar mereka diberi sesuatu? Bukankah pengusaha X sengaja tidak mengacuhkan panggilan DPR karena menghindar dari "penjarahan" tingkat tinggi? Atau, bapak pejabat Y sengaja tidak menghiraukan panggilan DPR semata-mata karena beranggapan bahwa panggilan itu memang tidak pantas digubris?
Singkat kata, DPR terkooptasi, seperti halnya semua lembaga tinggi negara lainnya terkooptasi oleh budaya politik Orde Baru. Budaya politik itu, kita tahu, "sangat Pancasilais", sangat korup, tidak bermoral, tidak berhati nurani. Kini, DPR berusaha menumbuhkan budaya politik yang berciri reformis. Namun masalahnya ialah, selain budaya politik yang demokratis tidak bisa dibangun dalam sehari, budaya politik baru juga memerlukan titik berangkat yang berbeda dari yang lama. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan Juni 1999 belum tentu bisa dijadikan titik berangkat menuju budaya politik baru itu.
DPR, seperti halnya kita semua, berada dalam sebuah masa transisi yang panjang dan berat. Agar bisa berperan optimal, kini DPR memutuskan untuk mengefektifkan subpoena. Tampaknya, DPR akan berhasil kalau subpoena digunakan sebagai instrumen untuk menegakkan demokrasi dan hukum. Jadi, bukan sekadar menegakkan wibawa. Bagi DPR, kini menegakkan wibawa samalah dengan menegakkan benang basah. Sia-sia, buang-buang energi, percuma. Namun kalau niatnya memang untuk menegakkan demokrasi, monggo, selamat bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo