Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Ayo Ghalib, Jangan Ragu

Di luar dugaan, harta Soeharto telah merosot drastis selama krisis berlangsung. Tapi ini bukan bukti bahwa kekayaan itu diperoleh dengan cara wajar.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Ayo Ghalib, Jangan Ragu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JALAN pengadilan makin lempang bagi mantan presiden Soeharto. Meskipun terkesan hati-hati, Jaksa Agung Andi M. Ghalib menyatakan Soeharto bisa jadi tersangka tindak pidana korupsi. "Tapi kita tak bisa langsung mengatakannya begitu," katanya, "Kita perlu mengecek kembali." Ghalib tak menyebut rinci, dari mana ia akan melakukan pengecekan. Tapi melihat daftar pejabat dan pengusaha yang akan diperiksa, bisa diduga, Kejaksaan Agung mengincar Soeharto dalam dua perkara: proyek mobil nasional alias mobnas, dan penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dipimpin Soeharto. Dalam soal mobnas, mantan presiden Soeharto bisa dijerat dengan dua dalih: melanggar hukum dan merugikan negara. Dengan sebuah keputusan presiden dan instruksi presiden, Soeharto menunjuk PT Timor Putra Nasional sebagai pelaksana proyek mobnas. Untuk itu, Timor diberi fasilitas khusus: pajak bea masuknya dibebaskan, pajak barang mewahnya ditanggung negara. Menurut Ghalib, Kejaksaan Agung akan meneliti apakah keppres dan inpres ini melanggar hukum, misalnya, bertentangan dengan Undang-Undang Pajak. "Ini kan merugikan negara, termasuk penyelewengan pajak," katanya. Kalau ini bisa dibuktikan, boleh jadi Soeharto akan maju ke pengadilan dengan tuduhan melakukan penyimpangan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga. Ihwal dana yayasan, akan diteliti lagi apakah pemakaiannya menyimpang. Pinjaman dana yayasan Rp 750 miliar kepada Bob Hasan, teman main golf Soeharto, misalnya, akan diselidiki lagi apakah diberikan dengan prinsip bisnis yang wajar. Jika utang itu dicairkan dengan suku bunga khusus lebih rendah dari bunga bank, misalnya, Soeharto bakal kena tuduhan sama: memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan teman-temannya. Patut dicatat, sebagian besar dana yayasan dikumpulkan melalui "sumbangan" (mungkin lebih tepat disebut iuran wajib) dari gaji pegawai dan keuntungan perusahaan milik negara. Lagi-lagi, Soeharto bisa dinilai memperkaya diri dengan memobilisasi uang rakyat. Betul, memang tak mudah membuktikan Soeharto memakai kekuasannya untuk menimbun kekayaan. Sejauh ini, berdasarkan hasil penyelidikan Kejaksaan Agung, kekayaan Soeharto tak terkesan heboh, alias biasa-biasa saja. Soeharto cuma punya tabungan tak lebih dari Rp 22 miliar. Menurut Soeharto, tabungan ini diperoleh dari simpanan bunga-berbunga, dari gaji yang tak pernah tersentuh, selama 32 tahun penuh. Ia juga mengaku, tabungan berbiak makin cepat lantaran almarhum istrinya juga menyewakan sebuah rumah di Rawamangun dan di Jalan Agus Salim. Rekening lain? Masih ada, memang. Tapi, bukan atas nama Soeharto, melainkan atas nama yayasan. Dari ketujuh yayasan, diketahui ada dana Rp 800 miliar. Di luar negeri? Tak ada yang tahu pasti. Kalau menurut pengakuan Soeharto, sih, ia tak punya sesen pun dana di bank luar negeri. Kalau pengakuan ini benar, pelbagai tuduhan telah menumpuk kekayaan dengan menyelewengkan kekuasan tadi agaknya sulit mendapatkan bukti-bukti. Tentu saja, kekayaan Soeharto dan keluarga bukan cuma berupa rekening tabungan. Ada juga properti (tanah, bangunan), penyertaan modal di sejumlah perusahaan, maupun surat-surat utang. Seberapa besar dan bagaimana rinciannya, tak pernah jelas dan sulit dilacak. Soal ini, banyak versi, banyak hitungan yang beredar. Sejumlah analis di Amerika Serikat, misalnya, menaksir kekayaan Soeharto, keluarga, dan kroninya mencapai US$ 40 miliar. Andai saja angka itu tak meleset, sikap serakah Soeharto tampaknya memang harus diacungi jempol. Kiatnya menimbun kekayaan, mumpung sedang jadi presiden, tampaknya amat dahsyat. Soalnya, jika kekayaan bersih 20 keluarga terkaya Indonesia dijumlahkan--dan tak semuanya satu kubu dengan Soeharto--jumlahnya mungkin kurang dari itu. Selain data buatan Amerika itu, di Jakarta Pusat, Data Bisnis Indonesia juga ikut menaksir. Angkanya lebih rasional. Disebutkan, kekayaan Soeharto mencapai Rp 200 triliun (sekitar US$ 25 miliar). Tapi ini sudah termasuk total aset seluruh keluarga, yayasan, dan kerabat dekat seperti Bob Hasan, Probosutedjo, Sudwikatmono, dan tentu saja pengusaha Liem Sioe Liong. Sementara itu, majalah Forbes menaksir, nilai kekayaan Soeharto mencapai US$ 16 miliar. Berapa pun nilainya, jumlah kekayaan Keluarga Cendana saat ini mestinya tak harus menjadi ukuran, apalagi bukti bengkok tidaknya Soeharto menjalankan kekuasaan. Maksudnya, jika nilai kekayaan itu rendah atau tidak "dahsyat", bukan berarti Soeharto pasti lempang alias tidak menyelewengkan kekuasaan. Soalnya, diakui atau tidak, setelah krisis nilai kekayaan Soeharto merosot drastis. Sebab, sebagian besar aset-aset ini berada di Indonesia. Jika aset itu dihitung dalam dolar, kenaikan harga dolar telah menggencet nilai kekayaan Keluarga Cendana hingga tinggal sepertiganya. Selain digasak dolar, sebagian besar aset-aset ini berupa penyertaan saham (modal) di sejumlah perusahaan. Nah, krisis moneter telah menelan nasib baik perusahaan-perusahaan malang ini lewat dua cara. Pertama, krisis menyapu daya beli sehingga tingkat permintaan konsumen merosot drastis. Akibatnya, pendapatan dunia usaha di Indonesia, termasuk perusahaan milik Keluarga Cendana, terperosok dalam-dalam. Yang kedua, krisis menaikkan harga dolar tiga kali lebih mahal. Akibatnya, biaya operasi perusahaan melangit. Ongkos bahan baku--bukan cuma yang impor tapi juga bahan baku lokal yang laku di pasar luar negeri--meningkat berlipat-lipat. Selain itu, beban bunga pinjaman (apalagi jika kreditnya dalam dolar) juga melonjak. Gambaran merosotnya bisnis Cendana, misalnya, bisa dilihat dari runtuhnya kekayaan Bambang Trihatmodjo di Bimantara. Sebelum krisis, satu saham Bimantara dihargai Rp 4.750. Tapi, kini (berdasar harga penutupan, Rabu, 23 Desember 1998) cuma Rp 500. Dengan menguasai 380 juta saham, kekayaan Bambang di Bimantara sebelum krisis mencapai Rp 1,8 triliun atau setara US$ 750 juta. Tapi kini milik Bambang di Bimantara tinggal Rp 190 miliar (US$ 25 juta). Artinya, hanya dalam setahun terakhir, kekayaan Bambang di Bimantara terjun bebas tinggal sepertiga puluhnya. Nasib sial yang sama juga menimpa Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dengan saham Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Tahun lalu, sebelum krisis, harga saham perusahaan pengelola jalan tol itu masih Rp 1.200 atau setara dengan 50 sen dolar waktu itu. Tapi kini harga saham CMNP tingal Rp 300 atau 3,75 sen dolar (dengan kurs Rp 8.000 per dolar saat ini). Artinya, dihitung dalam nominal dolar, kekayaan Tutut di CMNP merosot tinggal sepertiga belas kali. Pendek kata, jika cuma melihat kinerja saham-saham mereka di bursa, Keluarga Cendana bisa dikatakan sudah jatuh miskin. "Ini kehilangan yang tak pernah terjadi sebelumnya," kata seorang kerabat dekat keluarga Soeharto. Kejatuhan kekayaan Keluarga Cendana di bursa saham barangkali bisa disamakan dengan runtuhnya harga saham Bre-X di bursa Vancouver setelah kandungan emas di Busang cuma omong kosong. Merosotnya kekayaan Cendana juga mulai terasa di perusahaan mereka yang non-publik. Kompleks hotel dan apartemen supermewah The Dharmawangsa Hotel, misalnya, kini tampak begitu sepi, hampir tanpa penghuni. Belum lagi megaproyek petrokimia Chandra Asri yang menanggung beban utang US$ 1,2 miliar, terus terseok-seok menanggung kerugian. Menurut seorang analis pasar modal, Chandra Asri, "Akan menjadi bom waktu yang siap meledakkan seluruh isi lemari kekayaan Bambang Tri." Tapi, mesti diingat, semua ini belum mencerminkan "kebangkrutan" raksasa bisnis bernama Cendana. Selain memiliki saham di perusahaan-perusahaan lokal yang tersapu badai dolar, Cendana juga memiliki penyertaan modal di beberapa perusahaan di luar negeri. Beberapa di antaranya malah hampir-hampir tak kesenggol krisis. Di Singapura, misalnya, Bambang Tri masih memegang kendali perusahaan pengangkut migas, Osprey Maritim. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan persewaan tanker terus melebarkan sayapnya dengan mencaplok dua pesaingnya, PetroBulk Carriers dan Gotaas Larsen. Dengan akuisisi yang menelan biaya lebih dari US$ 1 miliar ini, Osprey bersiap-siap menjadi perusahaan pengangkut migas terbesar di dunia. Tahun ini, pendapatan Osprey diperkirakan mencapai US$ 820 juta, Selain Osprey, Bambang masih punya beberapa simpanan. Misalnya, saham di perusahaan tambang Bakhircyck di Inggris dan First Dynasty (Singapura). Selain itu, Bambang juga memiliki porsi saham yang cukup besar di Asia-Pacific Infrastructure Ltd., yang juga terdaftar di bursa saham Australia. Jadi, berapa banyak yang masih tersisa di kantong Soeharto setelah krisis? Tak ada yang tahu pasti. Lebih dari US$ 18 miliar, kata Pusat Data Bisnis Indonesia. Antara US$ 8 miliar dan US$ 10 miliar, kata The Castle Group. Tapi tak ada yang berani memberi angka pasti. Michael Backman, pengamat bisnis Asia, menaksir kekayaan Soeharto saat ini di bawah US$ 10 miliar. Angka mana pun yang benar, kata seorang analis pasar modal, "Sulit menepis dugaan, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang wajar." Jadi, jangan ragu, Pak Ghalib. Dwi Setyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus