Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASTRA adalah pohon yang rindang, kata William Soeryadjaya, direktur utamanya. Perusahaan otomotif tersebut sedang mekar-mekarnya pada awal 1970-an. Banyak proyek mengalir dari pemerintah Orde Baru, misalnya impor truk, traktor, dan alat berat lainnya. Dalam usianya yang relatif muda, kelompok usaha tersebut berhasil menempatkan diri sebagai bintang di sektor swasta nasional.
Sukses Astra ternyata tak lama. Pada 1977, perusahaan milik Tjia bersaudara ini terbelit masalah. Proyek perumahannya di kawasan Kuningan, Jakarta, macet. Menurut direktur utamanya, K.T. Tjia, ada kesalahan perhitungan sebesar Rp 12 miliar. Kemacetan itu menimbulkan efek berantai, antara lain dengan Union Bank di Hong Kong, yang memberi Astra pinjaman. Juga berantai akibatnya karena salah satu anak perusahaan Astra, PT Gaya Motor, harus mengeluarkan biaya Rp 8 miliar untuk memindahkan pabriknya dari Priok ke Sunter.
Repotnya, bisnis Astra dengan pemerintah pun sedang menyusut, tinggal 8 persen. Krisis minyak dan resesi ekonomi dunia membuat Indonesia terpaksa menghentikan beberapa megaproyek. Pesanan tak mengalir lagi ke Astra. Efeknya, pemasukan seret dan utang tak terbayar.
Kini Astra kembali dibelit masalah, untuk kesekian kalinya. Sekarang bukan sekadar urusan utang yang membekapnya, melainkan ada aroma skandal keuangan. Mampukah pohon yang rindang itu bertahan lagi seperti dulu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo