Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sitor Situmorang Paris la Nuit/Paris di Waktu Malam Forum Jakarta-Paris & Komunitas Bambu, 2002 |
MEMBICARAKAN Sitor Situmorang, orang mungkin segera teringat sajaknya, Malam Lebaran, sajak sebaris yang cuma berbunyi "Bulan di atas kuburan". Sajaknya yang juga sangat populer adalah Si Anak Hilang. Selain karena kekuatan bentuk pengucapannya, sajak ini pun dianggap mewakili kecenderungan tematik perpuisian Sitor. Sajak ini bercerita tentang anak yang pulang ke kampung halamannya dari pengembaraannya di "dingin Eropa". Kepulangannya cuma fisik belaka lantaran jiwanya masih terpaut di seberang sana. Dalam kata-kata A. Teeuw (1980), "kembali tapi tidak pulang". Ironi semacam inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu daya pikat puisi Sitor.
Kedua sajak tersebut tidak dapat dijumpai dalam antologi dwibahasa (Indonesia dan Prancis) yang memuat 102 sajak Sitor ini. Tampaknya buku ini memang tidak diniatkan sebagai koleksi sajak-sajak terbaik Sitor. Ia lebih dimaksudkan untuk menghimpun sajak-sajak Sitor yang telah diter-jemahkan ke dalam bahasa Prancis. Di samping sajak-sajak yang dapat dijumpai dalam berbagai kumpulan puisi Sitor sebelumnya, terdapat pula sajak-sajak yang tampaknya belum pernah diterbitkan sebagai buku.
Sebagai penyair, Sitor tergolong cukup produktif. Di antara sekian banyak sajaknya, sajak-sajak terindahnya—seperti dikemukakan Wing Kardjo dalam pengantarnya—muncul pada periode-periode awal kepenyairannya, yaitu periode Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah Tak Bernama (1955). Adalah menarik bahwa sajak-sajak terkuat Sitor justru sajak-sajak yang digubah dalam bentuk terikat yang ketat, yang bersumber pada pola-pola persajakan lama seperti pantun dan syair. Selain dalam Si Anak Hilang, kecenderungan ini dapat dilihat, misalnya, dalam Lagu Gadis Itali, Angin Merendah, La Ronde, dan tentu saja Cathedrale de Chartres yang memukau itu. Sajak-sajak itu gemerlap bahasanya, segar dan lincah imajinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Sitor banyak menulis sajak yang lebih cair dalam bentuk dan gaya pengungkapannya, meskipun tetap dalam kerangka estetika puisi lirik yang memang merupakan habitatnya. Ciri lain yang juga muncul: tidak banyak lagi ditemukan sajak yang masing-masing menampilkan kesatuan dan keutuhan yang kukuh sebagaimana sajak-sajak yang disebutkan di atas. Yang lebih banyak muncul adalah rangkaian puisi atau bahkan kerumunan puisi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat, dalam banyak sajaknya, Sitor cenderung melakukan semacam snapshot, bukan pengolahan suatu tema secara utuh dan tuntas. Sajak-sajak semacam ini lebih dapat dinikmati dalam hubungannya atau rangkaiannya dengan sajak-sajak lain, dan terasa kurang geregetnya bila dinikmati secara lepas-lepas.
Pernah, dalam satu periode, yaitu periode Zaman Baru, Sitor ikut-ikutan latah menggubah sajak-sajak "kerakyatan" yang kualitasnya tidak mencerminkan kecerdasan puitiknya. Atau, Sitor telah tidak memanfaatkan kecerdasan puitiknya untuk menggarap tema yang sebenarnya tidak haram itu.
Kecenderungan makin mencairnya puisi Sitor ternyata diikuti dengan menjinaknya semangat petualangan si aku-lirik. Pada akhirnya si aku-lirik benar-benar ingin kembali ke kampung halamannya. Sebab, di negeri kembara ia hanyalah "tamu", "musafir", "penumpang". Simaklah baris-baris sajak Harianboho ini: 'Ku yakin menemukan jalan selalu/kembali padamu,/jalan pulang ke lembah landai/di tepi danau/sepanjang pantai.//'Ku yakin selalu padamu kembali/di akhir nanti,/saat kembara berakhir,/tiba sadar pada musafir.//Di ladang dan gerbang/negeri-negeri ramah, tapi asing,/kau pun terkenang.//Betapa sering,/puluhan tahun di negeri orang,/ jadi tamu ragam cinta,//namun penumpang jua./Karena ketentuan masalalu,/tak dapat diulang,/lahir sekali di pangkuanmu.
Dengan sajak ini si aku-lirik seakan telah menyelesaikan konflik batinnya, meredakan gairah "keisengan"-nya di antara dua kutub rindu: Harianboho dan Paris. Ada paradoks—atau mungkin ironi—di sini: di satu sisi kita bisa melihat munculnya kearifan hidup, di sisi lain (meminjam kata-kata Teeuw) hilangnya misteri puisi Sitor.
Dalam peta perpuisian Indonesia, secara estetik, Sitor, penyair-pengembara itu, sesungguhnya memang bukan "si anak hilang". Estetika perpuisiannya dapat dengan mudah dilacak jejaknya dalam tradisi perpuisian yang tumbuh di negeri ini. Dan dalam masa bakti kepenyairannya yang panjang, ia agaknya tidak tergerak untuk menjelajah dan merambah khazanah estetik lain seperti yang dicoba oleh, misalnya, Rendra. Toh, intensitasnya menggulati problematik manusia-pengembara dan kecerdasan artistiknya mendayagunakan unsur-unsur dan pola-pola persajakan lama telah menempatkannya sebagai salah seorang penyair terpenting di negeri yang berkelimpahan puisi ini.
Joko Pinurbo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo